BOPM Wacana

Senja Phile Tanpa Pilia

Dark Mode | Moda Gelap

Oleh: Amanda Hidayat

Ilustrasi: Yulien Lovenny Ester Gultom
Ilustrasi: Yulien Lovenny Ester Gultom

Amanda HidayatRasanya menjelakkan saat tahu hari ini tidak akan turun hujan. Manusia akhir-akhir ini memang begitu luar biasa. Walalu tak punya keahlian apa-apa tentang cuaca, tapi melalui aplikasi pemantau cuaca kita bakal diberitahu segalanya. Hujan atau tidakkah hari ini? Kata aplikasi yang terpasang pada gawai, tidak. Entahlah, tapi prediksinya sering kali tepat, meski tak selalu.

Sesuai prakiraan cuaca tadi, hari ini terik bakal mendominasi. Bahkan suhu masih akan tinggi sampai malam nanti. Kopi mungkin tak senikmat kala hujan lebat semalam. Aih, panas bakalan mendominasi. Matahari bakal lama menampakan diri. Senja bakal tak begitu terasa. Semoga saja gelap berontak pada penakhliknya.

***

Mana remotnya? Remot pendingin ruanganku entah kuletak di mana.

Sepagi ini, sudah seterik ini.

Pengganggu tenteram, Ayam, bahkan belum mengeluarkan suara pengganggunya, mungkin. Mungkin benar, tapi entahlah, ayam tak ada di sekitaran sini. Tapi mungkin memang benar, ini pukul tiga pagi, ayam mana yang membangunkan tuannya dipagi yang memang masih buta begini. Belum waktunya. Ayam juga punya rasa, aku tahu itu, aku rasa.

Ah, remotnya mana?

Dira, pembantu sialan yang percaya keajaiban Tuhan itu mungkin membawa remotku ke kamarnya. Sialan, jika remot hilang, kan bisa ambil yang di depan, malah punya tuannya yang diambil. Pembantu baru ini memang suka-sukanya saja. Tapi entah bagaimanalah, AC dihidupkan setiap ia memasuki ruangannya, mungkin.

Tak apa, biar dia menikmati kerjanya. Tapi entah bagaimana pula remot-nya bisa hilang. Remot-ku jadi korbannya. Ah sudahlah, remot yang di depan kan masih ada.

***

Pukul lima pagi. Alarm seperti biasa, membangunkan penyetelnya tadi malam. Deras bunyinya tak kepalang. Bunyi yang satu orang pun di dunia pasti tak sukakan ia. Entahlah siapa yang menciptakan variasi bunyi alarm. Berani bertaruh, dia juga pasti tak suka bunyinya. Sama kayak Alexander Graham Bell yang tak suka bunyi telepon, walau ia yang mencipta.

Tapi juga jangan juga kau pasang bunyi alarmmu dengan bunyi-bunyiannya Beethoven, Bach, Mozart, Schumann, dan lain sejenisnya. Bisa-bisa kau malah tidur nyenyak lagi karenanya. Jadi pasang saja nada bawaannya. Ini agar fungsi alarm yang kau setel benar-benar ada guna.

Meski banyak alarm yang melayang ke tong sampah, biasanya ini karena sang tuan merasa terganggu—walau sang tuan menyetelnya sendiri—tapi alarm begitu membantu produktivitas kerja mereka di zaman ultra modern ini. Kalau aku sebenarnya tak perlu, sebab aku bukan pekerja yang terikat waktu. Aku bekerja sesuka dan kapan aku mau. Kasian mereka yang bekerja dikontrol waktu.

Alarm kusetel hanya dihari-hari tertentu saja. Seperti beberapa kali dalam semingu untuk latihan kebugaran atau sekadar lari-lari pagi, sesekali sore sebelum senja.

Kau harus tahu beda sore dengan senja, puan, maksudku hujan.

Atau kau sudah tahu?

Entahlah, sebab kau tak bicara padaku.

Hei! Apa penakhlikmu melarang kau bicara padaku?

Tak akan kau jawab juga.

Oh, bodohnya aku, kenapa aku bicara dengan hujan, padahal hujan tak ada, dan takkan ada hari ini.

Seperti biasa, ini hari orang-orang terikat waktu bekerja. Sepi. Orang yang lari-lari di taman hanya satu-dua. Aku mulai lari-lari kecil. Ini taman tempat kami dua hari lalu menghabiskan malam ditemani hujan. Ya, kami. Kalau aku bilang kami, berarti aku dan Pilia. Kau musti ingat selanjutnya. Sambil berlari-lari pikiranku jadi terngiang aggunnya gadis, Pilia. Oh dia. Mungkin kami takkan bertemu untuk hari ini. Dia begitu enggan keluar rumahnya kalau cuaca seperti ini.

“Hai, kak,” sapa gadis yang aku tidak tahu namanya. Gadis ini sering menyapaku kalau sedang lari-lari di taman. Mungkin orang yang tinggal di sekitaran sini.

“Hai,” balasku enggan meski dengan senyum.

Gadis itu menghampiriku.

“Buku kakak yang terakhir bagus. Aku boleh bertanya-tanya tentangnya?”

Semua bukuku bagus. Batinku.

“Berapa lama kakak menulisnya?” tanyanya tanpa dipersilakan.

“Aku bahkan belum mempersilakanmu.”

“Aku sudah menanyakan satu pertanyaan,” balasnya.

“Oke, kau pemenangnya. Aku sudah lupa berapa lama, aku bukanlah orang yang menghitung waktu.” Aku memang tak pernah menghitung berapa lama sesuatu aku kerjakan.

“Selanjutnya, kenapa buku-bukumu selalu mengkritik tentang Tuhan, meski kadang bukumu tak bertemakan itu?”

“Kalau kau beli satu buku yang kutulis, itu bukumu. Kau mempertanyakan bukuku?”

“Baiklah, aku bertanya tentang buku yang kau tulis baru-baru ini terbit,” tegasnya.

“Keliru, aku tak pernah mengkritik tentang itu, aku hanya mempertanyakannya.”

“Mempertanyakannya?” tanyanya ragu.

“Tidakkah kau baca kalau di setiap buku-buku yang aku tulis selalu skeptis tentang Tuhan? Apa kau melihat aku mengkritiknya? Lagian bagaimana seseorang mengkritik sesuatu yang belum tentu ada, Dik?”

“Kau agnostik?” matanya menyipit.

“Itu istilah yang mereka berikan.”

***

Pukul lima sore. Seperti biasa, aku akan ditemani sore menunggu senja. Matahari tak berkurang congkaknya. Sialan. Sesore ini, matahari seterik ini. Ini seperti pukul dua siang dihari biasa.

Aku menuju tempat berkumpulnya orang-orang penyendiri di kota ini. Hotel tertinggi dengan rooftop yang menawarkan anggunnya senja.

“Latte,” kataku ketika pelayan datang. Aku paling tidak sudah meringankan kerjanya dengan tak membiarkannya bicara terlebih dulu. “Kentang goreng dengan saus, itu saja,” supaya dia tak bertanya lagi.

“Sila ditunggu, Mas.” Sialan, suaranya keluar juga.

Sial, aku salah. Senja ternyata jadi panjang karena terang matahari bercampur gelap-gelap sayup yang datang sangat perlahan. Aku jadi teringat Pilia, kalau begini kondisinya, pasti dia… Cepat-cepat aku turun menuju mobilku yang terparkir di lantai III. Tak sempat berurusan dengan kasir. Pesananku juga belum sampai ke mejaku.

Sampai di rumah. Benar saja, Pilia baru dari sini, terlihat handuknya yang tinggal dikursi tamu, mungkin ia habis jogging langsung kemari, mendapati aku tak di rumah dia mungkin langsung pulang. Setelah kutanya Dira, ternyata benar.

Apa hendak dibuat, aku kembali ke meja yang sudah ada latte dengan kentang goreng dan sausnya yang menggiurkan. Sudah dingin. Aku jadi tak berselera. Membayarnya sama saja dengan berinfak pada kapitalis, dan aku berinfak.

Pilia-ku, tak dapat kulepas rindu karena aku lalai dalam satu senja, senja yang seharusnya denganmu.

Komentar Facebook Anda

Redaksi

Badan Otonom Pers Mahasiswa (BOPM) Wacana merupakan pers mahasiswa yang berdiri di luar kampus dan dikelola secara mandiri oleh mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU).

Pentingnya Mempersiapkan CV Bagi Mahasiswa | Podcast Wacana #Eps4