BOPM Wacana

Lagu Si Senandung Kecil

Dark Mode | Moda Gelap

Oleh: Ika Putri Agustini Saragih

Ilustrasi: Yulien Lovenny Ester G
Ilustrasi: Yulien Lovenny Ester G

Foto Ika

Tangan halus mengenggam erat tangan kanannya. Terang, terlalu terang. Seperti aurora. Tapi bukan, ukurannya tak sebesar itu. Senandung kecil tak kuasa membuka matanya. Alhasil ia pasrah mengatupkan kelopaknya.

Degupan jantungnya bertalu-talu bak bunyi kentongan yang biasa didengarnya saat ada maling tertangkap basah di kampung. Ia merasa ditarik keberingasan ke dalam lubang hitam nan gelap.

Namun aneh, Senandung kecil tak merasa sakit. Tak lama, hidung dan otaknya bekerja sama merasakan stimulus di sekitarnya. Aroma ini, Senandung tak tahu aroma apa. Tapi lebih wangi dari kue bolu kesukaan Senandung yang dibuat ibu saat Hari Raya.

Perlahan ia buka mata. Cahaya yang menyilaukan tadi berganti jadi temaram yang syahdu. Pemandangan di sekelilingnya menyiratkan pesan bahwa tempat itu ‘suci’. Ia lantas berlari kecil sambil berputar-putar dan bernyanyi. Senandung suka tempat ini. Jika ia tahu tempat ini di mana, ia akan mengajak ibunya ke mari.

Lalu ayahnya? Ah tidak, Senandung mungkin tak mau mengajak ayahnya lagi. Ia sudah kapok, tak mau kulit punggungnya terbakar gara-gara libasan tali pinggang ayahnya.

Meski begitu, jauh dalam sanubarinya, Senandung kecil tak kuasa menampik rasa sayang untuk ayah. Ayah dulu punya tangan ajaib yang bisa menghadirkan mainan baru buatnya kala hari gajian tiba.

”Ah sudah-sudah. Aku tak mau bersedih hati,” ujarnya sambil menunduk. Ia meneruskan perjalanannya.

Senandung sejujurnya tak begitu peduli dengan label yang tersemat pada tempat ini. Apakah taman atau hutan, bagi Senandung tempat ini adalah surga.

Perhatiannya teralih pada gerombolan bunga Dandelion. Sebagian benih Dandelion terbang meliuk-liuk mengikuti alunan angin. Saat matanya mengikuti arah terbangnya, retina Senandung menangkap objek. Seorang wanita cantik jelita berpakaian serba putih. Senandung berani bertaruh dengan seluruh susu cokelat yang diminumnya bahwa tak ada seorang pun pernah melihat wanita yang lebih rupawan selain wanita itu.

”Kau malaikat atau ibu peri?” tanyanya lamat-lamat seraya membesarkan pupil matanya.

”Kau bisa pilih yang mana saja,” ia jawab dengan tertawa kecil di akhir kalimatnya.

”Kalau begitu aku memilih ibu peri. Wahai Ibu Peri yang cantik, di manakah aku berada?”

”Senandung kecil yang manis, kau berada di surga. Tempat seharusnya kau berada,” suaranya lembut dan jernih. Tak ada keraguan saat ia mengucapkan kata surga.

Berarti tebakanku di awal benar. Pikirnya.

Lalu ia ingat sesuatu.

”Kata Wak Haji guru ngajiku, surga itu ditempati orang setelah dia mati Ibu Peri. Jadi apa aku sudah mati?”

Ia tersenyum. ”Tidak, anak baik hati tak pernah mati. Kami hanya menempatkanmu di tempat yang sesuai,” katanya.

”Memang tempatku dulu kenapa? Aku suka walau rumahku kecil, lingkungan sekitarku kotor dan gersang. Tapi aku suka karena ada Ibu di sana.”

”Mari kutunjukkan sesuatu padamu,” ia menarik tangan Senandung. Kali ini Senandung merasa tubuhnya seringan kapas.

Mereka pergi ke lingkungan rumah Senandung. Ibu Peri itu menuntun Senandung menyusuri Sungai Deli dari atas.

”Air sungai ini dipakai untuk mandi, mencuci, dan memasak oleh ibumu. Senandung kecil, tahukah kau air ini mengandung racun? Nanti saraf, hati, dan ginjalmu jadi rusak. Kau tak akan bisa hidup dengan baik. Badanmu akan menguning dan lemas. Mana sampai hati kami biarkan kau merasa kesakitan,” ujarnya sambil mengelus rambut kecokelatan Senandung.

Senandung bergidik ngeri membayangkan tubuhnya menguning. ”Aku tak mau Ibu Peri.”

Setelahnya, mereka pergi ke sekolah Senandung. Di sudut, ia melihat beberapa remaja tanggung berkumpul melingkar sambil melinting rokok dan sekotak lem. Beberapa dari mereka matanya menerawang jauh. Beberapa lagi tertawa sambil mengumpat tak jelas. Terlihat mengerikan.

”Kau tahu lelaki berbaju cokelat keriting di sana?”

”Iya, itu Bang Sarul anak Wak Ucok, Ibu Peri.”

”Nanti, waktu umurmu enam belas tahun, dia akan mengotorimu. Perutmu akan membesar dan kau akan punya anak. Tak akan kami biarkan anak patuh sepertimu dicaci orang-orang.”

Raut wajah Senandung pucat pasi, membayangkan ia punya bayi di dalam perutnya.

Ibu Peri tersenyum, ”Ayo kita ke rumahmu.”

Mereka melanjutkan perjalanan melewati deretan rumah dengan atap aluminium yang memerah. Ibu Peri dan Senandung masuk dari pintu dapur sederhana yang tak dikunci.

Di atas meja bulat dekat jendela, ia lihat deretan kuas, cat minyak, dan kanvas. Itu tempat ibunya melukis. Ibu Senandung seorang maniak seni. Ia melukis, menari, terkadang menulis puisi. Itu sebabnya ia beri nama anaknya Senandung, Senandung Alam. Terdengar aneh mungkin.

Malangnya, bakat ibunya tak bisa membantu mengisi pundi-pundi rupiah keluarga mereka. Ibu Senandung tak punya dukungan dari siapa pun, hingga ia harus berjuang sendiri. Ayah Senandung tak rela istrinya bekerja. Sebab dalam prinsip ayahnya, jika istri bekerja kelak si istri akan mudah membantah perkataan suaminya.

Apalagi semenjak ayah terkena pemecatan massal dari sebuah pabrik kompor, ia berubah. Ayahnya jadi berapi-api, dan tak hangat lagi.

Rumah itu sepi, hanya terdengar suara seorang wanita. Ia sibuk komat-kamit membujuk penonton agar segera memesan sebuah hunian mewah. ”Diskon sepuluh persen, kalau Anda pesan sekarang. Harga naik mulai Desember.

Senandung melihat ibunya tertidur di atas tikar, di depan televisi yang ribut dengan suara si wanita itu.

”Vina, Vina, bangun, bangun!” ayah Senandung ribut-ribut masuk ke rumah.

”Kenapa, Bang?” ibunya tergagap bangun dan heran dengan tingkah suaminya.

”Senandung, mana Senandung?”

Senandung bingung melihat tingkah ayahnya. Kenapa mata ayahnya berkaca-kaca seperti itu? Sulit sekali mengartikan ekspresi wajah ayahnya.

”Di sini, tadi Senadung di sini Bang,” ujar ibunya buru-buru sambil menepuk sisi sebelahnya. Sekejap ayahnya langsung menarik tangan ibu Senandung dan berlari keluar. Senandung bingung bukan kepalang.

”Ada apa Ibu Peri?” tanyanya polos.

”Ayo kita ikuti ayah dan ibumu,” katanya lembut. Mereka keluar dan mengikuti jejak ayah dan ibunya.

Sengatan matahari dipadu debu berterbangan melingkupi kota ini. Tak jauh dari gang rumah Senandung, di perempatan jalan ada kerumunan berkumpul.

”Senandung, Senandung anakku,” Senandung mendengar jerit histeris ibunya. Ibunya meronta-ronta di pelukan ayahnya. Lihatlah, lelaki keras perangai itu, merah matanya. Pucat wajahnya. Air mata mengalir tiada henti dari pelupuknya.

Senandung lihat dirinya tergeletak di badan jalan. Darah merah segar menggenanginya. Ia bergidik ngeri sambil memeluk Ibu Peri. Kemudian menangis sejadi-jadinya.

”Kenapa, kenapa denganku?” ia merasa sakit. Bukan di tubuhnya, melainkan di hatinya. Ibu Peri itu diam. Ia hanya mengelus punggung Senandung, menenangkannya.

”Kasihan, anak kecil itu jadi korban tabrak lari ya,” ucap seorang pria berewokan di sebelah Senandung .

”Iya, ditabrak Panjero Wak. BK merah kalau gak salah,” seorang pria paruh baya menimpali.

Senandung kecil yang cantik, sayang lagunya sumbang.

 

Komentar Facebook Anda

Redaksi

Badan Otonom Pers Mahasiswa (BOPM) Wacana merupakan pers mahasiswa yang berdiri di luar kampus dan dikelola secara mandiri oleh mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU).

Pentingnya Mempersiapkan CV Bagi Mahasiswa | Podcast Wacana #Eps4