Oleh: Amanda Hidayat
“Perang tak berkesudahan abad ke-18 lalu masih jelas terngiang dibenak, Nong,” kataku memulai perbincangan dengan Pemuda Inong. Ia datang dari jauh hanya untuk menanyaiku tentang pertempuran dengan Belanda.
Pertempuran yang terjadi di kampung Kedongdong, Kecamatan Susukan, Cirebon selama dua puluh tahun (1753-1773) itu rupanya mau ia buatkan buku. Aku ceritakan padanya awal mula sampai akhir perang itu. Kalau disingkat ceritaku pada Pemuda Inong begini jadinya:
Tengah kembang-kembangnya aku masa itu, delapan tahun. Sedang sukanya jalan-jalan dengan kawan sebaya. Tak ingat lagi itu hari apa, tapi ke mana pergi tetua kami bicara tentang pajak naik tinggi.
“Kelewat tinggi, sudah tak iya lagi. Kita punya sawah, kita juga yang tanam, kompeni puki itu seenaknya minta jatah. Dulu yang sedikit itu saja sudah beratkan kita. Mentang kita diam, seenak perut puki-puki itu menaikkan. Pokoknya kita tak boleh tinggal patuh, kita mesti berontak,” tak tahu aku siapa yang bicara itu, banyak sungguh orang berkumpul di lapangan luas ini. Seratusan orang lebih kiranya.
“Mari beramai kita temui Pangeran Suryanegara, beliau pasti bantu kita untuk sampaikan tak setujunya kita atas upeti buatan kompeni puki itu,” sambut lain lagi.
“Ayo, mari,” kata orang ramai.
Semua orang ramai berbondong-bondong menuju rumah Pangeran Suryanegara. Satu pun dari ramai itu tak ada berbaju, sendal atau sepatu, hanya celana buntung atau kombor lusuh yang melekat pada tubuh yang kulitnya legam terbakar matahari itu. Maklum, di desa Kedongdong ini semua penduduk asli rata petani tok kalau sudah tak santri lagi. Kalau seusiaku ini belum lagi santri, masih suka-suka sendiri, kadang saja bantu ayah, umak, dan abang semata wayang ke sawah, yang bukan petani hanya keluarga istana.
Aku ikuti mereka dari dekat. Berjalan menuju istana, di perjalan orang-orang bertambah banyak jumlahnya. Makin berjibun saja. Dalam berjibun itu seorang pun tak ada wanita. Di kampungku dan di seluruh Cirebon tak akan kau jumpai pria bercampur aduk dengan wanita. Kalau bercampur belum lagi berkawin, alamat jadi gunjing tujuh turunan hadiahnya.
Pria remaja dan dewasa bercampur dalam berjibun itu, pria remaja mendominasi. Berjibun itu bak lebah ngamuk, tapi tanpa suara. Jalan mereka cepat-cepat bak dikejar harimau sekelompok pula.
Semakin dekat jarak istana, semakin banyak pula orang serta dalam berjibun. Aku ikut juga sambil makan jambu biji, sudah habis satu aku makan, tadi aku ambil dua biji dari pokoknya di depan rumah Opung Bernard Waluyo Silaban. Opung Waluyo satu-satunya pendatang pribumi di kampung kami, dari Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara. Kata orang-orang juga pernah dikatakannya padaku, sudah seperempat abad lamanya Opung Waluyo di perantauan belum pernah lagi pulang barang sebentar ke tempat asalnya yang jauh disana.
Opung Waluyo juga sepertinya yang memimpin berjibun ini, dia berdiri di paling depan aku tengok. Dasar Orang Batak. Kata orang-orang lagi juga pernah dikatakan Opung Waluyo, orang batak wataknya keras, mungkin mendengar upeti naik, dia langsung kumpulkan para warga yang sebagian besar santri itu untuk berontak.
Pada waktu itu, aku belum lagi palah mengerti kenapa mereka berontak dinaikkan upeti, kenapa orang itu menuju istana sekadar mengadu pada Pangeran Suryanegara, apa lagi tentang Orang Batak. Hanya ikut-ikut saja, karena pernah sekali aku dengar orang kesal pada Opung Waluyo, dia bilang: dasar orang Batak. Makanya aku tiru sama. Baru puki itu saja yang aku tahu maknanya: ungkapan kasar.
Istana sudah tampak, meski baru atapnya kelihatan. Pohon menghalangi pandangan mata untuk melihat istana langsung.
“Apa tuan-tuan hendak lakukan berjibun begini?” Lima orang kompeni berkuda menghadang jalan rombongan. Hidung salah seekor kuda yang ditumpangi kompeni bertemu langsung dengan muka Opung Waluyo. Aku tergelak-gelak melihat. Semua orang melihat padaku.
“Hei, hei, hei jonge kinderen. Apa tengah kau gelakkan, hah?” kata kompeni yang lain lagi padaku. Aku tak mengerti apa yang dibilang kompeni itu dulu. Aku terus saja tergelak, kupikir dia memberikan aku nama Jonge Kinderen, baru-baru saja aku tahu kalau jonge kinderen itu Bahasa Belanda, artinya anak kecil, bukan nama yang diberikan untukku.
“Bungah, apa tengah kau lakukan disini? Tak satu pun ada sebaya kau disini,” tegur Opung Waluyo. Aku pura-pura berjalan pergi dari situ, lalu kembali lagi ke tempat semula. Opung Waluyo sedang bercakap-cakap dengan salah seorang dari kompeni tadi.
“Niat kami mau bersuakan Pangeran Suryanegara, Putra Mahkota Sultan Kanoman IV. Ada yang kami, rakyatnya ini mau bicarakan sedikit dengan beliau. Tuan tahukan dia pemimpin kami.” Opung Waluyo menjelaskan panjang lagi ke kompeni itu.
“Boleh saja, jika tuan dan rombongan tuan bertemu pangeran. Tapi sepintas pandang ada masalah besar yang tuan dan rombongan tuan hendak sampaikan ke pangeran, dan itu tuan sembunyikan pada kami. Bisalah kiranya kami tahu juga duduk masalah yang ingin tuan sampaikan pada pangeran tuan itu.”
“Boleh saja tuan, permasalahan sawah kami yang tak seberapa itu.”
“Apa pula masalahnya?”
“Hasil panen yang tak seberapa dulu itu tuan, sekarang berkurang. Hama kami kira.” Opung Waluyo terdengar seperti mengelabui kompeni itu.
“Sebesar itukah duduk masalahnya, hingga sampai ratusan orang begini turut serta ke istana.”
“Semua ingin dengar langsung kata per kata yang keluar dari mulut pangeran itu nantinya, biar tak dengar-dengar dari kawan-kawannya yang lain saja. Nanti salah sampaikan pula, bukannya hasil panen bertambah, benih ditanam tak tumbuh-tumbuh nanti. Hehe.”
Kompeni itu mengizinkan Opung Waluyo dan berjibun orang yang besertanya menemui Pangeran Suryanegara.
***
“Apa hal tuan hingga begini banyak rakyatku beserta tuan yang juga rakyatku menghadapku sebegini ramai?” Pangeran Suryanegara bertanya heran pada Opung Waluyo. Setelah rombongan sampai ke halaman istana dan disambut Pangeran Suryanegara langsung.
“Mari kita ke pendopo, biar tertampung dapat duduk rakyatku yang banyak ini.”
Tanpa disadari, aku juga serta di tengah berjibun itu.
“Apa pula kiranya masalahnya. Aku terawang sepertinya bukan masalah biasa yang ingin rakyatku sampaikan padaku, pastilah masalah besar yang memberatkan semua.”
“Maaf beribu maaf sebelumnya Pangeran,” kata Opung Waluyo hormat pada Pangeran Suryanegara.
“Tak apa, hmm, sekarang bicaralah apa masalahnya.”
Semua diam, bahkan Pangeran Suryanegara ikut terdiam. Rupa-rupanya Gouverneur —Bahasa Belanda untuk Gubernur— Cirebon sudah ada hadir pula di pendopo dengan seorang kapten batalion beserta se-kompi prajurit kompeni tak tinggal bedilnya sudah mengepung pendopo.
Diam, diam, diam, semua masih saja diam. Pendopo tak ubah kuburan. Sunyi, hanya suara nafas saja yang terdengar. Gouverneur pun sama, diam. Entah apa yang terjadi, tak tahu aku sama sekali. Tujuan gouverneur aku pun juga tak tahu.
Sepertinya ini hari bukan waktunya membicarakan pajak. Sekalinya Opung Waluyo membuka mulut memecah bisu, ia malah bicara masalah jumlah panen petani yang menurun. Padahal ia tak tahu menahu kalau hasil panen menurun atau bagaimana. Pangeran Suryanegara nampaknya mengerti isyarat Opung Waluyo.
Nampaknya tak akan ada kelanjutan untuk menyatakan sikap tidak setuju Opung Waluyo dan rombongan terhadap upeti yang kata orang dewasa menyesakkan dada itu.
Entah kalau esok, atau esoknya lagi. Mungkin esok-esok.