Oleh: Andika Syahputra
Pertarungan di antara kami terjadi lagi. Tapi kali ini aku yang kalah. Well, ini sudah menjadi hal biasa untukku.
“Aku enggak nyangka dia bisa menang,” kata Aldi temanku. Suaranya yang setengah oktaf lebih tinggi mengejutkan aku yang sedang melamun.
“Ah, biasa aja. Kami cuma selisih sepuluh poin. Dia cuma berhasil menjawab satu pertanyaan lebih banyak dariku,” aku menyanggah.
Aku baru saja kalah pada lomba cerdas cermat antar-SMA se-kabupaten. Aku hanya bisa merebut posisi kedua kali ini. Orang yang berhasil menempati posisi pertama itu sebenarnya juga berasal dari sekolahku. Tapi karena ini bukan pertandingan kelompok, maka kami pun harus bersaing. Namanya Bumi, rival terbesarku.
Kami memang sudah bersaing sejak SD. Kami tak pernah mau kalah satu sama lain dalam bidang apapun. Baik itu di pelajaran sekolah, di lingkungan rumah, maupun yang lain.
Sejak kelas satu sekolah dasar, kami merebutkan juara pertama di kelas. Dan itu berlangsung begitu saja. Ketika aku jadi juara pertama, dia pasti juara kedua. Dan ketika dia juara pertama, aku pasti juara kedua. Hal itu berlangsung sampai sekarang, sampai kami SMA.
Namaku Langit, rival terbesar Bumi.
Sejak kecil, kami pun bersaing di lingkungan rumah. Ketika bermain bersama teman kami yang lain, kami tetap berusaha mengalahkan satu sama lain. Baik itu di permainan petak umpet, permainan kartu, bahkan sampai permainan modern seperti playstation. Kami selalu melakukan yang terbaik untuk menjadi yang terbaik.
Walaupun kami sama-sama memiliki ambisi yang kuat, tapi kami memiliki sifat yang sama sekali berbeda.
Bumi memiliki watak yang keras. Walaupun dia memiliki pendirian yang teguh tapi sifatnya sedikit kolot. Berbeda denganku. Aku bersifat dinamis dan fleksibel terhadap situasi dan kondisi di sekitarku. Aku tipe orang yang selalu mengikuti perkembangan zaman, dan itu membuatku terlihat tidak teguh dengan pendirian.
Ada satu hal yang membuat Bumi begitu berbeda denganku. Dia adalah seorang anak yang bandel. Di sekolah dia selalu menjadi sorotan karena kelakuan buruknya. Merokok saat di sekolah, memakai pakaian yang tak pernah rapi, dan sering bolos adalah hal yang membuatnya dikenal seantero sekolah. Tapi karena kepintarannya, hal itu dimaklumi oleh pihak sekolah.
Dan sekarang pertarungan tanpa akhir di antara kami terjadi lagi. Dan dia keluar sebagai pemenang.
“Kau harus mengalahkannya lain kali, Langit,” Aldi masih belum berhenti mengoceh. Teman yang baru kutemui di SMA ini malah terlihat lebih antusias daripada aku sendiri.
“Woles aja, Di. Tentu saja aku akan mengalahkan Bumi.”
***
Aku membuka pintu ruangan kelas kami. Seperti hari biasanya, aku selalu menjadi orang pertama yang datang ke kelas. Tiba-tiba, dari luar Aldi berlari menghampiriku.
“Langit, kau sudah dengar? Katanya Bumi ditahan anak kampung sebelah. Dengar-dengar semalam dia dipukuli lalu dibawa sekelompok orang karena tak sanggup membayar hutangnya,” ujar Aldi dengan napas yang terengah-engah.
Mendengar itu aku langsung lari keluar kelas.
***
Menggunakan sepeda motor matic aku menuju ke tempat Bumi berada. Berkat info dari temannya aku mengetahui tempat Bumi ditahan. Butuh waktu setengah jam untuk ke sana.
Kelakuan Bumi sekarang ini sudah kelewatan. Aku tidak mau akibat ulahnya ini, nama sekolah kami akan tercoreng. Teman satu geng Bumi adalah kelompok yang sangat setia kawan. Mereka sudah berencana untuk mendatangi tempat Bumi ditahan dan menyerang kawanan anak kampung sebelah yang menahan Bumi. Aku tidak mau itu terjadi.
Aku tiba di rumah kecil tempat Bumi ditahan. Lima orang pria bermain kartu di bawah pohon yang ada di halaman rumah itu. Tiba-tiba mereka melihat ke arahku. Satu di antara mereka menunjuk lengan kirinya, seperti memberitahukan asal sekolahku kepada teman-temannya. Tak lama kemudian tempat itu menjadi ramai. Belasan orang mengelilingiku. Satu di antaranya menghampiriku.
“Ada perlu apa kau, anak cupu?” tanya orang itu sambil sedikit tertawa. Bau alkohol tercium dari mulutnya.
Mereka meremehkanku karena penampilanku yang memasukkan baju ke balik celana. Satu yang mereka tidak tahu. Walaupun aku terlihat cupu, aku adalah juara pertama bela diri pencak silat se-kabupaten.
Setelah membereskan halangan di depan rumah tadi, aku mencari Bumi di dalam rumah. Aku menemukannya di salah satu kamar. Dengan tangan dan kaki yang terikat ke kursi, Bumi terlihat lemah dengan darah menyelimuti badannya. Tanpa banyak pikir aku membawanya ke rumah sakit.
***
Aku dan Aldi menemani Bumi di rumah sakit. Teman-temannya baru saja selesai menjenguknya. Tak ada kata yang keluar di antara kami. Hanya Aldi yang dari tadi terlihat kesal.
“Kenapa kita ikut-ikutan menjenguk dia?” gerutu Aldi.
Tiba-tiba Bumi bangkit dari posisi tidurnya. Kini dia duduk bersandar di tempat tidur.
“Aldi benar. Kalian tidak perlu menjengukku. Lagian siapa yang menyuruhmu menjemputku dari tempat itu. Aku bisa sendiri,” suara Bumi terdengar pelan.
Aku tertawa mendengar itu. Kuambil tasku untuk bersiap pergi. Aldi mengikutiku.
“Aku cuma enggak mau abangku membuat masalah lagi untukku,” jawabku sembari meninggalkan ruangan itu.