BOPM Wacana

Kotak Pandora

Dark Mode | Moda Gelap

Oleh: Tantry Ika Adriati

Ilustrasi: Yulien Lovenny Ester G
Ilustrasi: Yulien Lovenny Ester G

Foto IntanPagi ini, aku sudah janji dengan Alex akan sarapan di taverna –sebutan untuk kedai kopi di Yunani- terdekat. Hanya berjarak sepuluh meter dari rumah kami. Distrik Plaka, nama daerah tempat kami tinggal sudah mulai dipadati penduduk asli Athena dan para pelancong. Padahal waktu masih menunjukkan pukul 7 pagi.

Wajah Alex hari ini lebih cerah. Aroma parfum tercium menyengat dari pakaian hangatnya. Postur tubuhnya lebih tegap dan menyatu dengan mantel yang ia pakai. Alex sudah kembali seperti dirinya yang biasa.

“Aku minta maaf,” ucapku memulai. Sudah lama aku tidak berbincang dengan saudara sulungku ini. Terakhir kali aku berbicara dengannya sekitar dua minggu yang lalu. Dua minggu setelah aku dan Alex bertengkar hebat.

Alex berubah. Ia selalu bangun kesiangan dan sering pulang larut malam. Terkadang aku mendapatinya pulang dengan kondisi mabuk atau dengan kondisi wajah memar. Aku prihatin dengannya, ia berubah jadi monster. Semua yang ia lakukan benar-benar tidak mencerminkan dirinya sebenarnya.

Itulah yang membuat emosiku dan Alex pecah kala itu. Ia malah menanggapi omonganku dengan kasar, bahkan sampai memecahkan perkakas di rumah. Kalau kau pernah nonton film saat seseorang melempar gelas, kursi, dan meja, maka seperti itulah kira-kira kejadian hari itu.

Lantas, aku menangis dan memakinya balik. Alex hanya menatapku bisu, seakan aku tak berhak tahu masalah hidupnya. Tak ada yang diucapkan lagi, ia lalu pergi meninggalkanku seorang diri. Hingga esoknya kami berjumpa hanya sekadar bertegur sapa, untuk memecah kebisuan di rumah.

Jadi hari ini aku beranikan diri untuk minta maaf padanya. Tak baik juga lama-lama marahan dengan Alex. Memang kejadian itu murni kesalahan kami berdua.

Ia melirikku sebentar, lalu beralih lagi menatap orang-orang yang berlalu di  trotoar. Kali ini lebih tenang dari biasanya.

“Aku juga minta maaf,” kata Alex. Bass profondo mendominasi intonasi suaranya. Ia memperbaiki letak kacamatanya, lalu menyesap kopi yang baru saja dihidangkan.

Kutatap ia lekat-lekat, lengkung hitam di matanya kini makin melebar. Kumisnya mulai tumbuh, sepadan dengan rambutnya yang sudah tak beraturan. Memang sudah biasa hal ini terjadi bagi mahasiswa tingkat akhir seperti Alex. Hanya saja, terlalu banyak yang Alex pikirkan sampai tak sempat merawat tubuhnya.

Sepertinya Alex punya banyak masalah, sama sepertiku.

“Raja Zeus benar-benar sudah murka,” sahut Alex, bibirnya melengkung sebelah. Matanya menatap iba padaku, seakan kehidupannya sudah dihancurkan oleh raja penguasa olimpus itu.

“Kau ingat saat aku ceritakan tentang zaman besi, dulu?” Aku mengangguk, kudengar cerita itu saat aku masih berumur sepuluh tahun. Kala itu Alex baru saja menjadi siswa sekolah menengah atas setelah kepindahan kami ke Athena.

Bercerita tentang mitologi bangsa Yunani, Alex mengenalkan Zeus padaku. Zeus merupakan raja para dewa setelah raja Uranus dan Kronos. Raja yang memimpin empat zaman setelah zaman emas. Di zaman besi ini –zaman terakhir- pun Zeus masih berkuasa.

Namun zaman kini adalah masa yang paling buruk. Sebab manusia sering berbuat kejahatan dibandingkan kebaikan. Anak-anak mulai tidak menghormati orang tuanya, saudara saling bunuh demi harta, sering terjadi pembunuhan dan peperangan. Bahkan pemimpin banyak yang serakah dan membiarkan rakyatnya menderita. Seperti masalah yang kerap kita dengar hari ini.

Alex berpikir dewa-dewa mulai meninggalkan dan mengabaikan umat manusia, termasuk dirinya.

Kau pernah merasa beban hidupmu begitu berat? Rasanya tak sanggup lagi menghadapinya. Atau kau ingin lari dari segala macam persoalan itu. Kira-kira seperti itulah yang Alex dan aku rasakan. Beban kami rasanya begitu berat.

Hidup yatim piatu di kota Athena ini sudah buat hidup kami  susah. Ditambah lagi masalah-masalah baru yang menghampiri. Sepertinya tak ada lagi Dewi Athena atau Dewi Artemis yang akan memberikan kebahagiaan.

“Benarkah dewa-dewa itu sudah pergi?”

“Ya, tentu saja, kau sudah lihat buktinya bukan?” Ia menanyaiku balik, seakan aku tak perlu bertanya.

Memang benar, bahkan separuh penduduk dunia saat ini bisa dibilang miskin dan tidak punya kehidupan yang layak. Aku tahu semua itu karena Alex berlangganan koran setiap hari. Dari yang kubaca, hanya satu per empat bagian koran yang memberitakan hal baik. Selebihnya tentang musibah-musibah yang melanda berbagai aspek masyarakat. Kemiskinan, korupsi, bencana alam, peperangan. Semuanya buat kepalaku makin pusing.

Lalu, untuk apa Zeus menciptakan zaman besi –kini lebih dikenal zaman modern-, kalau pada akhirnya umat manusia ia buat menderita? Rasanya aku lebih senang jika hidup di zaman emas, saat Uranus masih menguasai bumi. Ketika kebahagiaan selalu menghampiri manusia.

Tetapi aku memang ditakdirkan hidup di zaman ini. Menyaksikan penderitaan umat manusia dan ikut merasakaan penderitaan bersama Alex.

“Bahkan putrinya sendiri yang melepas aura-aura buruk ke bumi,” lanjut Alex.

Konon ceritanya, Pandora –putri Zeus- yang diberikan kebahagiaan tak ternilai dari setiap dewa malah membuka kotak yang dititipkan padanya. Kotak itu berisi keburukan-keburukan yang terjadi di dunia ini. Seperti kini kita dengar ada kemiskinan, penderitaan, penyakit, kebencian, dan yang lainnya.

“Bukankah ini tak adil?” tanyaku pada Alex. Kini jemarinya bermain dengan gelas kopi yang sudah kosong. Ia mengangguk. Lalu kami tenggelam dalam lamunan masing-masing.

Hingga Alex mengucapkan kalimat itu. Kalimat yang mungkin akan menguatkan diriku.

****

Ada satu hal yang masih tertinggal dalam kotak terkutuk milik Pandora. Sesuatu yang merupakan jawaban atas kegelisahan kami selama ini. Sebuah ramuan ajaib yang akan kubawa ke mana pun aku pergi. Jika suatu saat nanti aku dan Alex terjatuh seperti hari ini, mungkin dia akan membantu. Jika suatu hari nanti aku tenggelam dengan kesedihan, aku hanya perlu menggunakan ramuan itu.

“Apa itu?” tanyaku penasaran.

“Harapan,” kata Alex. Ia lalu tersenyum, ingin berbagi harapan denganku.

Ya, harapan akan hidup yang lebih baik. Harapan bahwa semua masalah kami akan segera berakhir. Harapan untuk sembuh dari penderitaan. Harapan untuk bahagia, tentu saja.

Aku pun ikut tersenyum, Alex memang belum berubah. Ia masih sama seperti Alex yang aku kenal. Hanya saja beban hidupnya semakin berat. Begitulah yang terjadi saat usia kita semakin bertambah. Kala waktu semakin berlalu. Ketika tahun semakin silih berganti. Akan selalu ada masalah baru yang datang menghampiri.

Di mana pun itu, yakinlah masih ada yang akan memapah kita untuk bangkit. Sebuah harapan dari kotak terkutuk milik Pandora mungkin?

Komentar Facebook Anda

Redaksi

Badan Otonom Pers Mahasiswa (BOPM) Wacana merupakan pers mahasiswa yang berdiri di luar kampus dan dikelola secara mandiri oleh mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU).

Pentingnya Mempersiapkan CV Bagi Mahasiswa | Podcast Wacana #Eps4