Oleh: Amanda Hidayat
Lepaskan saja bajunya, biar terbuai dada ranum itu! Palak sendiri hatiku jadinya, hati si Pungah kecil ini. Tak juga keluar apa yang ingin Opung Waluyo dan berjibun ingin sampaikan.
Dua jam rasanya sungguh lama hanya untuk membicarakan hal yang sebenarnya bukan untuk dibicarakan. Lebih lagi karena kau punya hal sangat penting untuk dibicarakan, dibahas, dan ditindaklanjuti oleh si pendengar dan kau sendiri tentunya, tapi tak kunjung kau sampaikan. Ini sama halnya saat kau ingin nyatakan cinta pada seseorang yang sudah ada di depan matamu, di ruang remang, di mana hanya ada kau dan dia, kata-katanya sudah kau persiapkan jauh-jauh hari, kau sudah buat janji, dan sekali lagi dia ada di depan matamu, tapi kau tak bisa menyampaikannya sebab ada suatu hal yang tak bisa dijelaskan. Ya, tahulah apa jadinya. Kau pulang dengan perasaan nelangsa.
Tapi kali ini kau tahu, kalau yang ingin kau katakan tak bisa dikatakan bukan karena sesuatu yang tidak bisa dijelaskan. Ancaman ada di sekelilingmu. Kalau saja terlepas dari mulutmu apa sebenarnya yang ingin kau katakan, peluru bedil atau hukum gantung yang kau dapat, sebab siapa saja pribumi Hindia akan dihilangkan kalau sudah menentang kebijakan pemerintahan kolonial. Hukum belum lagi ada, adapun itu bukan untuk kita yang pribumi, tapi untuk kompeni juga. Pribumi dianggap monyet oleh mereka, jadi tak perlu ada hukum yang sebenar hukum.
Walau Pangeran Suryanegara mengerti, bukan yang sedang dibicarakan ini yang hendak Opung Waluyo dan berjibun ingin sampaikan. Tapi Pangeran Suryanegara belum tahu apa yang ingin disampaikan sebenarnya. Telepati sudah hilang ilmunya dari Hindia ini, meski dulu pernah ada, ini ku dengar dari tetua kampung. Jadi takkan Pangeran mengerti maksud sebenarnya.
Baru satu gouverneur di Hindia ini yang perempuan, dialah Gouverneur Cirebon. Sejak awal Belanda masuk ke Cirebon sampai hari sedang berlangsung ini, dialah gouverneur terkejam kata orang-orang. Tak banyak memang yang celaka selama dia jadi gouverneur. Baru satu orang mati ditembak karena tak mau membayar pajak setelah ditagih tiga kali. Dua digantung. Dua orang kakinya ditembak, karena tak mati, itulah mereka yang digantung. Digantung karena dituduh membunuh prajurit kompeni.
Memang sehari sebelumnya ada prajurit kompeni yang mati terperangkap jerat babi di tepian hutan. Tepi yang ku maksudkan bukan tepi yang benar tepi, tapi ada sekitar dua jam perjalanan masuk ke hutan, orang kampungku bilang itu masih tepi. Pihak gouverneur menduga itu disengaja dan dua orang yang ditembak tak mati lalu digantung itulah pelakunya, makanya sampai sekarang tak ada dari Desa Kedongdong ini yang membuat perangkap babi lagi, barang kali takut mati ditembak kalau hal yang sama terjadi.
Baru tiga orang yang mati memang, gouverneur sebelumnya tiga belas orang. Sekadar tahu saja, orang bilang gouverneur sebelumnya menjabat delapan tahun, gouverneur sekarang belum lagi satu minggu.
Sudah, lepaskan saja celananya, biar jadi tontonan paha mulus itu! Atau maki saja kompeni banyak ini, biar gaduh kita! Itu lagi yang terlintas dibenakku.
Walau baru delapan tahun aku punya umur, aku sudah paham dengan yang begituan. Kesal sungguh aku. Pungah kecil yang sendiri memang kecil di tengah orang banyak ini. Buat apa besar, buat apa pula tua, kalau yang ingin kita sampaikan saja tidak jadi disampaikan karena merasa terancam dengan kehadiran pihak ketiga yang sama tuanya, memang mereka lebih besar ukuran badannya, tapi jumlah kita lebih besar dari mereka, kenapa pula kalau mereka pakai senjata? Ini kampung kita, kalah pula kita sama orang yang asalnya kita tak pernah tahu bentuknya, hanya dengar cerita-cerita saja. Ancam baliklah kalau memang besar! Tak palah takut sama yang seperti itu. Kesal sendiri aku jadinya.
***
“Apa rakyatku mau bantu pemberontakan kita?” kata Pangeran Suryanegara ketika hal sebenarnya telah disampaikan Opung Waluyo, saat kompeni puki itu telah pergi tentu…
Kuteguk minum yang disediakan pemuda Inong sebelum aku lanjut lagi cerita.
“Jadi bagaimana selanjutnya Tuan Pungah?” tanya pemuda Inong mengagetkanku.
“Ah kau Nong, lagi asyik cerita aku kau potong pula.”
“Iyakah? Taklah itu kusengaja Tuan, hanya penasaran saja lanjutnya bagaimana.”
“Kaget saya Nong, sudah tua begini.”
“Ai-ai, begitu mudah Tuan kaget.”
“Untuk mendapatkan permulaan cerita lagi aku pun susah, Nong.”
“Baiklah Tuan, takkan berulang lagi hal serupa, seandainya dari awal Tuan beritahu saya tentang mudahnya konsentrasi Tuan buyar. Coba seandai dari semula Tuan katakan, pastilah yang begini tak terjadi, kan begitu.”
Aku lanjut memulai lagi ceritaku:
Jadilah Desa Kedongdong perang dengan kompeni itu. Aku yang masih kecil tentu belum turut serta, lima tahun kemudian setelah umurku tiga belas tahun, barulah aku turut berperang. Banyak kejadian yang menyayat hati kala itu. Dokter bedah punya banyak pelanggan jadinya, karena penduduk banyak yang terkena peluru. Ya, zaman itu dokter bedah sudah ada, jangan kira tidak, meski alat masih parang dan tak kenal apa itu bius. Banyak tubuh terluka menanggung sakit, sakit jiwanya, hari depannya.
Kala ini perang masih dianggap suci—Doktrin bellum justum— karena membela bangsa, sekarang saja perang dianggap kekerasan yang dianggap kejahatan besar—Represaille— yang tak boleh ada.
Kompeni kala itu kelelahan melawan kami, pun begitu dengan kami, kelelahan menghadapi mereka. Kami yang langsung dikomando Pangeran Suryanegara yang pintar menyiasiati taktik kompeni membuat kompeni tungang-langgang menghadapi. Walaupun kami sama lelahnya dengan kompeni puki itu, tapi kami tak banyak mati sebanyak kompeni mati.
Sampai tahun 1772, Pangeran Suryanegara ditangkap oleh kompeni, mungkin mereka tahu kalau Pangeranlah sumber kecerdikan perang penduduk Kedongdong kala itu. Mulai saat itu perlahan serangan kami terhadap kompeni berkurang, kami bertahan, pertahan itu juga kemudian kendor. Banyak penduduk terjelapak mati, tak tahu aku berapa jumlahnya.
“Lupa aku hitung Nong,” jelasku ke pemuda Inong.
Lanjut lagi aku bercerita: Jadi, tahun 1773 hilang sudah perlawan kami pada kompeni, sebab tak ada yang mengomando lagi setelah Pangeran ditangkap dan tak jelas di mana rimbanya sekarang.
Aku melarikan diri ke Manado di mana tempat aku diwawancarai sekarang oleh pemuda Inong. Sudah 116 tahun umurku kala dia mewawancaraku. Istriku aku dapatkan di Manado ini juga. Kami punya anak yang kemudian kawin dengan orang Manado juga. Mereka mempunyai anak Pangeman namanya, pada usia enam bulan, mereka meninggalkan anaknya untuk selama-lamanya. Setahun setelah itu istriku juga.
Sementara aku tinggal seorang diri tanpa siapa pun di sini, keluarga di Kedongdong semua mati ketika perang itu. Cucu pun tak samaku lagi, dia diasuh seorang pendeta. Aku merasa tak mampu lagi mengasuhnya. Waktu menulis catatan ku ini pun tanganku sudah lambat dan gemetar, umur yang tua penyebabnya. Mungkin aku takkan menulis lagi. Sungguh nelangsa nasibku sekarang.