BOPM Wacana

Warna

Dark Mode | Moda Gelap

Oleh: Tantry Ika Adriati

Ilustrasi: Yulien Lovenny Ester Gultom
Ilustrasi: Yulien Lovenny Ester Gultom

Foto IntanBola mata Jingga terlalu asik beringsut, bergerak stabil dari kiri ke kanan, berhenti pada satu kata di ujung kanan, dan balik lagi pada satu kata di ujung kiri. Semenjak paragraf satu ia amati dan berganti lagi ke paragraf satu yang lain, ia tak pernah berhenti, pun merasa bosan.

Aku bertaruh di balik kelopak matanya sudah diisi hampir satu kilo cairan air mata untuk pertahanannya selama beberapa jam ini. Entah siapa yang lebih dulu tumbang, ia atau notebook-nya.

Tapi Jingga tampak baik-baik saja, ia menikmati desiran angin yang mengeringkan pupil dan iris matanya. Hal itu ia tangkis dengan sesekali menutup bola matanya, dengan bantuan si kelopak. Benar-benar kerja sama antartubuh yang sempurna. Ia berhasil menstimulus sel-sel syaraf agar mentransfer informasi yang ia inginkan ke bagian tubuhnya lain, termasuk mata hazel miliknya.

Rupanya sedari tadi ia sedang membaca. Bukan hanya membaca tulisan, tapi membaca karakter setiap penulisnya. Kadang senyum kecil menyungging di ujung bibir, saat matanya terhenti di sebuah paragraf. Atau sesekali memaksa ujung-ujung bibirnya mendorong daun bibir membentuk bulatan, ia kecewa pada ending cerita.

Kadang juga, keningnya ikut mengerut dan jemarinya menggaruk kulit kepala yang tidak gatal. Ia bingung dengan alur si penulis. Atau bahkan stagnan pada frasa dan diksi yang berhasil membuat neuron di otaknya kalang kabut menterjemahkan. Otaknya dipaksa berpikir, hatinya dibiarkan merasa. Akhirnya, timbul argumen sendiri yang Jingga definisikan sebagai amanat dari cerita, ini yang penulis harapkan dari setiap pembacanya.

Pada akhirnya, entah itu cerita jenis apa, alur jenis apa, sudut pandang jenis apa, bahkan karakter semacam apa, semuanya hanya jembatan dari si penulis untuk menyampaikan maksud tulisan. Singkatnya, setiap penulis tak ingin amanat itu disampaikan secara mainstream. Mereka ingin menghidangkan amanat dengan kisah si lakon yang sempurna. Lalu, pembaca akan kenyang memakan satu demi satu kulit yang diciptakan untuk membungkusnya. Dengan cerita yang berbeda, tentu saja.  Tujuannya? Entahlah, Jingga tak tahu pasti.

Beberapa orang yang ia lihat –dari tulisan yang dibaca Jingga–, ada beberapa penulis yang sengaja menggabungkan karakter tokoh yang unik (bahkan namanya) dengan setting  yang tidak biasa, serta alur yang runut. Itu semata hanya untuk membuat Jingga bingung, –Siapa sangka penulis mengharapkannya? –.

Namun satu hal yang berhasil membuat Jingga suka tulisan itu, adalah cara si penulis mengemas berbagai pernak-pernik itu menjadi satu cerita yang utuh, yang layak dibaca konsumen macam Jingga.

Ia jadi penasaran dengan penulis-penulis seperti itu, apakah mereka sering membaca buku hingga sangat cerdas membangun diksi dan majas yang membuat otak Jingga komat-kamit. Tak mengerti. Namun berhasil memaksanya tetap membaca kalimat demi kalimat. Meski demikian, Jingga merasa si penulis memanjakannya dengan alur cerita yang stabil. Makanya, Jingga dapat amanat dari cerita yang dibangun si penulis.

Pupil Jingga membesar dan mengecil lagi. Ia beralih pada satu tulisan yang jauh berbeda dari tulisan tadi. Tulisan ini terkesan ringan dan mengalir. Namun nyatanya, si penulis menggunakan kata-kata yang jarang digunakan penulis lain. Ia memilih mengenalkan kata baru, diksi baru, tetapi hal itu tidak membikin Jingga bingung hingga garuk-garuk kepala. Kalau Jingga tak mengulang lagi membacanya, mungkin ia tak sadar bahwa tulisan itu kaya akan diksi.

Jingga takjub. Penulis itu tahu meletakkan porsi kalimat, kata, diksi, setting, dan klimaks cerita.Unsur-unsur tadi berhasil disusun menjadi satu cerita yang ringan, padahal Jingga tahu pasti diksi yang digunakan tidak lumrah. Bukan hanya itu, alur dan ide ceritanya juga unik, di setiap cerita pasti ada hal baru yang ditulis.

Penulis itu, menurut Jingga, ia pandai mengatur emosinya hingga mengalir ke tulisannya. Satu yang terlintas di benak Jingga, dia –penulis itu– selalu meninggalkan satu karakter dirinya dalam cerita yang dikarang. Sehingga, dengan membaca tulisannya saja, Jingga sudah tahu orang seperti apa dia.

Ah, aku bingung. Sebenarnya Jingga jatuh cinta pada tulisannya, atau si penulis?

Lain lagi dengan tulisan yang dibaca Jingga selanjutnya. Si penulis kaya dengan ide cerita. Ia berhasil menyuguhkan kisah berbeda dari cerita-cerita pada umumnya. Ia menang dalam mengonsep cerita dan menyusun alur. Namun saat menulis ia lupa bahwa yang membaca tulisannya bukan hanya dia, melainkan aku dan Jingga.

Dan, cerebellum kami sudah mumet melihat keegoisan si penulis dalam memilih diksi. Ia menulis hanya untuk dirinya sendiri, tanpa memikirkan perasaan pembaca–aku dan Jingga tentu saja.

Hingga di ending pun, si penulis tak mau ambil pusing menjelaskan kejadian-kejadian tidak masuk akal pada cerita. Ia benar-benar membiarkan Jingga dan aku berfikir keras. Bahkan Jingga pikir si penulis hanya ingin memperlihatkan betapa bagusnya ide cerita dan unsur intrinsik yang ditulis. Ia lupa ada unsur ekstrinsik yang berperan sebagai oleh-oleh untuk pembaca, agar pembaca tak lupa dengan tulisan itu. Ya, Amanat. Jingga tak menemukan amanatnya.

Tapi tak apa, biarpun begitu, Jingga sangat suka tulisan itu. Ada sesuatu yang membuat Jingga jatuh cinta dengan ketiga tulisan tadi. Sesuatu –yang meskipun membuat emosi Jingga menyeruak ketika membacanya, kadang ingin memaki si penulis. Sesuatu yang membedakan setiap tulisan dengan tulisan yang lain.

Sesuatu itu disebut warna. Warna tulisan. Bahkan serumit apapun seseorang menulis, seribet apapun alur yang dibangun, tetap saja, pada akhirnya ia akan memperlihatkan warna tulisannya. Warna yang berbeda dari penulis yang berbeda pula.

Jingga tertawa lirih. Ia puas membaca tulisan-tulisan itu. Sekelumat inspirasi sudah beterbangan di atas kepalanya untuk dijadikan tulisan. Ia senang, akhirnya dapat ide untuk membuat cerita pendek, tugas dari guru Bahasa Indonesia Jingga.

****

“Kau sudah selesai membaca?” ujarku mengguyarkan lamunan Jingga. Aku mengelus tubuhnya, sedikit memainkan rambut tipisnya. Dari tadi aku menemaninya, ia atau pun notebook, tak ada satupun yang tumbang. Benar-benar gadis kuat.

“Hei ? Kau, di sini dari tadi?” Ia tampak kaget, lalu tersenyum. Elusan manjaku membuatnya berhenti menatap layar empat belas milimeter itu.

Dasar, gadis aneh. Dia lebih peduli dengan warna tulisan penulis itu daripada warnaku. Padahal namaku hampir menyerupai namanya, Jingga.

“Apa? Kau lapar? Haha, baiklah, mari kita makan.” Matanya menatap kasihan padaku. Ah, tentu saja harusnya begitu. Sudah lama aku menunggunya mengelus lembut bulu-buluku. Lalu digendong dan dibimbing ke ruang tamu. Aku lapar.

“Ah cuppy, maafkan aku, aku keasikan membaca sampai lupa kalau kau belum makan, kucingku,” ucapnya lirih. Disodorkannya segelas susu padaku. Tangannya mengelus lembut badanku. Sudahlah Jingga, kini aku lebih peduli dengan susu putih yang kau buatkan untukku.

Komentar Facebook Anda

Redaksi

Badan Otonom Pers Mahasiswa (BOPM) Wacana merupakan pers mahasiswa yang berdiri di luar kampus dan dikelola secara mandiri oleh mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU).

Pentingnya Mempersiapkan CV Bagi Mahasiswa | Podcast Wacana #Eps4