BOPM Wacana

Kisah Si Aku

Dark Mode | Moda Gelap

Oleh: Sri Wahyuni Fatmawati P 

Sial. Sial. Sakit sekali. Rasanya badan ini sudah ingin kupensiunkan saja. Apalagi kepala ini, sudah mau pecah rasanya. Duh Gusti, rasanya kedua kakiku tidak dapat digerakkan lagi. Nyeri di sekitar pahaku memang sudah tidak semenyakitkan tadi malam, tapi tetap saja rasanya menyiksa.

Ini semua salah Si Laki-laki Tua itu. Ingin rasanya aku memakinya sedemikian rupa. Melontarkan kata-kata yang memang pantas untuknya. Meludahinya juga mungkin. Tapi bagaimana mungkin kalau justru karenanyalah aku masih hidup dan bisa makan hingga sekarang.

Dengan tertatih kuseret kakiku menuju kamar mandi. Astaga, sesuatu berdarah di bawah sana. Pantas saja rasa nyeri ini tidak kunjung hilang. Perlahan kubersihkan darah itu, lalu kubalut sedemikian rupa. Ah, aku tak pandai urusan begini, yang penting darahnya berhenti dan rasa nyeri sialan ini menghilang.

Selalu saja seperti ini keadaanku setiap aku selesai melakukannya. Memang tak setiap hari tapi cukup membuatku nyaris gila. Yahh, walaupun sebenarnya pekerjaanku juga salah satu alternatif menghilangkan stres.

Sebelum kembali duduk di tempat tidur kuraih tablet obat di atas kabinet. Kutenggak sekali tiga. Aku tak tahu jenis obat apa ini. Lelaki tua itu yang memberikannya padaku. Katanya untuk menghilangkan nyeri dan membuat staminaku kembali lagi. Memang, setiap kali aku selesai meminumnya rasanya kepalaku akan melayang lalu aku akan jatuh tertidur. Namun akhir-akhir ini aku membutuhkannya lebih dari satu. Aku membutuhkan dosis yang lebih lagi sejak Si Laki-laki Tua memaksaku bekerja lebih keras lagi.

Dasar Si Laki-Laki tua. Sudah tua botak lagi. Kalau saja bukan karenanya aku masih bertahan hidup aku tak sudi tinggal bersamanya. Dia tak pernah memikirkan bagaimana keadaanku, yang ada di kepala botaknya hanya uang, uang dan uang. Begitu juga dengan rekan-rekanku yang lain, malah sepertinya yang lain lebih parah lagi keadaannya. Kasihan mereka.

Mataku terasa berat, sepertinya obat sialan itu sudah beraksi. Sial. Akhir-akhir ini aku terlalu sering mengucapkan kata itu. Sial, bukan akhir-akhir ini saja. Sepertinya sepanjang umurku. Memang hidupku ini sialan, pekerjaanku sialan, apalagi Si Laki-laki Tua itu.

Perlahan aku merebahkan badanku di atas tempat tidur, aku ingin istirahat. Meskipun malam ini bukan jam kerjaku, aku harus memulihkan keadaanku. Siapa tahu si laki-laki tua itu kumat gilanya, dia akan memanggilku untuk melayani pelanggan.

Setitik air hangat jatuh di pipiku. Air mataku. Entah sudah berapa kali aku menangis menyesali pekerjaanku. Menyesali keputusanku untuk mengambil pekerjaanku ini. Seberapa banyak pun aku mengeluh tetap saja tidak ada yang akan berubah, aku sudah terlanjur terjun di dunia ini.

Aku tak pernah lulus Sekolah Rakyat -begitu di sebut di zamanku- meskipun dulu aku sangat ingin melanjutkan sekolahku. Nippon dankumpeni sialan itu yang membuatku seperti itu. Ibuku takut kalau aku keluar rumah para Nippon dan kumpeni itu akan memperkosaku dan memukuliku. Sehingga aku lebih banyak menghabiskan hidupku di rumah. Duh Ibu, apa bedanya dengan aku sekarang.

Pintu kamarku terbuka, tampaklah si Muka Burung. Aku menyebutnya seperti itu karena wajahnya tampak seperti burung, panjang dan dia seperti memiliki paruh dengan rahang maju seperti itu. Kelihatannya dia sedang bersiap-siap untuk malam ini.

“Hei kau, berhentilah menangis. Jangan cengeng. Salahmu memilih pekerjaan ini,” Si Muka Burung menghardikku.

“Kalau kau tak suka dan tak sanggup lagi kau bisa berhenti, cari pekerjaan yang lebih layak lagi,” tambahnya.

“Aku pergi dulu, kau istirahatlah,” sambungnya sambil berjalan menuju pintu, keluar dan menutupnya dari luar.

Aku diam saja, tak berusaha memikirkan apa yang Si Muka Burung katakan atau menanggapi perkataannya. Pikiranku sedang fokus memikirkan keadaanku sekarang ini.

Kulirik tulang igaku, biru dan lebam. Sepertinya ini karena pelanggan yang semalam bersamaku sangat keterlaluan semangatnya. Dia tak memperhatikan keadaanku sedikit pun. Atau ini karena Si Laki-laki Tua yang masih menyodorkan pelanggan padaku padahal hari sudah lewat tengah malam.

Memang beginilah risiko pekerjaanku. Aku tidak memiliki keahlian apa pun selain ini. Aku tak punya ijazah yang bisa menjadi nilai jualku. Wajah juga tidak sebagus artis sinetron murahan yang aku lihat di tivi. Aku hanya punya tubuhku. Ya, hanya ini.

Aku masih ingat alasan kenapa aku akhirnya menerima pekerjaan ini. Ayah-Ibuku sudah mati. Mereka tak cukup kaya untuk mampu meninggalkan warisan yang layak untukku. Rumah tak ada, sudah di gusur pemerintah dengan alasan tanah tempat rumah kami didirikan milik mereka. Entahlah. Harta benda juga tidak ada, sudah habis dijual untuk biaya hidup sehari-hari.

Jadilah aku hidup jadi gelandangan di jalanan. Makan tidak makan. Hidup tidak hidup. Sampai suatu hari aku nyaris tertangkap Satpol PP. Si Laki-laki Tua-lah yang menyelamatkanku. Dia bawa aku ke rumahnya, kasih makan dan dia memintaku bekerja di tempatnya.

Aku yang saat itu tidak punya tujuan hanya mengangguk. Di mulailah pelatihanku sejak saat itu. Hingga sekarang, aku punya banyak pelanggan. Memang uang yang kuhasilkan lebih dari cukup untuk hidupku, namun bagaimana risiko yang kuterima setelahnya yang terkadang membuatku menangis.

Aku tak boleh memprotes pelanggan atas apa yang ingin mereka lakukan padaku. Dan hasilnya lihatlah, tulang igaku biru lebam, lenganku juga. Minggu lalu pipi sebelah kiriku yang biru lebam. Kedua pahaku juga sampai sekarang sakit sekali. Ini karena tadi malam salah satu pelangganku menendangnya. Ahh, sialan sekali dia. Coba saja aku bisa melakukan hal yang sama padanya.

Suara pintu diketuk. Lalu pintu dibuka. Si Laki Laki Tua. Mau apa dia?

“Segera bersiaplah, ada pelanggan yang menunggumu,” ucapnya tanpa anda. Dia memang selalu seperti itu kalau berbicara, tanpa intonasi.

“Tapi malam ini bukan giliranku,” sahutku.

“Tapi dia hanya mau denganmu,” balasnya.

“Tapi aku lelah, aku mau istirahat,” ucapku lagi.

“Tapi dia pelanggan, dia tak mau tahu apakah kau lelah atau tidak,” balasnya lagi.

“Suruh saja yang lain, ada banyak di luar sana,” aku bersikukuh.

“Dia mau kau. Bukan yang lain. Cepat bergegaslah, jangan buat aku juga jadi tidak sabar menunggumu,” dia lebih bersikukuh.

“Tapi…” aku masih berusaha membantah.

“Cepat,” balasnya sambil menutup pintu. Brakk.

Lihat? Dia sialan. Si Laki-laki Tua sialan.

Tertatih aku menyeret kakiku menuju lemari. Bersiap-siap seperti kata Si Laki-laki Tua. Sebelum membuka kamar aku menarik napas perlahan. Setelah itu aku pergi, ke tempat pelanggan yang menungguku.

Kepadamu buku harian terkasihku.

Sabtu, 20 Agustus 1989

18.33 WIB

***

Seorang laki-laki tampak berdiri di antara kerumunan orang-orang yang membludak. Dia menggenakan jas yang lengannya sudah dilipat hingga siku, dasinya sudah ia cabut dan simpan di tas selempang yang ada di bahu kanannya, kacamata berbingkai putih bertengger di matanya. Kemeja putihnya sudah keluar dari celananya, dua kancing teratas kemejanya sudah terbuka, rambutnya acak-acakan. Lelaki muda di sebelahnya tidak jauh berbeda penampilannya. Juga tampak lelaki yang sedang duduk di pojokan, tetapi umurnya tampak sudah paruh baya.

“Hei kau, sudah lama sampai sini?” suara perempuan terdengar dari sebelah kanan Si Laki-laki Berkacamata Putih. Perempuan itu mengenakan kemeja kotak-kotak merah. Lengannya dilipat sampai siku.

“Hei. Tidak juga, baru sampai. Baru juga lihat Si Muka Burung itu,” sahutnya.

“Muka burung? Ah ya, wanita itu. Aku mau ama yang satu lagi, siapa namanya?” sahut Si Kemeja Kotak-kotak Merah

“Siapa? Entahlah, aku tak tahu,” sahut laki-laki itu.

Tiba-tiba terdengar suara riuh rendah dari arah depan. Di tengah-tengah tampak seorang laki-laki jatuh tersungkur di hadapan Si Muka Burung.

“Ah, kalah dia ternyata, kurang persiapan,” Si Kemeja Kotak-kotak menyeletuk.

Si Laki-laki Berkacamata Putih hanya mengangguk.

Di pojok ruangan yang posisinya agak menjorok ke dalam terlihat seorang wanita. Menggunakan celana pendek warna merah dan hoodieabu-abu. Tangannya sudah siap mengenakan sarung tinju. Menunggu giliran. Setelah Si Muka Burung giliran dia. Meladeni pelanggan-pelanggannya. Penghuni ibu kota ini yang butuh pelampiasan atas penatnya kehidupan mereka tiap harinya.

Dia, wanita itu, Si Muka Burung dan rekan mereka lainnya yang menjadi pelampiasan mereka. Bertarung, istilah mereka. Mereka rela membayar 1 juta rupiah untuk sekali bertarung. Sekadar iseng, menjajal kemampuan ataupun melepas penat.

Perlahan dia mendesis, mendecak juga. “Ck. Gara gara Si Laki-laki Tua ini, aku nggak jadi istirahat,” katanya perlahan sambil melangkah maju menuju ring.

Komentar Facebook Anda

Redaksi

Badan Otonom Pers Mahasiswa (BOPM) Wacana merupakan pers mahasiswa yang berdiri di luar kampus dan dikelola secara mandiri oleh mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU).

Pentingnya Mempersiapkan CV Bagi Mahasiswa | Podcast Wacana #Eps4