BOPM Wacana

Kisah Semut Pekerja

Dark Mode | Moda Gelap
Ilustrasi: Surya Dua Artha Simanjuntak

 

Oleh: Surya Dua Artha Simanjuntak

“Sebagai pribadi yang sadar, rasanya tak ada yang lebih buruk melihat kawanan sendiri yang tak sadar dieksploitasi.”

Deretan huruf di halaman buku yang kupegang seakan memudar. Mataku membaca namun pikiranku melayang entah ke mana. Lima puluhan halaman sudah kubaca, sepertinya sudah saatnya berhenti. Lagian, salahku sendiri, suruh siapa baca buku di bawah pohon. Aliran oksigen yang baru keluar dari pabrik produksinya benar-benar terasa segar, sayangnya buat kantuk.

“Aduh, bangsat!”

Gigitan semut seketika buat kesadaranku kembali terkumpul. Tanganku spontan menyisihkan si semut usil. Semut rangrang rupanya. Pantas saja gigitannya terasa benar.

Walau sempat terjungkal, si semut kembali berjalan, merayap di tanganku. Sesampainya di ujung telunjuk, ia diam: hanya memandangku seperti minta disapa. Mata hitamnya bulat menggemaskan. Aku coba ambil foto, namun si semut tampak menghindar malu-malu.

“Halo Mut, apa kabar?” sapaku sopan, namun ia diam.

“Dari mana, Mut?” sapaku lagi, namun ia tetap diam.

“Semut mau apa?” sapaku ketiga kalinya.

“Mau curhat,” akhirnya ia jawab.

“Curhat apa?”

“Enak tidak jadi manusia?”

“Tidak,” jawabku singkat. Semut terdiam, sepertinya jawabanku tak membuatnya puas.

“Kalau jadi semut, enak tidak?” tanyaku yang tak ingin perbincangan berhenti.

“Tidak.”

“Kenapa?”

“Semut tidak punya kesadaran, manusia punya. Jadi manusia pasti bahagia.”

“Kau salah, Mut.”

“Tidak. Jadi semut tidak enak, jadi manusia enak. Lihatlah koloniku itu!” Kata si semut menunjuk ke arah dahan pohon. Di situ terlihat kawanan semut berlari di satu barisan, dari arah berlawanan mereka saling bertegur sapa dengan menabrakkan diri. Sepertinya mereka membawa remah-remah lezat untuk dikumpulkan di sarang.

“Lihatlah mereka, menjalani hidup seakan tak ada tujuan lain: hanya kerja-kerja-kerja. Untuk siapa? Untuk ratu kami! Mereka capek mengumpulkan makanan, namun hasilnya kerjanya sebagian besar dikonsumsi si ratu. Apa itu namanya kalau bukan eksploitasi?”

“Ya, kau benar, Mut. Tapi semut pekerja secara biologis memang terancang seperti itu.”

“Itulah mengapa jadi semut tak enak, jadi manusia enak. Semut tak punya kesadaran, manusia punya kesadaran! Kau tahu, mayoritas koloniku diisi semut pekerja. Namun karena mereka tak punya kesadaran, akhirnya mereka puas hanya jadi budak si ratu.

“Sedangkan manusia, kalian punya kesadaran. Aku dengar pada zaman dahulu manusia pekerja pernah memberontak melawan manusia yang mengeksploitasinya. Aku yakin kini manusia pekerja sudah hidup bahagia.”

“Kau salah, Mut.”

“Bagaimana mungkin aku salah? Semut tidak punya kesadaran sehingga tidak mau berontak, manusia punya kesadaran sehingga bisa berontak.”

“Dengar—seperti yang kubilang, semut pekerja secara biologis memang dirancang untuk merawat dan memastikan kelangsungan hidup si ratu, dengan begitu si ratu bisa bereproduksi dan kelangsungan koloni kalian terjamin. Secara biologis, semut pekerja sudah bahagia hidup seperti itu.

“Sedangkan manusia, evolusinya menciptakan kesadaran diri sehingga kini kami bisa berimajinasi dan merencanakan masa depan. Hasilnya? Lewat rencananya masing-masing, manusia punya standar kebahagian yang berbeda.

“Ya, kau benar dahulu manusia pekerja pernah memberontak melawan manusia yang mengeksploitasinya. Namun—seperti yang kubilang, manusia punya standar kebahagian berbeda. Walau kini kehidupan manusia pekerja sudah membaik dari masa sebelum pemberontakan, namun dari mereka ada yang belum puas dan ada yang sudah puas: manusia pekerja tak bisa bersatu kembali. Akibat, perpecahan itu, manusia pengeksploitasi tetap bisa menguasai manusia pekerja.

“Kau tahu mengapa jadi manusia tak enak? Ya, secara biologis manusia sudah punya kesadaran diri, namun hasilnya kini manusia tak punya kesadaran ekologis. Dahulu kala, sebelum nenek moyang manusia punya kesadaran diri, cara hidup mereka begitu dekat dengan alam. Kini, manusia merasa alam tunduk kepadanya, manusia juga merasa kedudukannya lebih tinggi dari hewan lain. Manusia seenaknya merusak alam hanya demi kepentingan dirinya. Itulah hasil kesadaran diri manusia.

“Mut, yang ingin kukatakan: kesadaran adalah kutukan dari evolusi manusia. Karena kesadaran manusia yang kau puja-puja itu, spesiesmu dan spesiesku mungkin akan punah dalam waktu dekat.”

“Ya, kau mungkin benar,” jawab si semut yang tampak kecewa, “tapi aku tetap tak mau dieksploitasi si ratu!”

“Kau sendiri nampaknya sudah punya kesadaran diri. Lihat, kesadaran membuat dirimu frustasi. Apalagi, cuma kau yang sadar. Sebagai pribadi yang sadar, rasanya tak ada yang lebih buruk melihat kawanan sendiri yang tak sadar dieksploitasi.”

Si semut tak terkesan dengan pujianku. Ia, menunduk seperti masih tampak kecewa.

“Ayolah, Mut. Jangan tegang-tegang begitu. Kau tahu, spesiesmu sangat berguna untuk ekologi bumi—tak seperti spesiesku. Kalian berjasa atas penyebaran benih, penyerbukan tanaman, dan sangat membantu meningkatkan kualitas tanah. Sedangkan kami sebaliknya: manusia hanya bisa menebangi hutan, membantai hewan, dan membuang limbah berbahaya ke alam.”

Si semut tetap diam. Aku menyerah.

“Ya sudah kalau kau tak mau diajak berbincang lagi. Aku mau balik, mending kau balik juga ke kolonimu. Atau, mau ikut ke rumahku?”

“Rumah? Di rumahmu ada gula?”

“Gula? Untuk apa?”

“Untuk ratu.”

“…”

Komentar Facebook Anda

Surya Dua Artha Simanjuntak

Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP USU Stambuk 2017.

Pentingnya Mempersiapkan CV Bagi Mahasiswa | Podcast Wacana #Eps4