BOPM Wacana

Penantian yang Tak Kunjung Usai

Dark Mode | Moda Gelap
Ilustrasi | Putri Patricia Sitinjak
Ilustrasi | Putri Patricia Sitinjak

Oleh: Rosinda Simanullang

Oleh: Rosinda Simanullang

“Tunggu di sini, Abang akan kembali. Putri nggak boleh bersuara apalagi keluar, mengerti?” Kurasakan kecupan hangat di keningku cukup lama, beralih ke pipi kiri dan kanan, berakhir pada hidung yang saling bergesekan. Aku tertawa geli, beginilah kebiasaan kami. Aku mengangguk setuju, berjanji untuk selalu mendengarkan apa pun yang abang katakan. Kemudian abang pergi entah ke mana, aku tidak tahu.

Selang beberapa menit semenjak kepergian abang, aku  melihat seseorang bertubuh kurus, ia membelakangiku sehingga sulit untukku melihat wajahnya. Ia terhempas jauh akibat tendangan demi tendangan dari beberapa orang berbadan besar. Aku ingin sekali membantunya, tetapi aku harus menepati janji, apalagi posisiku sekarang tidak memungkinkan untuk berbuat apa-apa.

Kueratkan pelukan pada tubuh kurusku sembari menenggelamkan kepala di antara kedua lutut yang saling merapat tertekuk. Suasana ini begitu mencekam hingga membuatku tak mampu berkutik. Jika diperkirakan tubuh anak itu sama persis dengan ukuran abang, tetapi tidak mungkin. Abangku pergi bekerja, bukan?

Perlahan-lahan mencoba melihat sekitar, saat tidak mendengar suara penyiksaan yang saling bersaut-sautan. Mereka masih berada di sana, pandanganku tertuju pada sosok tak berdaya yang tergeletak di tanah, kemudian diseret ke dalam mobil sesaat setelah dimasukkan ke dalam karung. Tubuh kecilku gemetar, walau bukan pertama kali melihat kejadian seperti ini. Namun, kali ini berbeda karena biasanya ada abang yang selalu berada di sampingku untuk melindungi.

Sedikit merasa tenang, setelah mereka pergi. Kini, aku hanya menunggu kepulangan abang. Aku harap nanti abang membawakanku permen yang banyak. Permen yang sama dengan milik temanku minggu lalu, aku ingin sekali mencicipinya.

Aroma menyengat dari tong berkarat ini sungguh membuatku pusing dan mual, tetapi aku harus bisa menahannya. Lagi pula, aku sudah terbiasa tidur di tempat berbau aneh seperti ini, kolong jembatan misalnya. Saat lapar seperti ini aku lebih memilih untuk tidur agar rasa lapar di perutku sedikit mereda. Perutku rasanya sangat sakit, dan aroma ini sungguh menusuk di hidungku, bau besi berkarat. Aku ingin menangis, saat sakit yang begitu mendominasi di seluruh tubuh, tetapi selalu terhalang oleh sekelebat ucapan janji-janji untuk tidak menjadi anak yang cengeng.

Memikirkan semua kenanganku dengan abang membuatku terhanyut dalam dunia mimpi. Tidak tahu seberapa lama aku terlelap, kemudian aku terbangun. Kulihat tidak ada lagi cahaya, semuanya gelap gulita, jika tadi masih ada cahaya yang masuk lewat sela-sela besi yang bocor, tetapi tidak untuk saat ini. Semuanya benar-benar gelap.

Aku takut gelap. Menahan lapar dan tangis masih bisa kulakukan, tetapi berbeda untuk satu hal ini. Aku benar-benar tidak bisa. Berusaha memanfaatkan puing-puing tenaga yang kian lenyap, aku berdiri. Berteriak dengan sepenggal tenaga yang tersisa. Berusaha untuk melepaskan diri dari dalam sini, tetapi begitu sulit. Tubuhku yang begitu kecil benar-benar kesulitan. Sekarang aku paham kenapa abang selalu berpesan agar aku cepat besar. Mungkin, agar aku bisa keluar dari tong ini.

Usahaku tak berbuah manis, justru membuatku semakin lemas saja. Aku kembali duduk, air mata sudah tak terbendung lagi. Tetesan demi tetesan lolos begitu saja, tak lupa untuk membekap kuat mulutku, agar tidak menimbulkan isakan. Jika abang mengetahui aku menangis mungkin dia akan marah dan tidak membelikanku permen.  Nanti kalau dia tanya, aku akan berbohong, “Aku tidak menangis, kok.”

Bagian leher bajuku rasanya sudah basah, akibat air mata yang merembes tak henti keluar. Tiap air mataku jatuh, dengan sigap aku menghapusnya dengan baju cokelat lusuh ini, aku melakukannya agar tidak ketahuan.

Aku begitu lelah dan pasrah hingga mentari mulai bersinar di tempatnya, tetapi abang tak kunjung menampakkan diri. Aku sudah sangat merindukannya dan aku sudah tidak memikirkan permen itu lagi. Kerongkonganku begitu kering dan perutku begitu ngilu.

Rasanya begitu senang saat ada yang membuka penutup tong yang aku duduki. “Abang,” lirihku lemas, aku biasanya akan melompat girang saat kepulangannya, tetapi saat ini aku tidak mampu. Stok tenagaku sudah benar-benar kandas. Bukan hanya perut dan kerongkonganku yang sakit kali ini. Seluruh badanku juga ikut sakit berkat terlalu lama duduk, kepalaku juga terasa berdenyut nyeri. Aku melihat semuanya berputar begitu cepat.

Tubuh kecilku diangkat keluar dari dalam tong. Rasa kecewa datang dengan sendirinya saat mengetahui yang mengangkatku bukanlah abang, tetapi orang lain. Aku tidak melihat wajahnya, tetapi naluriku berkata dia bukan abang. Aku sangat kenal dengan aroma tubuh serta pelukan abang, hal yang paling nyaman yang pernah aku rasakan di dunia ini. Ingin sekali aku berontak, tetapi kesadaranku hilang, aku tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya.

Aku membuka mata secara perlahan. Tempat ini, adalah rumahku—kolong jembatan. Aku terbangun, kucari keberadaan abang, tetapi nihil. “Kau sudah bangun?” Sedikit kecewa karena suara itu tidak berasal dari orang yang kuharapkan. Dia adalah Yosep, seorang laki-laki dua tahun lebih tua dari abangku. Dia sama seperti kami yang bekerja sebagai pemulung kadang kala sebagai pengamen.

“Abang di mana, Kak?” tanyaku sedikit lesu. “Nih, makan dulu!” Dia menyodorkan sekotak nasi bungkus kepadaku. Dengan perasaan yang begitu bahagia, aku mengambilnya dan dalam waktu sekejap habis. Aku tidak peduli dengan sekitarku kali ini, aku sudah begitu lapar.

“Anak pintar!” ucapnya tersenyum sembari menepuk kepalaku. Yosep benar-benar baik kepadaku. “Kakak, sudah makan?” tanyaku baru sadar diri.  Bagaimana bisa aku menghabiskan makanannya tanpa menawarkan dia, bahkan untuk berdoa pun aku lupa. ‘Putri bodoh!’ rutukku dalam hati. “Sudah, kok.” Dia mengusap kepalaku lalu beranjak pergi. “Kamu istirahat saja dulu. Biar Kakak pergi bekerja, Kamu jangan ke mana-mana,” Kak Yosep beranjak pergi, dia belum menjelaskan ke mana perginya abangku.

Lebih baik aku segera kembali ke tong semalam, aku sudah berjanji untuk menunggu abang di sana. Tempatnya cukup jauh, sekitar 2 kilometer. Namun, jarak bukan jadi penghalang bagiku untuk pergi ke sana, aku harus menepati janji, supaya dia juga menepati janjinya padaku. Aku tidak mau menjadi anak yang tidak penurut.

Setelah aku sampai, sedikit kesulitan untukku masuk ke dalam tong besar ini. Tingginya bahkan dua kali lipat dari badanku. Untung saja ada beberapa tumpukan kayu di dekat tong ini, dengan susah payah aku mencoba masuk dan ya! Berhasil. Namun, ada sedikit goresan di lengan dan siku akibat runcingnya beberapa bagian tong berkarat ini.

Aku sudah berada di dalam, aku akan tetap menunggu. Jarum jam terus berjalan, hari demi hari silih berganti, tetapi abang tak kunjung pulang. Kini aku sudah menjadi gadis dewasa yang bodoh. Setiap pagi aku akan ke sini melakukan sesuatu yang menjadi kewajibanku untuk menunggu pulangnya abang, saat malam tiba, kak Yosep tak bosan-bosannya menjemputku. Sudah berulang kali ia melarangku, tetapi tak kuhiraukan. Aku hanya akan mendengarkan abangku seorang, itu yang dia tanamkan dalam diriku yaitu untuk selalu menurutinya.

Aku tidak peduli dengan omongan-omongan orang yang mulai menganggapku tidak waras. Aku hanya punya satu tujuan hidup yaitu menunggu abang bahkan sampai maut menjemputku. Bukan terlalu bodoh untukku saat sudah cukup usia, tetapi tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi kepada abang. Aku sadar saat mengetahui identitas anak yang disiksa di depan mata kepalaku 10 tahun silam, anak itulah yang membuatku menanti hingga kini, dia abangku.

Biarlah itu menjadi kesalahan di masa lalu akibat dari kebodohan, aku akan membayarnya dengan menepati janji. Dia sosok hebat yang membesarkanku hingga berusia 7 tahun, selisih kami hanya 3 tahun. Namaku Putri dan nama abangku Putra. Hanya dia keluarga yang aku kenal di bumi ini, aku tidak tahu sosok seperti apa ayah dan ibu yang melahirkan kami. Setiap aku bertanya kepada abang, dia akan selalu berkata, “Kita punya ibu dan ayah, kok. Putri yang sabar saja, suatu saat abang akan bawa Putri bertemu ibu dan bapak. Namun, ada syaratnya. Putri harus cepat gede dan tumbuh jadi anak yang baik, Oke?”

Itu hanya sepenggal janji yang ia ucapkan, jika ditanya tentang apa saja yang telah abang ucap dan perintahkan padaku, maka dengan senang hati aku akan menjelaskannya secara rinci, tidak satu pun yang terlewatkan. Semuanya tersimpan dalam memori.

 

Komentar Facebook Anda

Rosinda Simanullang

Penulis adalah Mahasiswa Sastra Indonesia FIB USU Stambuk 2021. Saat ini Rosinda menjabat sebagai Sekretaris Umum BOPM Wacana.

Pentingnya Mempersiapkan CV Bagi Mahasiswa | Podcast Wacana #Eps4