Oleh: Audira Ainindya
Di sebuah lorong kecil di Gedung Magister Psikologi, Universitas Eötvös Loránd, aku menyaksikan pemuda itu dikerumuni beberapa orang. Berkali-kali orang yang lewat menyalami lalu melemparkan senyuman ke arahnya. Aku menjadi saksi pemuda itu benar-benar dihormati di kampusnya.
“Hal yang paling menyeramkan bagi wartawan adalah ketika narasumber utama tak kunjung bisa dijumpai,” ujar Geza, redakturku. Sembari iateguk secangkir teh di rapat redaksi yang sejam lalu.
Geza khawatir aku tak akan pernah bisa menjumpai Istvan Szakasits yang tenar itu sebelum deadline majalah akhir tahun. Bercerita ia tentang betapa buruknya sebuah berita tanpa ada narasumber utama. “Tak akan kunaikkan!” tegas Geza padaku.
Butuh setengah tahun menunggu pemuda itu untuk diwawancarai. Istvan, tokoh yang mengguncang pertelevisian nasional bahkan dunia. Ia baru saja menggulingkan pemerintahan Walikota Ferenc Oztarsasag.
Kasus korupsi proyek alat laboratorium bioteknologi di Budapest yang ia ungkap sebelum hilang entah kemana.
Selain cerita sukses memulai pergerakan antipemerintah yang kala itu sepi, ia juga seorang sastrawan. Tak banyak yang mengetahui keahliannya yang satu itu. Aku beruntung bisa mengetahuinya.
Ia menyuruhku menunggu di depan lorong. Ada sebuah bangku di sana. Aku duduk sementara ia masih ingin menyelesaikan pembicaraan dengan orang-orang yang belakangan kuketahui adalah juniornya di klub politik.
Tujuh menit kemudian ia menghampiriku. Mengajak bersalaman dan memastikan bahwa aku benar-benar orang yang ia tuju. Sebelumnya, aku sudah membuat janji wawancara lewat e-mail.
“Kau orangnya, kan? Bela yang wartawan itu?” tanya Istvan.
“Bela Losonczi dari The Budapest Times,” ujarku memperkenalkan diri, berdiri lalu kembali duduk di bangku.
Ia malah mengajakku bangkit dari bangku kayu berwarna cokelat tua itu. Mengisyaratkan untuk berjalan mencari kafe di sekitar kampus. Ia juga seorang pecandu kafein.
Saat berjalan, sesekali wajah pemuda berusia 27 tahun itu mencuri pandanganku. Ia membuatku membandingkan penampilannya sekarang dengan di tahun 2011 silam.
Waktu itu, kami mengikuti acara malam Tribute to Shakespeare.Mungkin Istvan tak kenal denganku, tapi aku telah menandainya. Orang paling menggebu saat membacakan puisi The Rape of Lucrece. Tertawa, berteriak, menangis hingga merintih. Menjiwai puisi itu hingga semua orang berdecak kagum padanya. Itulah yang membuatku tahu bahwa ia mahir di bidang sastra.
Namun pada akhirnya membuatku heran dan kecewa saat mengetahui sang penyair muda berbakat itu terjun ke dunia politik. Di sana, karirnya juga melejit pesat. Menjadi ketua klub politik di kampusnya lalu terpilih sebagai asisten pribadi Walikota Oztarsasag.
Istvan bukan tipikal mahasiswa jenius yang terlihat bersih, rapi, berkacamata dan buku tebal di tangan kanannya. Ia lebih mirip sastrawan Irlandia, Oscar Wilde dengan rambut ikal panjang dan mata yang selalu terlihat lelah. Tapi ia benar-benar jenius. Buktinya, ia berhasil mengungkap sebuah kasus korupsi nasional.
Kami Tiba di toko kopi, Café Alibi. Ia memesan segelas kopi hitam panas, aku segelas frappucino dingin. Frappucino dingin itu hanya bagian untuk menghormatinya. Aku tak suka kopi.
Pesanan kami datang kurang dari setengah jam. Istvan menyeruput kopi hitamnya usai mengaduk dengan sendok kecil berwarna perak lalu meniup kecil.
Kami tiba di toko kopi, Café Alibi. Ia memesan segelas kopi hitam panas, aku segelas frappucino dingin. Frappucino dingin itu hanya bagian untuk menghormatinya. Aku tak suka kopi.
Pesanan kami datang kurang dari setengah jam. Istvan menyeruput kopi hitamnya usai mengaduk dengan sendok kecil berwarna perak lalu meniup kecil.
Aku ingin menciptakan suasana senyaman mungkin untuknya. Berusaha untuk tak terlihat memaksa agar ia menuangkan semua kisahnya. Aku mengawali pembicaraan dengan bertanya kemana ia selama enam bulan terakhir. Memainkan peran seolah-olah aku adalah sahabat lamanya yang rindu ingin bertemu.
Dengan santai, ia menjawab menemui ibunya di Peru. Ia sedikit menceritakan tentang ibunya di awal. Seorang penulis puisi Marxist di Peru. Aku jadi paham betul dari mana ia dapatkan tatapan sensual ala pria latin dan bakat menjiwai puisi.
Ia lalu menceritakan perjalanan pertamanya ke Peru.
“Aku dan ibuku belum pernah bertemu sebelumnya.”
Pernyataan tersebut menjadi mukadimah yang baik dalam percakapan kami.
“Ia melihatku muncul di televisi, dikejar media lalu beberapa petinggi mencoba menerorku. Ayahku bercerai dengan ibuku sejak kecil dan ayah tak pernah cerita soal ibu,” sesekali ia menatap ke jendela.
“Wanita ini meneleponku dan berkata pergilah ke Peru dan seseorang akan mencoba membantumu,” ujarnya. Aku mengangguk tanda memahami bahwa ‘wanita’ yang ia maksud selama percakapan adalah ibunya.
“Di Peru, aku menemukan tempat indah bernama Machu Picchu. Sangat tenteram. Machu Picchu adalah tempat yang direkomendasi ibuku. Hanya ada batu, padang rumput luas dan awan yang terasa dekat. Seperti ada koneksi satu sama lain.” Ia panjang lebar mendeskripsikan Machu Picchu selama percakapan.
Ia juga bilang Machu Picchu yang membuatnya mulai bergairah kembali menulis puisi. Percakapan semakin hangat ketika aku merespon tentang penulis puisi dan jenis puisi yang ia yakini paling baik.
Aku berhasil membuatnya nyaman dan leluasa menceritakan semua kisahnya. Tentang ibunya, puisi dan Machu Picchu. Aku mulai kagum dari gaya bicaranya, penampilannya dan kehidupannya. Aku penasaran.
“Bulan depan aku akan ke Machu Picchu. Kau harus ikut!” ia antusias memberikan sinyal lain padaku.
“Wow, tapi aku tak terlalu yakin dengan jadwalku.”
“Baiklah, tapi yang terpenting, aku yakin kau seorang penyair yang handal.”
“Aku bukan… tapi terima kasih telah meyakininya,” ujarku yang mulai tersipu malu dengan sanjungannya. Aku akhirnya sadar percakapan empat jam itu menuai koneksi berbeda antara aku dan Istvan.
Ini bukan sekadar koneksi wartawan dengan narasumbernya yang klop sejak awal. Ini lebih dari itu tapi aku tak punya kata-kata tepat untuk menjelaskannya.
Sejenak aku menghela napas cukup panjang.
Aku lupa akan tujuan awal untuk mengungkap rahasia cerita kasus korupsi laboratorium. Dan saat itu pula aku lebih tertarik dengan puisi-puisinya dan keindahan Machu Picchu. Aku gelisah, mulai berpikir cara untuk kembali ke kantor dengan membawa berita korupsi.
Tiba-tiba Ia membangunkanku dari lamunan sejenak tersebut.
“Jadi, jika kau mau tahu soal kasus laboratorium itu, datanglah ke rumahku kapan saja.” Ia memberikan tisu yang sudah bertuliskan alamatnya. Ia sadar betul apa yang para wartawan inginkan darinya.
Atau, ia bisa membaca lamunanku dan tahu kalau percakapan kami tadi sudah di luar jalur.
“Syaratnya kau harus bawa puisimu dan membacanya di depanku,”pinta Istvan yang kemudian menatap mataku.
Aku juga membalas menatap matanya. Dan kini bisa melihat bayangan tubuhku di bola mata berwarna abu-abu tersebut.
Kami berdua terdiam lalu mengangguk lalu menghela napas lalu tertawa, kompak. Kami sama-sama sadar ada rasa istimewa yang muncul dalam tatapan kami.
Tampaknya, Geza, redakturku salah tentang hal yang paling menyeramkan bagi wartawan. Bukan ketika narasumber utama tak kunjung bisa dijumpai namun ketika wartawan memiliki perasaan terhadap narasumbernya. Koneksi yang bisa menciptakan kisah memihak.