Oleh: Yayu Yohana
Jika definisi dari durhaka adalah anak yang membantah orang tua, maka durhaka itu adalah proses dari kedewasaan, itu menurutku. Entahlah, hanya Tuhan yang tahu aku pantas ditempatkan di surga atau di neraka, apa pun itu pastilah tempat terbaik yang pernah ada.
Ketidaksempurnaan adalah salah satu hak Tuhan, terserah kepada siapa ketidaksempurnaan itu diberikan yang akhirnya menciptakan ketidaknormlan pada hidup. Seperti ketidaksempurnaan pada wanita menyebalkan ini, tubuhnya mungil bukan karena dia imut, aku lebih senang memanggilnya kurcaci.
Kurcaci yang kuanggap tak berguna itu ada di sampingku setiap hari, keluh kesahnya yang kerap kudegar sungguh membuatku muak. Andai saja Tuhan sedikit berbaik hati memberiku sedikit kekayaan aku tak mungkin hidup di gubuk ini apalagi bersama si kurcaci itu.
“Dasar kurcaci pembawa sial,” gerutuku dalam hati. Berjalan sendiri saja dia susah, tak ada yang bisa diharapkan dari wanita paruh baya menyebalkan itu.
“Mau kemana nang? Kan di luar sedang hujan.”
“Kerjalah,” jawabku ketus.
“Jangan pergi, kan bahaya jalanan di kampung ini sangat licin,” ia berjalan tergopoh-gopoh sambil memandangiku dari pintu.
“Kalau aku enggak kerja, kita gak bisa makan! Dasar wanita kerdil, pikiran jangan ikut kerdil dong,” jawabku sambil bergegas meninggalkannya.
Aku tak tahu sesakit apa hatinya teriris dengan kata-kataku, aku malah merasa lega telah menghunjamkan sedikit makian seperti tadi. Aku banting tulang untuknya yang hingga sekarang tak kuanggap siapa-siapa.
Tubuhnya yang kerdil, cacat tanpa kedua tangannya membuat hidupku semakin tak normal saja. Aku sendiri tak pernah mengerti bagaimana masa kanak-kanak, remaja, hingga sekarang hidupku tak seperti anak seumuranku pada umumnya. Mereka bisa punya gadget keren, makan-makanan enak, baju-baju bagus, pokoknya jauhlah jika dibandingkan denganku.
Aku membenci Tuhan beserta takdirnya. Aku tak pernah tahu siapa aku, aku hanyalah seorang anak yang tak diinginkan dari si empunya rahim beserta laki-laki yang tak bertanggung jawab. Orang tuaku menitipkan aku di sebuah panti asuhan tua sejak aku masih bayi, begitulah keterangan Ibu panti yang merawatku, bukan menitipkan lebih tepatnya membuangku.
Tak sampai di situ kegamblangan hidupku tanpa kasih sayang orang tua, pada umur 4 tahun aku diadopsi oleh sepasang orang cacat yang ternyata tak bisa mempunyai anak. Tanpa harus terucap pastilah dunia tahu, hidupku tak akan pernah bahagia hingga saat ini.
Aku tak mengerti jika merekalah yang akan menjadi orang tuaku, dengan wajah sangat lugu saat itu aku pun mau diajak mereka pergi. Panti asuhan memberi izin mereka mengadopsiku mungkin karena aku makannya banyak, entahlah.
Mereka membahasakan dirinya dengan sebutan ayah dan ibu, hingga waktupun terus menggilas memaksaku untuk mengerti segala kekurangan mereka. Sepasang kurcaci yang saling melengkapi, yang wanita tak mempunyai kedua tangan, dan yang satunya lagi tak mempunyai sebelah kakinya. Aku benar-benar mendapat cobaan dari Tuhan, mungkin ini akibat dari dosa-dosa kedua orang tua kandungku yang mencampakkan anugrahnya pikirku.
Selama 12 tahun lelaki yang kusebut ayah itu menjadi teman mainku, mungkin karena kami sesama lelaki. Sungguh berat perjuangannya, ia tak pernah menolakku saat waktu kecil aku mengajaknya main bola, bersepeda, tentunya tanpa sebelah kakinya. Semakin lama mereka semakin kerdil saja, atau aku yang tumbuh semakin tinggi. Kurcaci wanita membantu keuangan rumah tangganya dengan menyediakan jasa penyulaman.
Jujur saja sejak awal aku lebih dekat dan lebih sayang dengan lelaki yang kusebut ayah itu, dengan ketidaksempurnaanya dia bisa mengajariku bermain layang-layang, memancing di kali, dia menuruti semua mauku. Sedangkan wanita itu tak pernah memasak untuk kami, mungkin karena ketiadaan kedua tangannya, tapi tetap saja aku membencinya.
Kebencianku bertambah saat ayah meninggal karena kecelakaan. Sangat jelas di ingatan, wanita itu menyuruh ayah untuk pergi kekota membeli sesuatu yang sepertinya penting untukknya hingga ayah berjalan terburu-buru dengan tongkat menopang kakinya.
Kejadian yang baru berlalu selama satu bulan itu cukup membuatku larut dalam kesedihan.
Aku pun tak jarang memakinya dengan kata-kata yang pastinya membuat ia terluka. Hingga akhirnya sepulang kerja aku memutuskan untuk tak kembali kegubuk itu lagi, aku mengontrak rumah kecil dengan sisa-sisa gajiku yang tak seberapa.
Hidupku terasa normal saja, bahkan lebih baik tanpa mendengar keluh kesah wanita yang kusebut kurcaci itu. Aku tak pernah merasa dekat dengannya, mungkin karena ia tak pernah menyentuhku dengan tangannya, atau sekedar membacakan dongeng sebelum aku tidur. Akupun bertekad meninggalkan dia yang sudah turut membesarkanku selama 12 tahun.
Jujur saja, aku sangat menginginkan seorang ibu yang sering diceritakan anak sebayaku waktu kecil dulu. Aku tak pernah mempermasalahkan keterbatasannya, hanya saja sejak ia mengangkatku menjadi anaknya, tak pernah sekalipun ia mau diajak bermain.
Hingga suatu malam aku bermimpi ia bisa memelukku, kuat sekali, sangat erat, sangat hangat, dengan kedua tangannya. Tak ada kata yang terucap sedikitpun, mimpipun berakhir begitu saja. Tapi entah kenapa tiba-tiba aku merindukannya dan rasanya ingin pulang kegubuk itu.
Sepulang kerja aku langsung singgah kerumah yang telah beberapa bulan kutinggalkan. Sesampainya disana kudorong pintu kayu yang sudah lapuk itu tanpa permisi. Aku tak menemukan seorangpun disana, ruangan kosong penuh sarang laba-laba, dan lemari tua yang telah menjadi rumah tikus.
“Bu, aku pulang bu,” aku berjalan mengelilingi rumah yang sepertinya tak berpenghuni lagi, Aku pun menemukan sebuah kotak yang entah apa isinya saat memasuki bilik kecil yang dulunya adalah tempat tidurku.
Secepat kilat aku membuka kotak itu, di dalamnya ada secarik surat dan sebuah baju rajutan yang aku tau siapa yang membuatnya. Dengan perlahan aku membaca surat yang tulisannya sangat tidak rapi tapi masih bisa dibaca, ya ini adalah tulisan wanita itu pikirku.
Dia pasti menggunakan kakinya untuk menulis atau merajut baju ini, hatiku pun berdetak keras seketika menebak-nebak apa yang telah terjadi.
“Anakku sayang, maafkan atas ketidaksempurnaan kedua orang tuamu ini. Sekarang kamu sudah besar, kami sangat senang kau tumbuh dengan normal tak seperti kedua orang tuamu ini.
“Sudah seharusnya kau tau, kau adalah putra kandung kami. Maaf beribu maaf, kami tak pernah berniat membuangmu ke panti asuhan, itu hanya karena kami sangat menyayangimu anakku.
“Banyak hal yang harus kau tahu lagi anakku sayang, ibumu ini sangat ingin memelukmu, ibu ingin sekali bisa membelai rambutmu setiap hari, ibu ingin menyuapimu makan saat kau masih kecil, tapi apa daya anakku?
“Maafkan aku yang sering berkeluh kesah padamu, mugkin itu adalah jawaban mengapa aku tak ingin membesarkanmu sejak bayi, itu adalah alasan kenapa aku tak bisa sedekat kau dengan ayahmu.
“Selamat ulang tahun anakku yang ke-17.”
Seketika badanku dingin bergetar, sendiku ngilu, badanku pun lemas jatuh ke lantai. Surat tadi cukup menghantam perasaanku hancur berkeping-keping. Betapa durhakanya aku melukai hati ibuku sendiri selama ini. Keluh kesah yang bertahun-tahun kuabaikan itu ternyata alasan mereka menitipkanmu ke panti asuhan. Ibu mengidap TBC akut, dia tak ingin menularkannya kepada buah hatinya saat bayi, bahkan sudah besar pun ia selalu menjaga jarak kepadaku saat berbicara.
Secepat kilat aku mencarinya, aku pun pergi ke kebun belakang berharap ia ada di sana. Ingin sekali rasanya mencuci kakinya dan meminum airnya, begitulah penyesalan terdalamku. Napasku tersengal mencari ibuku yang tak kunjung tampak, hingga akhirnya aku melihat sebuah nisan tepat berada di samping nisan ayahku. Tertatih aku mendekatinya dan benar itu adalah nisan ibuku.
Aku menangis sejadi-jadinya merasakan penyesalan yang menusuk-nusuk jantungku sendiri, seperti makan kotoran, aku merasa sangat hina di mata Tuhan sering menyakiti hati ibuku sendiri. Ibu dengan segala ketidaksempurnaannya, tapi tidak dengan kasih sayangnya.