BOPM Wacana

Jalan Lurus

Dark Mode | Moda Gelap

Oleh: Ridho Nopriansyah

Sebenarnya, semua tubuh kita memiliki fungsi yang sama. Tak memiliki perbedaan yang jauh satu sama lain. Namun, khusus pada bagian-bagian tertentu, menyebabkan satu bagian mengkhianati satu sama lainnya. Memberontak dan ingin menonjol dari yang lain. Hingga manusia pintar pun membaginya agar mudah dipelajari, mana kepala, mana kelamin, dan mana mulutmu. Sesungguhnya, sel-sel mulutmu murtad. Ia menghianati hati. Namun, ia berdekatan bentuk dan satu keluarga dengan sel ususmu. Namun, apa yang salah dari murtad? Bukankankah layaknya alam yang selalu menuju keseimbangan, semisal petir yang sambar-menyambar menyelaraskan bopeng-bopeng alam, maka sel pun begitu. Ia berbentuk dan berfungsi khusus demi menjaga kesimbangan biologis manusia. Kodrat, wajar saja jika manusia itu berubah. Dan apa yang salah dari murtad?

“Pergilah, apa kamu tidak mendengar desas-desus yang berkembang? Bapak tidak ingin semua hal yang kita lakukan dianggap menyalahi.” Matanya bergetar, menatap nanar ke depan. Tak melihatku yang serius menjilati setiap huruf yang keluar dari mulutnya.

“Tapi Pak, apa yang salah?”

“Tak ada yang salah, orang-orang hanya belum bisa menerima. Takut. Pergilah.” Ia kemudian memunggungiku. Sekilas kutangkap gurat cemas di wajahnya yang sehitam minyak kopra.

“Picik sekali mereka. Apa hak mereka melarang-larang saya, Pak,” aku malah semakin tak habis pikir mengapa hal-hal sederhana seperti ini menjadi pembahasan serius bagi mereka. Aku hanya ingin belajar. Sejauh ini tak lebih. Tapi mulut mereka sudah berkata sangat jauh ke depan. Jauh sekali. Berlebihan dan terlalu banyak menduga.

“Kau ingat apa fungsi tanda kurung dalam sebuah operasi matematika?” pemuda dengan wajah berwarna kopra itu malah menanyaiku. Tidak tepat saatnya membahas hal-hal seperti itu. Sekarang adalah bagaimana agar aku bisa tetap belajar tanpa diusik mereka di luar sana. Sirik!

“Yang di dalam kurung lebih dahulu dikerjakan, Pak, “ aku justru menimpalinya.

“Prioritas namanya. Pun mereka yang mencibirmu. Kau adalah bagian dari mereka. Prioritas mereka. Maka, wajar apabila mereka mengkhawatirkanmu. Tapi satu hal, tanyakan hatimu. Ia tak akan pernah berdusta, kecuali kau sudah tak memiliki hati atau tak pernah kau rawat ia. Pergilah!”

***

“Panggil Bayo. Suruh menghadap saya!” Bu Mega menunjuk seorang murid untuk mengabulkan pintanya.

Sejurus kemudian, aku datang. Mengenakan baju koko, kain sarung bergambar gajah gendut macam dia, kopiah rajut berwarna putih, dan sendal jepit. Semua putih. Paduan yang sangat suci.

“Apa yang kamu lakukan. Sudah tak ada lagikah malumu. Apa benar desas-desus yang berkembang itu. Memalukan. Kau melecehkan semua harkat dan martabat golongan kita di bumi ini,” Ia menunjuk-nunjukkan telunjuknya padaku. Apa dia bilang, merendahkan harkat dan martabat semua manusia golongan kami di muka bumi ini? Golongan apa pula? Dan bagaimana pula ceritanya? Apa kubilang, desas-desus sangat berbahaya. Bahkan mampu memutar haluan suatu negara.

Kau ingat peristiwa 11 Sepetember 2001, saat menara WTC dibuat macam istana pasir. Dihancurkan. Seluruh dunia turut berduka. Harga saham anjlok. Desas-desus pula yang menyebabkan harga minyak tiba-tiba meroket tajam. Sebab Timur Tengah ditengarai menjadi dalang pemboman itu, Alqaeda. Desas-desus itu turut andil menyebabkan dunia siaga satu. Di mana ada pria berjenggot dan nama-nama semacam Muhammad, Ibrahim, dan mereka yang menyematkan ibn di namanya harus ekstra sabar saat bepergian kemanapun. Dicurigai dan diinterogasi ekstra. Jangan-jangan dia jaringan Alqaeda.

“Kau akan tersesat.” Bu Mega semakin menyudutkanku. Ia cepat sekali mengambil kesimpulan. Apakah semua Kepala Sekolah seperti dia? Belum tahu secara detail apa yang terjadi namun sudah bisa menuduh.

“Sudah seberapa jauh kamu bertanya sama dia? Apa kau sudah diajarinya menyembah-nyembah? Memalukan. Dosa besar.” Matanya nyaris keluar. Lebar sekali membukanya. Ia kemudian berdiri mengambil secarik kertas kemudian menandatanganinya.

“Orang tuamu akan saya panggil. Ini sudah di luar kendali. Kamu betul-betul dalam masalah besar anak muda,” Ia kemudian membubuhkan cap biru pada suratku. Sebagai syarat administratif. Basa-basi dunia.

“Satu hal Bu. Satu alasan saja yang masuk akal mengapa aku salah. Kumohon ibu bisa menjelaskan!” Tak sanggup lagi aku menahan onak dalam hati ini. Kalau penjelasan ibu gendut yang terhormat ini sangat masuk akal, aku turuti dia. Menyerah. Jika tidak, tentu hal sebaliknya yang kulakukan.

“Kamu dari golongan kita, sejak lahir. Orang tuamu, kakek nenekmu, buyutmu pun sama. Menurut kepada ajaran turun temurun. Ajaran samawi yang paling benar. Murni tanpa campur tangan manusia. Kini kau membelot…”

Aku lantas memotongnya. “Aku tak membelot, aku hanya bertanya. Bertanya sesuatu yang belum kuketahui. Sesuatu di luar zona amanku,” bibirku bergetar mengatakan itu. Kutundukkan mataku. Tetap kutaruh hormat pada beliau yang gendut.

“Bertanya kepada mereka di luar golongan kita, berarti meragukan apa yang kita anut. Yang bapakmu dan kamu anut turun-menurun. Ajaran yang benar,” kini suaranya kembali meninggi. Lebih tinggi lagi.

“Turun-menurun, itu bukan iman. Iman itu dicari. Bukan diwariskan,” kini kuberanikan menatap matanya.

Astagfirulloh, apa yang sudah didoktrin Pak Bonar padamu,” kulihat tangannya mulai mengepal.

“Inilah salahnya, terlalu cepat menyimpulkan. Belum juga ditanyai dengan jelas. Bapak Ibu Dewan Guru sudah menuduh yang tidak-tidak. Aku yang bertanya. Pak Bonar hanya menjawab. Tak lebih,” suaraku pun meninggi. Hampir lupa aku siapa yang tengah kuhadapi.

 

Astagfirulloh, lancang benar kamu Bayo. Dia itu misionaris. Kamu bisa murtad. Bahaya!”

***

Esoknya, orang tuaku datang ke sekolah. Aku diliburkan dari sekolah itu. Awalnya seminggu. Namun, orang tuaku minta untuk selamanya. Aku pindah sekolah. Pak Bonar? Dia dicopot sebagai guru Matematika. Padahal otaknya encer, mengajar juga menyenangkan. Semua guru sepakat mengeluarkannya dari sekolah. Selebihnya aku tak tahu.

Malam ini, aku duduk tepakur di atas rumput halaman samping kamarku. Di bawah sebuah plang tua berwarna hijau. Kupandangi bintang yang muncul satu-satu. Seolah semua kejadian silam terpampang lagi di sana. Diputar ulang. “Bayo, ayo solat Tarawih. Malam ini giliranmu jadi badal,” kakak asuhku tiba-tiba menghampiri dan menarik tanganku. Kemudian ia melihat gambar di bagian dalam tangan kiriku. “Hapus gambar salib itu! Nanti dilihat orang,” ia berkata sambil berlalu. Aku mengekor jalannya. Meninggalkan plang bertuliskan nama pesantrenku kini.

Komentar Facebook Anda

Redaksi

Badan Otonom Pers Mahasiswa (BOPM) Wacana merupakan pers mahasiswa yang berdiri di luar kampus dan dikelola secara mandiri oleh mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU).

Pentingnya Mempersiapkan CV Bagi Mahasiswa | Podcast Wacana #Eps4