BOPM Wacana

Terkejar Namun Tak Tergapai

Dark Mode | Moda Gelap
Ilustrasi | Ade Indah Hutasoit
Ilustrasi | Ade Indah Hutasoit

Oleh: Ade Indah Hutasoit

Tak ada alasan bagiku untuk membencinya. Lagipula dia tidak harus bertanggung jawab untuk perasaan yang muncul padaku. Tapi aku pasti akan tetap mengingat malam panjang yang kami lewati kemarin.

Setelah malam itu, sudah hampir tiga minggu lamanya kami tak saling sapa, entah itu melalui whatsapp atau media sosial lainnya. Kami masih saling memantau tentunya. Username Instagramnya selalu berada di urutan ketiga sebagai penonton story. Sesekali dia menyukai story ku dengan emoticon love. Aku juga masih memantau storynya, bedanya aku tidak akan mengirimkan tanggapan. Kami adalah dua manusia yang tidak terikat satu sama lain, tapi bodohnya diriku menempatkan namanya dalam posisi strategis dihati kecilku. Tapi kami dipertemukan kembali ternyata.

Lucu, menggemaskan, enerjik, dan menyenangkan. Begitulah aku menggambarkan dia yang bagaikan kupu-kupu, memamerkan keindahannya dan menarik perhatianku untuk menangkapnya. Dia memang bisa ku kejar namun tak akan mungkin bisa ku gapai.

Malam itu, tepat di hari sabtu, adalah malam dimana aku melakukan kesalahan terbesar, dan entah kenapa semudah itu aku tenggelam. Sebenarnya aku bisa berenang, tapi ini bukan tentang kemampuan berenang. Aku tenggelam dalam senyuman sosok inspiratif yang menatapku dengan lembut kala itu. Caranya mengisi kekosonganku menjadi alasan dibalik tembok yang perlahan roboh. Tembok itu roboh, dan lucunya bukan dia yang merobohkannya melainkan aku sendiri yang memilih. Padahal, sebelum malam itu, kami baru kenal tiga bulan lamanya.

Tepat pukul 23.00 WIB, semua orang tengah menari dan menyanyi di dalam ruangan dengan kaca terbuka di sebuah warung kopi Kota Jogja. Tanpa sengaja aku melihatnya duduk menyendiri dan jauh dari kumpulan orang-orang yang bernyanyi tadi. Aku melihat sekeliling dan kembali menatapnya. Sial, dia juga menatapku saat itu dah yah, mata kami bertemu.

Dia mengajakku untuk duduk di sampingnya.

“Tidak mau ikut bernyanyi?” tanyaku dengan gugup.

“Aku tidak suka minum.” Jawabnya dengan mimik wajah yang menunjukkan bahwa itu bukan selera dia. “Disana bahkan tidak ada minuman,” balasku karena aku tidak memperhatikan ada minuman disana.

Dia tersenyum. Dia menunjukkan minuman yang tertutup oleh kerumunan. Pantas saja aku tidak melihat minuman itu karena mataku sudah terpaku pada nya sejak awal, pikirku.

“Kamu belum tidur?” tanyanya. Aku menganggap pertanyaan itu sebagai pertanyaan yang sebenarnya tidak perlu ditanyakan. “Sudah, dan aku sedang mengigau hingga sampai kesini,” jawabku dengan menahan tawa. Dia pun tertawa kecil.

Percakapan kami malam itu cukup berbobot, tentunya kami tidak menggibah. Kami hanya me-review kelakukan orang lain dengan metode kualitatif. Kami membahas Agama, Politik, Sosial Budaya hingga LGBT. Kami membahas mengenai hukum yang menonaktifkan demokrasi, misalnya RKUHP. Yah, kami memang sedikit menggibahi pak Joko.

Sebenarnya aku sedikit terintimidasi kala itu karena gayanya saat menyampaikan pendapat sedikit mendominasi. Aku hanya mendengarkan dengan antusias dan berbicara ketika dia memintaku untuk memberikan pendapat. Entah mengapa, kami berdua tidak merasa terganggu dengan suara musik dangdut yang orang-orang nyanyikan, kami seakan memiliki sebuah tameng yang menjaga kami tetap fokus untuk berbicara dan menatap satu sama lain. Sungguh aku banyak belajar dan menyerap informasi.

Satu rokok berdua, karena memang hanya itu yang tersisa. Aku basa-basi menawarkan rokok bekasku dan ternyata dia menerimanya. Aku pura-pura datar saja waktu itu padahal aslinya dalam hati aku bahagia setengah mampus .

“Kamu tidak merasa jijik?” tanyaku sok datar.

“Kamu tidak rabies kan?” jawabnya dengan senyum tipis.

“Aku sudah suntik rabies kemarin jadi aman” balasku.

“Oh, ya sudah,” dan kami secara bergantian menghabiskan rokok itu.

Cukup lama kami bercerita dan aku mulai merasakan sekujur tubuhku kedinginan, sudah pukul 03.00 dini hari.

“Aku pamit undur diri ya,”.

Dia menatapku dan berkata “Ya, sekian dan terima gaji”.

Anehnya lelucon se-cringe itu bisa membuatku tertawa. Aku beranjak pulang dan meninggalkan dia sendiri dengan ponselnya.

Sekitar beberapa hari, aku melihat story Instagramnya dan ya, cukup mengejutkan. Terpampang sosok wanita cantik dan elegan, menggunakan riasan yang memukau dan gaun indah yang membalut tubuhnya. Postingan itu diisi dengan lagu ‘A Thousand Year ‘dari Christina Perry.

Jujur, aku memang merasa sakit kala itu, merasa rendah diri dan pastinya insecure parah. Bagaimana mungkin aku bisa mendapatkan hatinya sementara dia sudah memiliki pasangan yang rupawan seperti ini? Aku berjanji pada diriku saat itu juga. Aku segera membangunkan diriku dari halusinasi yang berkepanjangan. Dia sudah mengikat simpul di hatiku dan tak mungkin bisa ku lepas, dan layaknya kupu-kupu tadi, aku sedang mengejarnya dan aku sadar tak mungkin dia bisa ku gapai.

Meskipun dia masih sering menanggapi story ku dengan emoticon love, aku akan menganggap itu sebagai bentuk apresiasi saja. Sial, ternyata begini jadinya kalau kita terlalu mudah untuk menaruh hati. Sejak saat itu aku mulai belajar untuk melepaskan dan bahkan berhenti mengejar kupu-kupu itu. Biarlah dia terbang dengan bebas dan menari di udara. Lagipula dia tidak harus bertanggung jawab untuk perasaan yang muncul pada ku. Aku yang salah dan aku yang harus berusaha menghapus tinta yang sempat terlukis di kanvas hatiku.

Entah apa yang dia pikirkan, mengapa dia berani mengirimkan pesan padaku di Whatsapp setelah aku mengetahui bahwa dia telah berpunya. Seharusnya dia tau, bahwa aku melihat wanita yang dia unggah di Instagramnya, karena aku pasti ada di list penonton storynya. Mengapa dia mengirimkan pesan dengan gaya ketikan yang sangat friendly seakan-akan aku tidak tahu apa-apa tentang mereka.

Besoknya aku bertemu denganya dalam sebuah kegiatan di Bogor dan aku bisa membaca gerak tubuhnya. Dia mencariku, padahal sedari tadi aku sudah memantaunya. Aku sudah tidak mau lagi berkomunikasi dengannya. Akhirnya aku menunjukkan diri, aku menghindari kontak mata dengannya. Ya, bagaimana tidak? Aku juga sudah tau dia telah berpunya. Dia pasti merasakan perubahan sikapku kepadanya, tapi itu yang terbaik. Tapi aku akan pasti tetap mengingat malam panjang yang kami lewati kemarin.

Sejak kegiatan di Bogor itu, aku memutuskan untuk berhenti mencari tahu tentangnya, bahkan aku tidak membalas pesannya di Whatsapp. Meskipun berat hati ini melepaskannya tak ada alasan bagiku untuk membencinya. Setengah jiwaku sudah bersamanya, tapi ketika kamu mencintai seseorang bukankah kamu harus melepaskannya?

Komentar Facebook Anda

Ade Indah Hutasoit

Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP USU Stambuk 2021. Saat ini Ade menjabat sebagai Redaktur Tulis Badan Otonom Pers Mahasiswa Wacana.

Pentingnya Mempersiapkan CV Bagi Mahasiswa | Podcast Wacana #Eps4