BOPM Wacana

Jangan Bangunkan Aku

Dark Mode | Moda Gelap
Ilustrasi | Ade Indah Hutasoit
Ilustrasi | Ade Indah Hutasoit

Oleh: Ade Indah Hutasoit

Bangun! Sudah berapa lama kamu menyatu dengan debu? 

“Halo ma,”

“Iya, sehat, Aca lagi di kost,”

“Enggak kok, Aca rajin minum air putih,”

“Rajin olahraga,”

“Anu, ma,”

“Insya Allah, tahun ini,”

***

Aca berlari menjauh dari sang pangeran yang mengejarnya tanpa henti dikala senja mulai berubah menjadi kelabu. Tawa mereka berpacu dengan ombak, angin menghembuskan helaian rambut Aca. Mereka berhenti dan berbaring diatas pasir pantai yang lembab, mungkin mereka mulai lelah bermain kejar-kejaran. Aca menatap pangerannya dan jemari Aca mulai menyusuri setiap lekuk wajah pangerannya, kecupan pun melayang di kening Aca.

Minggir!!! ucap salah satu pengunjung diskotik yang mengagetkan Aca hingga Aca terbangun dari khayalannya bersama pangerannya. Yah, tadi Aca sedang berkhayal, memang sudah jadi kebiasaan.

Pria tadi menggoda wanita berhijab di samping Aca yang tengah menikmati segelas vodka dalam sebuah Diskotik di sudut Kota Jakarta. Pria itu terlihat seperti orang dewasa usia 27 tahun.

“Nona, cinta ibarat mata air abadi yang selalu mengalirkan kesegaran bagi jiwa-jiwa dahaga. Bagaikan anggur nikmat, yang manis di bibir menghangatkan badan, tetapi tidak jarang juga memabukkan.” Pria itu menyentuh jilbab wanita itu dan mencium aromanya.

“Maaf tuan, bukan orang sepertimu yang akan ku jadikan sebagai teman hidup.” Wanita itu menepis tangan pria tadi dengan kasar, “Dasar jalang! Kau juga wanita murahan,” Pria tadi  mendorong wanita itu dan sempat terjadi keributan hingga pada akhirnya diamankan oleh security. Tak lama setelah itu, suasana kembali normal. Pengunjung menari dan pelayan berlalu-lalang.

Kumpulan insan menegak vodka berbau kecut, berdiri sempoyongan dan menari hingga keringat menyatu dengan minuman yang mengalir dari sudut bibirnya. Alunan musik menggerakan bahu dan kaki mereka, larut dalam reaksi vodka yang memberi sensasi panas dan meningkatkan hasrat seksual. Aca tersudut mengamati semua, menjepit sebatang rokok dan menyalakan pemantiknya. 

Kini bibir Aca melengkung perlahan, bagaimana tidak? Aca baru saja menerima pesan singkat dari sosok yang dia khayalkan tadi, hanya tersisa bisikan yang mendengung di telinganya di pagi hari, bisikan yang hanya dapat didengarkan dalam mimpinya dikala malam tiba.

“Aca, ketika hujan turun, keluarlah, cobalah menyatu dengannya. Hitunglah setiap tetesan yang membasahi tubuhmu, karena sebanyak itulah aku bersyukur memilikimu. Begitulah isi pesannya.

Robert, pacar Aca yang kini berada di Kupang. Hubungan jarak jauh yang seolah-olah tak terasa walau komunikasi tidak lancar. Tak lagi ada sekat, keduanya terbuka satu sama lain. Sudah menjalin hubungan asmara selama tiga tahun.

“Jika Tan Malaka memilih jalur kiri untuk revolusi dan Dewa Krisna memilih menjelma menjadi anak kecil untuk melindungi Vrindavan, maka aku akan memilih untuk tetap bersamamu dalam segala kondisi,” balas Aca.

Tiba-tiba, muncul postingan Instagram yang melunturkan senyum Aca. Tak banyak yang tahu betapa tersayatnya hati Aca melihat senyum sumringah wanita dalam postingan itu. Rok ketat, kebaya, riasan, salon, fotografer dan bunga, Aca sungguh iri. Pertahanan mulai robek dan tak tertahankan lagi bendungan di sudut matanya, akhirnya terbentuk sungai kecil di sepanjang pipi Aca.

“Aaaacaaaaa.” Seorang pria mendekat. Segera Aca menghapus air mata yang tidak ingin ia tunjukkan pada siapapun. Pria yang mengenakan barang bermerek berjalan sempoyongan hingga jatuh di pangkuan Aca. Namanya Glen, anak tunggal kaya raya yang menjadi ATM berjalan bagi Aca. Dengan lembut Aca mengelus rambutnya di sudut ruangan. “Jika tidak ada aku, bisa saja kau menjadi santapan preman, memeras mu seperti sapi yang tak berdaya,” ucap Aca dikala kekacauan menguasai kepalanya. 

Tanpa aba-aba Glen muntah, membasahi gaun sederhana milik Aca. “Anak setan, aku bukan Ibumu yang bisa memanjakanmu.” Aca segera memapah Glen ke mobil yang tak jauh parkirnya dari Diskotik. Mobil mewah yang dihadiahkan oleh ayah Glen bagi putra manjanya. Aca meletakkan Glen dengan posisi berbaring di kursi belakang, mengambil kemudi untuk mengantar anak itu ke rumahnya.

Satu persatu lampu jalan menyorot wajah Aca sekilas dan kemudiaan hanya meninggalkan kegelapan diantara mereka berdua. Aca kembali merenungi kehidupannya yang bagaikan gambar tanpa penghapus, penuh penyesalan dan kekhawatiran. Hidup yang bagaikan daun kering, rapuh jatuh di injak orang pula. “Jika bukan karena anak setan satu ini, tak tau lagi aku harus mengadu kemana,” bisik Aca. 

Sampai dirumah keluarga Glen, seperti biasa supir diambil alih satpam dan Aca keluar dari mobil, Aca menyaksikan gerbang rumah itu perlahan ditutup. Aca berjalan menyusuri lorong sempit bersama tikus yang saling menyahut diantara genangan air. 

Tiba di kost yang berukuran 3×4, Aca menarik ponselnya. Online, status orang yang selalu dinantikan balasannya setiap hari. Sekali tiga hari Aca akan mengirimkan pesan, namun tak ada respon. Siapa lagi kalo bukan dosen pembimbing.

“Sekarang bagaimana? Sudah setua ini. Sudah sejauh ini, sudah selelah ini. Apa yang harus aku katakan pada ibuku, aku takut, aku sudah hilang arah.”  Aca kembali menangis dan tertidur di meja belajarnya.

***

Aca dibangunkan oleh panggilan masuk dari Glen. “Makasih besti, kamu memang yang terbaik, nanti kita cari ayam semur, tenang aku yang bayar semua, udah yah, bye,” ujar Glen dari balik telepon. Glen tak pernah menanyakan ketersediaan Aca, sesukanya menjemput Aca hingga tidak bisa ditolak. Aca pun bangkit dari meja belajarnya yang masih menunjukkan bekas air liur. Bergegas untuk mandi.

Tak lama setelah selesai dengan drama antara gayung dan sabun, kini ponsel Aca berdering lagi, kali ini panggilan masuk dari Robert. Ia naik ke lantai dua untuk menjawab telepon Robert. Lantai dua kost Aca adalah atap kosong dan tempat terbaik untuk telponan, merenung dan berkhayal.

Sudah satu minggu tidak telponan karna Robert adalah karyawan pabrik kosmetik dengan waktu kerja 8 jam sehari, tidak kaya. Walau demikian, dia tetaplah pangeran bagi Aca. “Siang sayang, gak kerja? Eh iya ini udah jam makan siang yah.” Buka Aca.

“Iya, gimana sayang? Sudah sejauh mana, tetap semangat yah,” ujar Robert lembut.

“Santai aja kali, apa sih yang dikejar, toh juga cepat-cepat gatau kemana, kita rombak standar, ngapain ikut-ikutan sama orang, nikmati aja dulu masa muda.”

Sebenarnya Aca selalu pura-pura cuek dengan skripsinya. Nada kebohongan Aca tak pernah bisa dideteksi oleh  siapapun. Namun, percakapan mereka tetap untuk melepas rindu.

“Dan apabila tak bersamamu, kupastikan ku jalani dunia tak seindah kemarin.” Robert bernyanyi untuk Aca hingga perlahan Ia berbaring di lantai dan tertidur.

Aca keluar dengan mengenakan rok batik dan kebaya biru yang menunjukkan lekuk tubuhnya yang indah. Wajahnya tampak berseri-seri dengan riasan yang memukau. Rambutnya yang tertata dengan indah menambah sempurnanya penampilannya. Ibu dan ayah Aca mengenakan pakaian yang senada dengannya, biru dongker.

Teman-teman Aca membawa hadiah yang sangat ditunggu-tunggu Aca sejak lama. Robert juga datang dengan bunga mawar merah yang membuat Aca merasa melayang tanpa marijuana. Dan Glen memberikan hadiah yang diluar ekspektasi, tiket liburan ke Bali untuk Aca dan pacarnya, Robert.

“Selamat wisuda yah,”

“Akhirnya,”

“Selamat ya,”

“Aku bangga banget,”

“Selamat Wisuda sayang,” 

“Ibu bangga padamu sayang.”

Fotografer mengatur mereka semua untuk diabadikan dalam sebuah gambar. Aca memberikan senyuman termanis dan saatnya fotografer menghitung. “Satu, dua,ti,” tiba tiba orang tak dikenal memanggil nama Aca.

“Aca, Aca, Aca, bangun Aca! Aca.” Aca pun terbangun dari mimpi indahnya, ternyata tadi hanyalah mimpi. Aca bermimpi jika dia sedang wisuda. Terbangun dari mimpi indah, kini kenyataan menghampiri.

“Sudah berapa lama kau menyatu dengan debu?” Glen menyerahkan ponsel Aca yang sedari tadi berdering di genggamannya saat Ia tertidur. “Dosen pembimbingmu,” ujar Glen.

“Assalamualaikum, Pak,”

“Waalaikum salam, Judul kamu harus diganti, akan sulit mendapatkan responden, terutama lokasi penelitian, Bapak tidak yakin kamu bisa cari. Rombak ulang semua dari Bab I,” ujar dosen pembimbing skripsi Aca yang selalu menghilang tak tahu kemana. Aca diam tak berkutik, dan Glen masih tidak tahu apa yang terjadi.

“Makan dulu Ca, nih aku bawain cemilan.” Dengan polos Glen menyerahkan martabak yang ia bawa.

Aca berteriak histeris dan melemparkan semua makanan yang dibawa Glen dari lantai dua. Glen masih terpaku kebingungan menyaksikan Aca yang memukul tembok. Aca hendak melompat ke bawah, namun untungnya masih bisa diselamatkan oleh Glen.

Komentar Facebook Anda

Ade Indah Hutasoit

Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP USU Stambuk 2021. Saat ini Ade menjabat sebagai Redaktur Tulis Badan Otonom Pers Mahasiswa Wacana.

Pentingnya Mempersiapkan CV Bagi Mahasiswa | Podcast Wacana #Eps4