BOPM Wacana

Kilas Balik Asmara

Dark Mode | Moda Gelap
Ilustrasi | Ade Indah Hutasoit
Ilustrasi | Ade Indah Hutasoit

Oleh: Ade Indah Hutasoit

Sejenak aku mengamati bocah yang sibuk dengan thermometer ditangannya. Raut wajah anak umur lima tahun itu terlihat polos dan seakan dunia sedang baik-baik saja dimatanya.

Bisa ku tebak, wanita disamping bocah itu adalah ibunya. Tampang tinggi semampai dengan baju dinas berwarna putih. Wanita dengan wajah sayu itu menghampiriku, memintaku menjaga anaknya selagi beliau membersihkan bercak darah di lantai. Bercak darah salah satu pasien yang sudah berlalu 30 menit yang lalu. Aku tak tahu tragedi di balik darah itu, aku tiba di klinik ini karena tersesat.

Pandanganku kembali kepada anak kecil yang memainkan thermometer. Aku melihat air raksa yang naik dan turun sesuai dengan suhu dimana thermometer itu mendarat. Lama ku perhatikan, anak itu menjepit benda di ketiaknya. Aku melihat air raksa naik ke suhu 36°C. Anak itu terlihat bahagia ketika air raksa naik turun.

Aku mendengar suara langkah kaki yang teratur, suara itu mendekat, sejenak ku menoleh dan melihat wanita tadi membawakan segelas teh yang masih beruap.

“Silahkan di minum Namira, disini gada makanan, hanya ada teh,” ucap wanita itu sembari meletakkan teh di hadapanku. “Terimakasih ibu, ini sudah lebih dari cukup.”

Aku penasaran tragedi di balik bercak darah itu.

“Pasien tadi kenapa bu?”

“Ciuman dengan aspal, sepertinya dia pendatang dan tidak familiar dengan lubang di jalanan desa ini.”

Aku kembali mengingat alasan aku ada disini. Desa super dingin dan hanya diselingi suara burung saling menyahut. Aku tertawa ketika aku melihat motor yang sudah kehabisan bahan bakar. Bagaimana tidak? Aku tersesat menuju tempat pelarian yang sebenarnya aku tidak tahu dimana letaknya. Sepertinya pasien tadi senasib denganku, bedanya aku hanya sedikit sial, gumamku.

Aku kaget, anak kecil itu mencelupkan termometer ke dalam teh yang tak lagi panas karena terlalu lama ku diamkan. Anak itu senang karena air raksa naik ke suhu 40°C. Entah mengapa aku tak marah sama sekali. Aku justru menawarkan anak itu untuk mencelupkan thermometer ke dalam genangan air di pot bunga. Ketika suhu thermometer turun ke 21°c aku teringat dengan perjalanan asmaraku dengan Nelson.

Aku adalah penyebab kekacauan kisah ku dan Nelson. Aku dengan perasaan yang sengaja ku penjarakan dan ku tidurkan, perlahan ku buka dengan kehadiran sosok lelaki yang hampir sama dengan masa lalu ku .

Karakteristiknya hampir sama, mulai dari penampilan, cara pikir, cara menanggapi masalah hingga cara mencari kesenangan. Awalnya aku berjanji pada diriku sendiri bahwasannya tak akan ku coba lagi memulai kisah percintaan dengan tipe orang yang seperti itu. Aku merasa cukup sekali saja, karna kisah 4 tahun lalu terlalu menyedihkan untuk diingat dan terlalu menyakitkan jika harus terulang kembali.

Namun, ini adalah titik dimana aku mulai menyadari bahwa ternyata aku semudah itu diombang-ambingkan. Sosok pria yang mirip dengan masa lalu ku muncul dan mengungkap perasaannya. Rasanya sangat kacau, karena ternyata aku juga mulai menyukainya. Tapi, bagian yang cukup meresahkan adalah ketika aku memasang sekat setinggi mungkin dan tidak membiarkannya masuk kedalam kehidupanku agar aku tidak lagi merasakan sakit hati seperti yang aku alami di masa lalu.

Lucunya, kata-kata yang dia lontarkan mendobrak benteng pertahanan yang kupasang. Aku seakan diyakinkan untuk berani membuka hati kembali. Pada kenyataanya aku pun memberanikan diri. Aku mulai terbuka dan menceritakan keseharianku lewat pesawat telepon.

Nyatanya, kekecewaan adalah angin yang ku dapat setelah membuka pintu. Aku bingung, atas semua rasa yakin yang ditumbuhkan, mengapa dia sendiri yang membuatku ingin menutup pintu kembali?

“Namira, punten yah, anak ibu memang sedikit aktif, ini ibu gantiin tehnya, monggo di minum selagi hangat.” Suara wanita itu membangunkanku dari lamunan. Aku kembali memperhatikan termometer dengan air raksa yang turun dan naik. Layaknya kisah cintaku yang awalnya berada di titik keyakinan terendah dan mulai naik ke titik yakin seyakin-yakinnya dan keyakinan itu surut kembali.

“Apa yang Namira pikirkan?” tanya wanita itu penasaran.

“Ibu kenapa bisa sampai di desa ini,” tanyaku balik, untuk mengalihkan pembicaraan.

“Ibu dulu tinggal di kota, tapi tidak ada ketenangan di sana, hiruk pikuk kota mengganggu kesehatan fisik dan mental ibu. Sudah 4 tahun kami pindah kesini. Satu tahun setelah melahirkan anak, kami memutuskan untuk pindah.”

Ternyata kita sama-sama sedang mencari ketenangan disini, gumamku dalam hati. Entah mengapa aku percaya kepada wanita ini.

“Aku putus dengan pacarku sekitar 4 tahun yang lalu, kami memutuskan untuk berpisah karena jalan kami tidak lagi sama. Dia terlalu sibuk dengan dunianya sendiri. Aku tidak merasa memiliki ruang dalam kehidupannya. Dia selalu mengatakan bahwa aku penting baginya, tapi disatu sisi sikapnya seakan-akan tidak menganggapku ada.”

Aku sempat memotong ceritaku untuk mengamati ekspresi wanita itu dan ternyata beliau hanya mengangguk dengan serius.

“Bahkan untuk sekedar mengabari dia dimana rasanya sangat sulit. Dia juga masih terjebak dengan masa lalunya yang selalu jadi tolak ukur untuk setiap yang ada dalam diriku. Misalnya, dia selalu mengomentari caraku bicara, caraku berpakaian, caraku mengungkapkan kesedihan, dan caraku menaruh perhatian padanya. Dia selalu selalu kesal ketika aku bercerita tentang apa yang kualami.

Sejak saat itulah aku memilih untuk diam dikala ada hal yang tak bisa aku ungkapkan dan ketika aku sedang marah. Ah, tapi lupakan saja tentang mantanku itu, dia tak begitu penting lagi. Aku bahkan bersyukur memilih berpisah.

Aku baru saja bertemu dengan seorang pria sekitar 2 bulan yang lalu, dan kami belum pacaran, masih pendekatan. Namanya Nelson. Dia tidak suka jika aku memendam semua kesedihanku sendirian. Kami sering terhubung di pesawat telepon, hanya saja aku merasa seperti orang jahat ketika aku dianggap hanya sibuk dengan ceritaku sendiri. Padahal, jelas-jelas dia yang memintaku untuk terbuka padanya.

Aku sudah terbiasa membalut luka sendiri dan memendam semua selama empat tahun terakhir. Aku memberanikan diri untuk bercerita seperti yang diam mau, tapi mengapa dia malah merasa terganggu dengan hal-hal sepele yang aku ceritakan? Aku bingung.”

Toxic, egois, membuka hati, terjebak, terbuka, marah, diam, menyesal, temperamen, perpisahan. Hal itu yang berlalu lalang di otak ku.

Wanita itu menggeleng, dan aku tidak tahu makna di balik ekspresinya. Dia mengambil sebuah foto dari dalam dompetnya. Aku melihat pria berambut panjang dengan tubuh jangkung dan tampilan tak terurus. Wanita itu pun membuka ponselnya.

“Ini adalah suami ibu ketika masih muda, tampangnya seperti pengemis jalanan bukan? Ibu juga pernah diposisi kamu, merasa tidak dihargai, diacuhkan, dan terkesan tidak dianggap ada. Coba kamu lihat foto pernikahan ini, seperti bukan dia kan?”

Aku memperhatikan foto di layar ponsel, saat suaminya masih jadi berandalan. Drastis perubahannya, 360 derajat. Aku masih bingung arah pembicaraan wanita itu kemana. Tapi yang jelas, melihat foto lama itu, aku teringat mantanku, dan juga teringat pada Nelson. Memang Nelson dan mantanku tidak terlalu tinggi, rambut mereka sama-sama panjang, tapi tampilan mereka cukup terawat, tak separah pria di foto itu.

“Kamu harus mengerti, pria adalah makhluk sederhana. Dia tidak suka hal-hal yang merumitkan pikiran, terutama jika hal rumit itu tentang wanita. Laki- laki terkadang tidak suka ketika kita bertingkah seperti bocah SMP. Belajarlah menjalani kisah asmara yang dewasa,” ucap wanita itu dengan tatapan yang serius ke arah ku.

“Terkadang, bahkan tidak semua kisah harus kita ceritakan. Bukankah lebih baik jika kamu menceritakan hal-hal yang menyenangkan saja? Anggap saja hal ini bertujuan agar kalian tidak saling membebani pikiran?

Bukankah lebih baik jika hubungan itu diwarnai dengan cerita keseharian kalian yang menyenangkan saja? Daripada kamu memaksakan diri untuk menceritakan semua kepedihanmu. Tak ada yang bisa memahami dirimu sendiri lebih dari dirimu,” tambahnya.

Lantas aku pun bingung, bukankah lebih baik jika kita terbuka dengan orang yang kita cinta? Bukankan lebih baik jika kita saling menceritakan kesedihan kita?

Wanita itu kembali menatapku, sepertinya dia menangkap kebingungan di raut wajahku.

“Tidak perlu terlalu dipikirkan, itu hanya saran. Dulu, saat kami masih pacaran ibu sering menceritakan semua kesedihan, dan sebenarnya tidak akan ada bedanya ketika kita menceritakan itu atau tidak. Barangkali mungkin akan ada solusi yang ditawarkan pasangan, tapi tetap saja kita yang mengerti diri kita. Ibu merasa lebih baik jika menyelesaikan masalah itu sendiri dan ketika semua sudah kembali normal, maka aku akan menceritakannya kepada pasanganku.”

Aku mulai mengingat kilas balik asmara 4 tahun lalu. Sial, ternyata dulu aku terlalu berlebihan dalam mengungkapkan kesedihan. Dulu, aku selalu meluapkan semua emosi kepada pasangan. Aku adalah orang dengan emosi yang meledak-ledak.

Aku kembali mengingat. 4 tahun lalu adalah masa-masa sulit mantanku, saat itu dia tengah mencari pekerjaan. Bayangkan saja, aku menumpahkan cerita-cerita sedih ku padanya disaat yang bersamaan dengan masa-masa sulitnya. Aku mulai menyadari, ternyata dalam asmara yang dewasa, kita harus saling memahami dan bukan hanya ingin dipahami saja.

Sekarang aku mengerti, ternyata aku hanya terlalu ingin di dengarkan, dan mungkin aku sudah terlalu berlebihan dalam menanggapi permasalahan kecil tadi. Nelson, maafkan aku, gumamku.

“Gimana Namira? Sudah menemukan solusi?” tanya wanita itu hingga aku terbangun dari lamunan.

“Sudah bu, aku harus kembali ke Kota. Nelson mungkin sedang mencariku, karna aku pergi diam-diam, aku bahkan tidak memberitahu bahwa aku sedang marah padanya.” Aku segera mencium tangan wanita itu dan mengelus kepala bocah dengan termometer tadi.

“Gunakan bensin kami dulu sampai kamu menemukan SPBU terdekat.”

Setelah mengisi bahan bakar, aku pun kembali ke kota dan segera ke kontrakannya. Sepanjang perjalanan aku sudah bertekad untuk meminta maaf. Setiba di kontrakan, aku tercengang.

Sial, pemandangan itu menghancurkan hatiku. Nelson sedang berpelukan dengan wanita lain di depan kontrakan. Hatiku sakit, spontan air mataku jatuh dan aku terdiam. Nelson dan wanita itu menoleh. Wanita itu tampak bingung aku siapa.  Aku membalik badan dengan malu, aku tak bersuara.

“Namira, kamu dari mana saja? Kenalin ini pacar mas, kemarin mas udah mau kenalin ke kamu, tapi kamu tidak ada di rumah.

“Halo, namaku Sinta,” ucap wanita itu sambil mengulurkan tangan.

“Namira.”

Aku menatap Nelson dengan kecewa. Aku tidak melihat penyesalan di wajah Nelson, dia terlihat baik- baik saja. Aku memutuskan untuk pulang dan kembali meredam semua sendiri.

“Aku pulang dulu yah, semoga kalian langgeng, aku harus pergi bekerja.”

Aku Pun beranjak dan mengutuk Nelson di hatiku. Nelson keparat, sialan, tidak berperasaan. Thermometer sialan, kau mewakili kisah cintaku. Naik turun, naik dan turun lagi.

Komentar Facebook Anda

Redaksi

Badan Otonom Pers Mahasiswa (BOPM) Wacana merupakan pers mahasiswa yang berdiri di luar kampus dan dikelola secara mandiri oleh mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU).

Pentingnya Mempersiapkan CV Bagi Mahasiswa | Podcast Wacana #Eps4