
Judul | The Deaf Village: Desa dengan Bisu Tuli Terbanyak di Dunia |
Sutradara | I Made Gita Pratama |
Produser | Nathasya Regina Sihombing |
Rilis | 24 April 2024 |
Durasi | 19 menit 40 detik |
Genre | Dokumenter |
Tersedia di | Kanal YouTube Watchdoc Documentary |
Oleh: Firda Elisa
Desa ini tidak mengenal adanya diskriminasi. Setiap penduduknya, baik normal maupun tuli-bisu, diberikan kesempatan yang sama untuk menjalani hidup.
Film ini menyoroti keistimewaan Desa Bengkala yang terletak di Kecamatan Kubutambahan, Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali, Indonesia. Dokumenter garapan Watchdoc Documentary ini berkolaborasi dengan mahasiswa jurusan jurnalistik Universitas Kristen Indonesia.
Menjelaskan mengenai kehidupan penduduk Desa Bengkala atau yang dipanggil juga dengan nama Desa Kolok. Dalam bahasa Bali, kolok berarti bisu dan tuli.
Menurut pemaparan Perbekel Desa Bengkala, Made Astika, terdapat gen resesif yang umum di kalangan penduduk yang mengakibatkan tingkat ketulian yang jauh lebih tinggi. Jumlah penduduk di desa ini diperkirakan berjumlah sebanyak 2.937 jiwa. Namun, hampir 2% dari keseluruhan penduduk desa ini terlahir tuli dan bisu sehingga menjadikannya sebagai populasi tuli bisu tertinggi di Indonesia.
Meskipun begitu, penduduk desa yang terlahir normal juga menguasai bahasa isyarat untuk dapat berkomunikasi dengan penduduk yang terlahir tuli dan bisu.
Di desa ini, disabilitas penduduknya tidak menghambat mereka dalam mencari nafkah. Penduduk dengan tuli bisu dapat bekerja sebagai buruh, mengelola lahan pribadi, maupun menjadi pekerja bangunan. Perempuan di desa ini juga diberikan kesempatan serupa untuk bekerja, seperti menenun maupun menganyam. Penduduk dengan tuli bisu diperlakukan dengan adil, tanpa diskriminasi, tanpa merasa terkucilkan.
Begitupun dengan pendidikan di desa ini yang menerapkan sistem pembelajaran seperti sekolah pada umumnya. Sekolah Dasar Negeri 2 Bengkala yang disorot dalam film ini merupakan sekolah inklusi yang menyediakan pendidikan untuk anak-anak dengan gangguan pendengaran, termasuk tuli dan bisu. Di sekolah ini, bahasa awal yang digunakan ialah bahasa isyarat lokal atau yang disebut juga dengan bahasa kolok.
Kolok Adalah Kutukan?

Desa ini sering kali menjadi fokus penelitian para peneliti. Salah satunya yakni penelitian pada tahun 1993 yang diketuai oleh Profesor Arya dari Fakultas Kedokteran Udayana, menyimpulkan bahwa penyebab kelahiran tuli bisu di Desa Bengkala ini adalah faktor genetik.
Meski demikian, menurut pemaparan Koordinator Warga Kolok, Ketut Kanta, pernikahan normal dengan normal bisa saja melahirkan keturunan dengan tuli dan bisu, maupun sebaliknya. Untuk mengurangi populasi tuli bisu ini, penduduk dapat melakukan pernikahan silang dengan orang yang bukan berasal dari Desa Bengkala.
Di sisi lain, penduduk desa ini masih mempercayai bahwa ke-kolok-an yang terjadi disebabkan oleh kutukan. Terkait kutukan tersebut, terdapat kisah turun temurun mengenai beberapa warga yang menyuarakan protes mereka terkait tarif pajak yang tinggi kepada Raja Jayapangus, Raja yang cukup lama memerintah di Bali. Namun, setelah dihadapkan dengan Raja Jayapangus, tidak ada yang mampu untuk berbicara maupun menjelaskan mengenai protes mereka. Di sinilah Raja Jayapangus mengutuk mereka menjadi tuli dan bisu.
Selain membahas mengenai kutukan tersebut, Prasasti Bengkala yang diterbitkan oleh Maharaja Sri Jayapangus pada tahun 1181 Masehi juga memberikan gambaran secara umum mengenai masyarakat Bengkala.
Menurut pemaparan dari Sejarawan Desa Bengkala, Ketut Darpa, isi dari prasasti tersebut adalah untuk mengatur masyarakat Bengkala mengenai apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, hubungan manusia dengan Sang Pencipta, hubungan manusia dengan alam, serta hubungan manusia dengan manusia lainnya.
Di dalam prasasti tersebut, disebutkan bahwa masyarakat Bengkala tidak disarankan untuk melakukan provokasi. Salah satunya dituliskan, “Tan wenang ikaraman Bengkale ngelaku sekadi labu” yang artinya masyarakat Bengkala tidak boleh berbuat seperti tanaman labu yang menjalar liar hingga ke pekarangan orang lain.
Melestarikan Seni di Desa Bengkala
Meskipun hidup dengan keterbatasan, masyarakat tuna rungu di Desa Bengkala tetap aktif dalam mempelajari dan mementaskan kesenian tradisional, salah satunya adalah tari Janger Kolok. Tari ini mengisahkan tentang kisah percintaan antar remaja. Tarian ini awalnya dilakukan oleh orang-orang normal, tetapi kemudian dikolaborasikan menjadi tarian Janger Tuli Bisu.
Mengubah gerakan dari Janger Kolok cukup sulit, karena penari tuli bisu lebih terfokus pada gerakan awal sehingga para pelatih harus rutin membimbing mereka. Tarian Janger Kolok juga turut ditampilkan sekilas di dalam film ini, memamerkan kemampuan dan bakat para penari.
Meskipun tidak dapat mendengar suara alunan musik yang dilantunkan, namun, penari tuli bisu dapat mengandalkan aba-aba tangan dari para penabuh gendang untuk menyesuaikan gerakan mereka dengan irama musik. Dalam film, diperlihatkan bagaimana sang penabuh gendang memberi aba-aba saat tarian dimulai dan diakhiri.
Salah seorang penari Janger Kolok tuli bisu, Suarayasa, mengaku merasa nyaman dan senang bergabung dengan komunitas ini karena semua anggotanya merupakan teman-teman tuli. Ia berharap agar komunitas tari ini dapat tetap dilestarikan agar tidak berhenti maupun punah.
Film ini mengungkapkan bagaimana sejarah ke-kolok-an yang terjadi di Desa Bengkala, baik dari sudut pandang masyarakat berdasarkan kepercayaan mereka, maupun dari sudut pandang ilmiah. Film ini dikemas dengan menarik, dengan turut menampilkan kehidupan penduduk Bengkala yang beragam, seakan mengajak penonton untuk ikut menikmati keseharian mereka.
Pendapat-pendapat lain dari penduduk Desa Bengkala juga turut melengkapi film, tidak hanya melalui tokoh-tokoh masyarakatnya saja sehingga membuat penonton merasa lebih mengenal Desa Bengkala dari cara pemaparan yang lebih sederhana.
Penonton yang tertarik untuk mengenal lebih jauh mengenai keistimewaan Desa Bengkala ini akan disuguhkan dengan pembelajaran-pembelajaran luar biasa yang bisa didapat melalui film ini.