BOPM Wacana

Hepirosmia

Dark Mode | Moda Gelap
Ilustrasi: Surya Dua Artha Simanjuntak

 

Oleh: Thariq Ridho 

Tuk..tuk.. Gemeletuk pisau terdengar. Seseorang dengan jas putih panjang selutut tengah memotong sesuatu. Lampu agak temaram, dari kejauhan tak jelas apa yang tengah dipotongnya. Satu hal yang pasti, benda itu sangat keras hingga suaranya terdengar jelas menghantam nampan.

Bisa dibilang hidungku adalah hidung anjing yang peka pada segala bau. Saat kecil aku membencinya dan mengutuk atas kepemilikan hidung yang peka hampir semua bau karena jelas itu sangat mengganggu. Sewaktu di sekolah aku dapat mengenali semua bau manusia disana. 

Saat dewasa aku mulai mengenal macam-macam bau. Beberapa kucatat dan dalam buku yang kunamakan riwayat bau. Aku memang tak mengutuk hidungku lagi, tapi sejujurnya ini tetap menggangguku. Setidaknya aku sudah terbiasa dengan bau-bauan. 

Pukul sepuluh malam dimana guntur menggelegar selayaknya drum sedang angin berdansa menirukan tarian para sufi dan hujan menghiasinya sebagai pelengkap suasana. Kekacauan yang diciptakan mereka mungkin saja menjadi pesta yang sedang dilakukan cuaca. 

Sayangnya pesta cuaca tak membagi kesenangannya. Kali ini aku tak mencium pertrikor selepas hujan. Melainkan bau got dari kanal busuk dan sisa sampah pasar yang ada di bawah rumah susun yang ku tempati. Pemukiman kumuh dan gelap serta penuh sampah dimana tikus lebih besar dan ganas dibanding kucing peliharaan rumah tetangga. 

Suatu ketika satu dari tetangga di rumah susun lantai tiga terserang demam berdarah. Wanita paruh baya yang tinggal sendiri. Tak ada yang merawatnya karena ia tak punya siapa-siapa. Konon ia tak berobat karena makan saja ia harus rangkap 3 hari sekali. 

Seminggu kemudian ia tak ada kabar dan semua orang menganggapnya tiada, entah apa istilahnya intinya kabarnya tak pernah terdengar dan digunjingkan ibu-ibu tetangga. Tidak ada yang berani melaporkannya karena tak ada yang tahu ia hidup atau mati. Rumahnya pun terbengkalai dan tidak seorang pun berani melintas di depannya.

Satu hal yang mengganguku, aku tak pernah mencium bau busuk mayat. Hidungku yang peka dan kenal dengan semua bau tak mencium adanya tubuh yang membusuk. Walau penasaran aku tak ambil pikir. Mungkin saja dia sudah pindah tanpa sepengetahuan semua tetangganya? Siapa tahu.

****

Pukul empat pagi dimana aktivitas pasar mulai hidup. Aku terjaga karena hidungku mulai berulah. Ritual yang rutin terjadi semenjak aku tinggal di sini. Hanya saja kali ini bukan ritualku. Hidungku sudah lama beradaptasi dengan bau di sini sehingga aku tak terganggu. 

Ini bau berbeda. Bau baru yang tajam seperti campuran rempah yang disimpan di ruangan kedap yang panas. Baunya sangat tajam di hidung namun ada harum yang ku suka dari bau ini. Tetap saja aku tak tahu dari campuran apa. Aku berjalan ke jendela belakang membukanya dan mulai menghirupnya dalam-dalam sembari mencoba mendeteksi bau yang ku cari. 

Pelan-pelan aku mulai mengetahui macam-macam baunya. Aku menyebutnya satu persatu, semuanya nama rempah kecuali kopi, sampai nafasku terhenti sesaat dan bibirku berhenti juga menyebut. Diam sejenak dalam benakku, aku tak tahu bau apa ini. Bau ini agaknya seperti bau yang sering kucium di rumah sakit. 

Aku bisa mendeskripsikan dan memilah-milah semua bau kecuali bau ini. Campuran bau ini menghasilkan bau tajam yang mengganggu indraku. 

Perlu ku akui aku menyukai bau ini. Ini semacam misteri yang belum terpecahkan. Aku mengambil buku catatan riwayat bau yang isinya macam-macam bau yang telah  dideskripsikan oleh hidungku. Aku menulis tanggal serta menggoreskan tanda tanya besar di dalamnya. Namun bau itu tak berlangsung lama, pukul tujuh bau itu memudar bercampur dengan bau pasar dan sekarang benar-benar hilang. 

****

Pukul sebelas dimana matahari tengah teriknya. Namun hidungku dikejutkan dengan bau yang tadi pagi kucium. Aku langsung mengenalinya. 

Aku kembali menghadap jendela dan mulai mengendus. Sambil mencari arah asal bau. Aku mendongak ke atas ternyata berasal dari lantai tiga rumah susun. Lantai tiga sedikit penghuni, hanya beberapa rumah yang ditinggali di dekat tangga dan sisanya kosong. Sebelum kejadian si wanita itu di sini lumayan ramai. Namun banyak yang pindah kerana alasan takut. Rumornya mereka terkadang mendengar suara hentakan pisau dari rumah tempat wanita itu tinggal. Karena berpikir itu hantu mereka banyak yang pindah. 

Aku sampai di lantai tiga dan terus mencari arah bau berasal. Aku berjalan melewati pintu satu ke pintu lainnya dan aku terhenti di satu pintu dan ternyata pintu rumah si perempuan. Karena penasaran aku mencoba membuka gagangnya. Terkunci. Aku mengetuk, entah apa yang ku pikirkan aku mengetuk dan berpikir bahwa si wanita selama ini ada disana. 

Banar saja pintu terbuka seorang wanita membukakan pintu. Sembari berkata, “kau orang pertama yang mengetuk rumahku, ada perlu apakah?” Aku terdiam dan mulai memucat. Ia melanjutkan, “apakah mungkin kau juga menggapku hantu sama seperti tetangga lainnya? Lelucon bodoh” katanya sebal. 

Aku masih diam. Mengerti dengan mimik wajahku, ia menghela nafas dan berkata, “mau masuk? Kau bisa buktikan sendiri aku hantu atau tidak mari,” ia menawarkan.

Aku hanya mengangguk dan mengikutinya. 

Siapa sangka rumahnya bersih layaknya tempat tinggal manusia beradab dan tahu kebersihan. Ia mengizinkanku duduk di sofanya dan pamit menawarkan aku minuman. Tak lama ia kembali dengan segelas kopi yang baunya persis seperti yang kucium.

“Masih menganggapku hantu?,” tanyanya. Aku hanya menggeleng pertanda tidak. 

Ia mulai bercerita bahwa tiga minggu yang lalu benar ia mengidap demam berdarah. Saat itu ia keluar dan mencoba membeli obat karena obat yang miliki telah habis. Karena jarang keluar yang dipikirkan tetangga bahwa ia tak punya uang karena tak pernah nampak bekerja. Dan ketika sakit tak ada yang merawatnya. Sejak saat itu orang berpikir dia mati dan menjadi hantu karena tak terdengar kabar apapun. 

“Aku ini dokter. Aku bisa menyembuhkan penyakitku apalagi demam berdarah, aku bisa atasi sendiri. Saat itu aku hanya kehabisan stok dan keluar untuk membeli stok obat untuk di rumah,” ujarnya. 

Aku masih diam dan mulai  bertanya, “lantas kenapa kau tidak bekerja di rumah sakit, dan sekarang kau hidup bagaimana tanpa bekerja,” tanyaku. 

“Kau tahu nak, surat izin praktekku dicabut karena kegagalan saat operasi. Pasien yang ku tangani tewas dan aku dikatakan malpraktik. Semenjak itu aku kerja sebagai penulis lepas dan mulai tinggal disini,” ujarnya

Ia mengatakan bahwa semenjak itu ia menyendiri. Saat pindah ia telah membawa semua persedian makanan sehingga ia tak perlu repot-repot keluar. Persediaannya kira-kira cukup baginya untuk 6 bulan. Dan sekarang ini baru menginjak bulan keempat. Pekerjaanya dilakukan via daring karena ia hanya bekerja sebagai penulis lepas untuk beberapa artikel kesehatan. 

Terlepas dari itu aku mulai lega bahwa asal bau yang kucium ternyata berasal dari rumah wanita ini. Terlebih dia bukanlah hantu. Satu hal yang belum ku tanya adalah asal bau yang aku tak tahu dari benda mana. Aku menyeruput minuman yang disediakannya seraya merangkai kata untuk bertanya perihal bau tadi.

“Ngomong-ngomong ada ingin kutanyakan padamu,” ujarku. 

Seketika ia merubah posisi duduknya sambari berkata “ya, silahkan saja,” dengan senyum. 

Ketika ingin mengucap kata tiba-tiba penglihatanku gelap. Aku tak melihat apapun. Kemana wanita itu pergi. Apa aku pingsan? Aku baru saja ingin bertanya asal bau yang buatku tertarik. 

***

Aku terjaga. Kulirik jam dinding di ruangan itu menandakan pukul 4 pagi. Apa yang terjadi denganku tadi. Apa aku benar-benar bertemu hantu. Pikiranku penuh dengan tanda tanya. Logikaku tak bisa berpikir jernih. Apa wanita yang tadi siang adalah halusinasi. Aku kacau. Sampai tersadar ternyata aku masih di rumah wanita tadi.

“Ternyata aku tidak bertemu hantu,” helaku. 

Masih menjadi pertanyaan apa yang terjadi padaku. Terlepas dari itu terdengar suara hentakan pisau dari dapur. Cahaya remang dan aku hanya melihat seseorang dengan jas putih selutut tengah tengah memotong sesuatu. Aku tak tahu apa, tapi yang pasti itu sangat keras hingga bunyi hentakan kuat saat menghantam nampan.

“Kau tahu Hepirosmia? Kondisi dimana indra penciuman manusia lebih peka dari manusia pada umumnya. Ini langka karena kemungkinannya hanya 10 juta banding 1 orang yang menderita ini,” ucapnya menandakan ia sadar bahwa diriku terjaga. 

“Aku mengalami hal yang sama sepertimu. Sampai suatu ketika penciumanku kembali normal dan aku tak lagi bisa membedakan bau secara spesifik dan berakhir kegagalan dalam operasi karena hidungku tak peka mengenali bau semua organ bagian dalam tubuh,” lanjutnya 

“Keterampilanku dalam operasi berkat kemahiranku menemukan penyakit dalam setiap organ tubuh hanya dengan membedakan baunya dan boom operasinya sukses. Cukup aneh bukan? Kau tahu penyakit punya baunya masing-masing, saat itu aku bisa mengenalinya kecuali ketika operasi terakhir, penciumanku kembali normal dan bahkan buruk sampai aku tak bisa mengenali bau darah dan berakhir dengan malpraktik,” ocehnya seraya terus menghentakkan pisau. Aku masih diam masih berusaha mengumpulkan kesadaran.

“Kau tahu bagaimana sakitnya seorang dokter tidak bisa mengenali bau darah,” ujarnya sambil tertawa kecil entah itu tersedan karena menahan tangis atau memang tengah tertawa kecil. 

Sampai suara hentakan pisau yang keras dilanjutkan dengan suara benda jatuh dari tempatnya memotong. Aku mencium bau yang sama seperti yang kucium kemarin dan tadi siang. Bau rempah dan bau yang tidak bisa ku deteksi asalnya darimana. Aku melihat cairan merah mengalir di meja ditempatnya memotong. Ia berbalik dan tersenyum dengan jas putihnya yang banyak bercak.

“Tadi siang aku memberimu obat tidur, maafkan aku. Aku tahu kau akan bertanya mengenai bau. Sehingga aku berpikir kenapa tak kutunjukkan bau apa itu langsung padamu. Sekarang apa kau mengerti bau apa itu?” ucapnya. 

Sambil berjalan menghampiriku dan duduk di sebelahku seraya berbisik, “bukankah kau dan aku sama! Sama-sama tak mengenal bau itu,” bisiknya tepat di telingaku.

Komentar Facebook Anda

Thariq Ridho

Penulis adalah Mahasiswa Psikologi USU Stambuk 2017.

Pentingnya Mempersiapkan CV Bagi Mahasiswa | Podcast Wacana #Eps4

AYO DUKUNG BOPM WACANA!

 

Badan Otonom Pers Mahasiswa (BOPM) Wacana merupakan media yang dikelola secara mandiri oleh mahasiswa USU.
Mari dukung independensi Pers Mahasiswa dengan berdonasi melalui cara pindai/tekan kode QR di atas!

*Mulai dengan minimal Rp10 ribu, Kamu telah berkontribusi pada gerakan kemandirian Pers Mahasiswa.

*Sekilas tentang BOPM Wacana dapat Kamu lihat pada laman "Tentang Kami" di situs ini.

*Seluruh donasi akan dimanfaatkan guna menunjang kerja-kerja jurnalisme publik BOPM Wacana.

#PersMahasiswaBukanHumasKampus