BOPM Wacana

Hikayat Si Dia

Dark Mode | Moda Gelap

Oleh: Sri Wahyuni Fatmawati P

Ilustrasi: Yulien Lovenny Ester Gultom
Ilustrasi: Yulien Lovenny Ester Gultom

Foto Cerpen YuniSi dia menggeram. Kali ini disertai gerutuan. Grmmm. Grmmm.  Begitu bunyinya. Si dia kembali menggeram sambil menggerutu dalam diam.

Kini si dia mencapai puncaknya. Habis sudah semua kesabaran. Habis semua rasa diam. Si dia tak lagi bisa berlama-lama. Cukup sudah!  Si dia menggeram sekali lagi. Lalu mendesis. Tunggu saja! Waktumu sebentar lagi!

Si dia masih berada di kubikel 1×1 meter miliknya. Di ruangan kantor di lantai 88. Ada yang penting malam ini. Ini sudah direncanakannya sejak seminggu yang lalu. Tak boleh gagal. Rencana ini harus matang sempurna.

Hingga kini keadaan berjalan aman terkendali. Sesuai rencana. Tak ada yang melenceng. Kantor sudah sepi. Tentu saja, ini sudah pukul 22.00 WIB. Hanya ada Si dia, wanita itu dan satpam di lobi kantor. Sempurna sekali. Satpam tak akan naik ke lantai ini sebelum pukul dua belas malam ini. Patroli.

Ini sempurna. Persis seperti yang direncanakan oleh Si dia. Olala…. Si dia gemetar sanking senangnya. Senang sekali. Si dia kembali mendesis. Senang. Kakinya tak mau diam.

Dia melirik enam kubikel di sebelah kanannya. Wanita itu. Ini persis seperti yang dibayangkan Si dia. Wanita itu belum akan pulang sebelum pekerjaan ini selesai.

Sambil mendesis senang Si dia mengamati perempuan itu. Pikirannya terbang menerawang, kembali ke kejadian tadi siang. Si dia mengatur sedemikian rupa agar audit laporan keuangan milik perusahaan dikerjakan malam ini. Sengaja tak Si dia kerjakan sejak seminggu yang lalu, dan hari ini deadline pekerjaan itu. Si dia atur hingga dirinya dimarahi, dan harus lembur menyelesaikan pekerjaan ini malam ini.  Dan wanita itu diminta menemani.

Sekeluarnya dari ruangan, wanita itu lantas merepet berentet-rentet. Dasar bodoh! Pekerjaan seperti ini saja tidak becus! Apa pula yang kau lakukan seminggu ini?! Aku heran bagaimana bisa perusahaan ini merekrut dirimu. Tak berkualitas. Tak pantas. Bodoh! Kau menambah pekerjaanku saja!!

Wanita itu di enam meter sebelah sana masih menggerutu. Sesekali tertangkap telinga Si dia. Tak profesional. Bodoh. Bingung kenapa perusahaan ini bisa punya karyawan sebodoh ini. Heran kenapa ada manusia sebodoh ini.

Si dia hanya diam. Sudah biasa. Si dia melirik arloji di pergelangan tangannya. Sudah 23.36 WIB. Sudah semakin larut. Harus segera diselesaikan.

Sembari sesekali mengetik, menatap layar komputer, pikiran Si dia melambung ke peristiwa seminggu lalu. Saat wanita itu mempermalukan dirinya saat rapat strategi dengan divisi lain. Dengan tawa culas dan muka palsunya, wanita itu menjadikan Si dia bulan-bulanan di kantor.

Pasalnya, saat Si dia akan presentasi tentang ide program untuk perusahaannya, tayangan yang keluar dari layar proyektor bukan berhalaman-halaman rancangan hebat proyek ini. Bukan berisi perkiraan audience masyarakat. Bukan berisi taksasi dana yang dibutuhkan dan bla bla lainnya dalam sebuah proposal. Yang keluar justru tayangan dua orang, laki-laki dan perempuan, keduanya berkulit hitam sedang bergumul di atas ranjang. Sial! Itu bukan milikku! Si dia merah padam dan marah seketika. Jangan tanya wajah para petinggi perusahaan. Satu dua wajah menganga kaget. Sisanya lebih banyak menahan tawa. Tertawa menghina.

Si dia hancur sudah. Karirnya ada di posisi paling bawah. Respect orang-orang kantor berada di level paling bawah. Bosnya marah besar. Dan wanita itu, menimpalinya dengan sindirian-sindirian. Gitu deh kalau perek, kerja nayangin begituan.

Tak butuh manusia secerdas Sherlock dan kawan-kawan detektifnya untuk tahu apa yang terjadi. Malam harinya—Si dia dihukum lembur oleh si bos—Si dia mendengar pembicaraan wanita itu dengan seorang office boy. Si dia tak dengar banyak. Mereka bicara dengan nada rendah. Hanya beberapa tertangkap telinganya.

Kerja bagus. Anak baru itu hancur. Aku muak lihat dia dielu-elukan oleh bosa. Dia tak boleh rebut posisiku dengan prestasi bagus dan mempesona. Terima kasih sudah membantu. Wanita itu memberikan amplop berisi uang pada tean bicaranya, setelah sebelumnya mengeluarkan uang tersebut dan menghitungnya.

Darah Si dia kembali mendidih. Diliriknya wanita itu sekali lagi. Tiba-tiba, wanita itu menoleh padanya. Apa lihat-lihat?! Ini sudah selesai. Kau bereskan. Aku mau pulang.

Ini saatnya. Si dia tersenyum senang. Wanita itu tampak sibuk, membereskan mejanya. Memasukkan barang-barangnya dalam tas tangannya. Tak diperhatikannya saat Si dia menyelinap dari belakang. Berdiri tepat di hadapan punggungnya dengan sebuah pisau besar.

Tak sampai sedetik kemudian Sia dia menancapkan pisaunya ke punggung wanita itu. Wanita itu jatuh tersungkur seketika. Tak buang waktu lebih lama, Si dia membalikkan badan wanita itu, kini mereka berhadap-hadapan. Mata wanita itu masih terpejam, menahan sakit. Secepatnya Si dia menghujakan pisau ke mulut perempuan itu berkali-kali. Tak buang waktu, kini pisau diarahkan ke batok kepalanya. Kembali dihujam-hujamkan.

Darah sudah berceceran dimana-mana. Meja kerja, lantai, hingga komputer di meja. Darah membanjiri baju wanita itu dan Si dia.

Si dia tersenyum senang. Wanita itu sudah tak mampu bicara. Napasnya hilang sudah. Si dia kembali mengayunkan pisaunya, kini ke pergelangan tangan kanannya. Si dia hantamkan segera. Putus. Giliran tangan kirinya. Putus juga.

Darah semakin membanjir. Darah pekat, tapi bukan berwarna merah. Si dia menyeringai ke arah genangan darah di lantai. Si dia suka harumnya. Anyir memabukkan. Si dia suka warnanya. Warna darah. Bukan merah, tapi warna darah. Lebih gelap, lebih pekat.

Ini hukuman untuk wanita jahat.

Si dia masih tersenyum. Senyum tak lepas-lepas dari wajahnya. Selesai. Tugasnya sudah selesai. Tinggal satu lagi. Perlahan Si dia melangkah keluar menuju lift. Tekan tombol lantai teratas. Butuh angin segar.

Si dia melangkahkan kaki ke pinggir gedung. Si dia butuh angin lebih banyak.

Seketika hidup Si dia bergerak-gerak. Tercium harum yang disukainya. Anyir darah. Si dia lihat ke bawah. Bukan kegelapan yang dilihat. Tapi warna darah. Bukan merah, tpi warna darah. Lebih gelap, lebih pekat.

Aku butuh angin, aku butuh darah.

Dan melompatlah Si dia.

Komentar Facebook Anda

Redaksi

Badan Otonom Pers Mahasiswa (BOPM) Wacana merupakan pers mahasiswa yang berdiri di luar kampus dan dikelola secara mandiri oleh mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU).

Pentingnya Mempersiapkan CV Bagi Mahasiswa | Podcast Wacana #Eps4