Oleh: Tantry Ika Adriati
Dalam benak Mamak pindah adalah sebuah bencana. Seperti gempa bumi yang mengguncang dan memporak-porandakan hati Mamak. Membuat hati bergetar. Jantung Mamak dibuatnya berdetak cepat tiada henti.
Pindah bagaikan tsunami dahsyat yang datang menghancurkan kebahagiaan mamak. Datangnya selalu tiba-tiba, sehabis gempa, tanpa tanda-tanda langsung menyembur rumah-rumah hingga hanyut.
“Mak, ayo kita pindah dari sini. Pindah ke Medan,” kataku suatu waktu pada Mamak. Ia baru saja pulang dari ladang di belakang rumah, tak jauh dari gunung.
“Pindah? La nggit nande.”
“Kenapa tak mau, Mak? Ayolah, Mak. Biar ada kawanku di Medan.”
“La nggit nde. Siapa yang mau ngawani Bapak di sini, Nakku.”
“Mamak dan Bapak kan bisa langsung pindah. Di Medan rumahku lebih bagus daripada di sini. Mamak tak perlu ke ladang lagi.”
“Tak mau Mamak. Kau saja yang pulang tiap natal.”
“Kami masih perlu cari uang untuk adikmu sekolah, Nakku. Lagian tak ada yang bisa Mamak kerjakan selain mocok ke ladang,”
Mamak selalu menolak usulanku untuk pindah dari rumah. Usulan yang sudah kurencanakan sejak jauh-jauh hari kelak ketika aku sudah berhasil membangun rumah yang lebih bagus untuk Mamak dan Bapak. Rumah yang isinya ada aku, adik-adikku, Mamak, dan juga Bapak. Setiap kali aku meminta Mamak untuk pindah dari rumah, aku selalu kalah jika berdebat tentang hal itu dengan Mamak.
“Di sini sudah tak ada siapa-siapa lagi, Mak.”
Ia tetap menggeleng. Seakan ideku adalah hal gila yang pernah dihadapinya. Aku coba lagi membujuk Mamak pindah beberapa bulan setelah kematian Bapak. Nurtala dan Charlos, adikku, kini sudah mapan dengan pekerjaannya masing-masing. Kami berencana untuk pindah ke Medan dengan Mamak.
“Kalau Mamak mau berladang biar kubuatkan nanti ladang yang besar buat Mamak.”
“Mamak sudah betah di sini. Mana bisa tumbuh kopi dan tomat di Medan itu, Nakku. Orang sana saja pigi ke sini mencarinya.” Ia menepuk-nepuk pundakku. Mulutnya sedang mengunyah sirih, bibir mamak jadi bewarna jingga.
***
Pukul 10.00 malam. Warga Berastepu baru saja terlelap di atas dipan. Suara-suara binatang malam riuh-rendah menanyikan lagu selamat tidur. Tiba-tiba seribu lebih warga Kabanjahe dikejutkan oleh suara gemuruh bertubi-tubi. Batu-batu besar beserta kerikil menimpa atap rumah; seperti hujan batu. Suaranya nyaris membuat bulu kuduk merinding, makin lama makin besar. Bersahutan dengan suara teriakan penduduk.
“Mak, Mak. Sinabung meletus. Keluar, Mak, keluar. Orang-orang pada lari.”
Mamak baru saja setengah tertidur. Kantuk Mamak jadi hilang karena suara teriakanku terdengar nyaring dan lebih besar dibandingkan suara bebatuan yang mengenai atap rumah. Mamak segera mengenakan sarung dan menyusulku ke ruang tamu.
“Ada apa, Nakku? Ngapain kam teriak-teriak bikin jantung Mamak mau copot?”
“Ayo Mak kita pergi. Ikataken deleng Sinabung meletus, ada api besar di atas sana. Nanti saja Mamak tidurnya.”
“Sinabung? Tempat kita nanem benih ngerdangi? Mana pernah deleng itu meletus,” ucap Mamak. Suaranya terdengar melengking bersahutan dengan suara kendaraan di luar. Orang-orang juga berteriak.
“Ah, Mamak tak percaya. Lihat, Mak. Bunyi batu-batu itu dari deleng Sinabung.”
“Iyakah? Mamak kira itu suara bujang-bujang lapuk lagi berantam,” ujarnya.
Aku memperlihatkan kerikil-kerikil yang bertamu masuk lewat pintu rumah. Kerikil itu kecil-kecil, beberapa bagiannya tampak pecah, terpisah dari bagian lainnya. Seperti habis keluar dari mesin pemotong batu.
Mamak masih setengah sadar. Atap rumah yang tak berloteng lantas langsung bolong dimasuki batu-batu besar. Angin panas mulai menggoyangkan rumah kami. Aku segera meraih tubuh Mamak dan membawanya berbaur ke jalanan.
Di luar rumah, atmosfer desa berubah menjadi putih, tertutup asap yang datang dari puncak gunung. Debu di mana-mana bikin dada sesak. Tanah yang keras terasa lembek dan panas, habis disiram muntahan lahar panas yang membawa serta kerikil. Sandal yang kami kenakan dari rumah tadi telah putus dan terbawa ratusan kaki yang saling menginjak-injak. Mendadak kampung jadi ramai. Jalanan sempit di desa kami penuh diisi orang-orang yang berlarian menghindar dari letusan gunung.
Gunung Sinabung meletus.
***
“Mak, ayo kita pindah,” ujarku pada mamak.
Mamak sedang duduk mengenakan sarung merah bermotif ulos Karo. Tanpa sandal. Bekas lumpur yang melekat di kaki mamak belum hilang, warnanya jadi abu-abu lunak, ada bercak hitam juga. Rambut Mamak yang beruban dan kusut ditutupinya dengan kain panjang yang kuberikan tadi pagi. Ia mengikatnya menutupi kepala.
Baju yang dikenakan Mamak juga belum berganti. Kaos abu-abu polos yang sudah membesar dari ukuran aslinya, biasa dipakai mamak ke ladang. Kini warnanya jadi beragam, tak polos lagi. Ada bercak hitam kecil, abu-abu, dan merah. Hitam karena terkena lumpur dan tanah saat terjatuh di jalan, abu-abu karena terkena debu letusan Sinabung, merah tua karena bekas luka-luka ringan mamak di tangannya yang mengering.
“Mau ke mana kita, Nakku?” Matanya sembab, habis menangis. Semua wanita tua dan muda dari desaku menangis terisak-isak lantaran trauma karena letusan Sinabung.
“Pindah ke UKA 1, Mak. Di sana banyak warga Berastepu. Aku mau cari paman di sana.”
Kami meninggalkan jambur Lige. Sebuah pendopo besar yang biasa digunakan warga Karo untuk berkumpul melakukan sebuah acara atau perayaan. Biasanya untuk perhelatan adat atau kegiatan anak-anak muda Kabanjahe. Kini jambur itu dipenuhi ratusan penduduk. Penuh, dan sesak. Ada yang tertidur karena kedinginan, ada juga yang hanya sekadar duduk. Belum selesai juga bencana tadi malam. Padahal kini sudah pukul enam pagi.
“Sudah berhentinya gunungnya meletus, Nakku?” tanya Mamak suatu waktu saat sedang menyuap nasi.
“Belum, Mak.”
Kami sedang makan di gedung UKA 1. Ruangan sebesar kelas ini dulunya bekas universitas tempat mahasiswa Karo menimba ilmu. Kini sudah diubah menjadi kamar tanpa dinding. Tak ada sekat yang memisahkan antarkamar. Hanya dibagi-bagi berdasarkan besar kasur pemberian pemerintah setempat.
“Yang penting sudah kubawa baju untuk Mamak selama di sini,” lanjutku, setengah berbisik.
“Bagaimana rumah kita, Nakku?” Bibir mamak tampak kelu mengucapkan pertanyaan itu.
Sudah sebulan kami meninggalkan desa Berastepu. Rumah kami. Kepala desa bilang kami belum dibolehkan pulang karena Sinabung masih sering meletus. Tak aman kalau balik ke rumah. Apalagi jaraknya hanya 5 km dari Sinabung.
Gunung itu akhir-akhir ini sering sakit bekepanjangan, batuknya sudah seperti minum obat; tiga kali sehari. Kadang berkali-kali, kadang pula diam tak bersuara. Kami jadi takut, takut kalau tiba-tiba ia batuk lagi. Ia seperti kawan yang sedang marah.
“Sudah hancur, Mak. Tak ada lagi yang tersisa di rumah kita.”
Mamak hanya diam. Tatapannya kosong.
“Besok kita pindah ke Medan ya, Mak.”
Mamak melanjutkan makannya. Pipinya menurun, alisnya mengernyit. Matanya kosong. Lalu ia tersenyum padaku. Senyum yang bikin hatiku pilu. Sesaat setelahnya kudengar suara isakan kecil mamak. Kelu.
Sudah kubilang, pindah bagi Mamak adalah sebuah bencana.