BOPM Wacana

Industri Film Sumut, Hidup Segan Mati Tak Mau

Dark Mode | Moda Gelap

Oleh: Sri Wahyuni Fatmawati P

Dulu mereka ada, namun tak hanya sekadar “ada”. Kini juga ada, namun hanya sekadar “ada”.

SINEMA CLUB | Dua karyawan bioskop keluarga milik Produser William Atapari di Jalan Setia Budi, Kamis (3/4). Sampai saat ini, bioskop ini masih ramai pengunjung terutama setiap akhir pekan, namun bioskop ini masih sedikit memiliki koleksi film lokal. | Wenty Tambunan
Mini Theater | Dua karyawan bioskop keluarga milik Produser William Atapari di Jalan Setia Budi, Kamis (3/4). Sampai saat ini, bioskop ini masih ramai pengunjung terutama setiap akhir pekan, namun bioskop ini masih sedikit memiliki koleksi film lokal. | Wenty Tambunan

William Atapary sedang menempuh studi D-III Akuntansi Perbankan Politeknik USU saat ia mulai menyukai film. Bermula dari seringnya melihat tayangan pariwisata di televisi, ia mulai terpikir pasti akan menyenangkan bisa membuat sebuah film sendiri dan diapresiasi. Itu juga alasannya William mengambil kursus multimedia di Jakarta pada Juni 2003 lalu.

Memilih Jakarta sebagai tempat melanjutkan sekolah bukan tanpa alasan. Saat itu, Jakarta sudah berkembang untuk dunia perfilman.  William akhirnya menyelesaikan kursusnya pada Desember 2003. Segera setelahnya ia kembali ke Medan. Niatnya, ingin mengaplikasikan ilmunya dengan memproduksi film sendiri.

Namun tak segampang itu, William tak lantas memproduksi film. Alasannya, ia tak punya cukup uang untuk membiayai semua biaya produksi filmnya. Alhasil, mimpi William terpaksa ditunda.

Demi mewujudkan mimpinya, mulailah ia bekerja sebagai pembuat video acara. William bekerja dari satu pesta pernikahan ke pesta lain. Setidaknya ilmu sinematografi yang didapatkan saat kursus bisa sekalian diaplikasikan. “Ngumpulin duit dulu,” tukasnya.

Lama William menabung hingga tahun 2012, ada komunitas film mahasiswa yang mendatangi mini theatre miliknya untuk minta sumbangan dana. Mereka bilang mereka ingin buat film, namun dana mereka tak cukup. William mengajak mereka bekerja sama. William jadi produsernya, mereka buat skripnya. “Aku pun udah lupa kalau mau buat film,” celetuknya.

Namun, di tengah pengerjaan film berjudul Cintaku di Tanah Batak itu terjadi selisih paham. Anggota komunitas ingin mereka yang buat film, jadi tidak hanya sekadar menulis skrip. Namun, William tak setuju. Ia merasa punya hak lebih karena film itu menggunakan uangnya. Apalagi ilmu sinematografi anggota komunitas belum mencukupi. “Aku bilang untuk kali ini biar aku saja, nanti film kedua baru mereka, karena udah pernah buat film,” jelas William.

Akhirnya mereka tak lanjutkan produksi film. Padahal informasi film ini sudah disebar sejak awal 2012. Para pemainnya, sudah direkrut dan dibayar.

Namun masih ada beberapa orang yang ternyata sepaham dengan William. Medio 2012 mereka yang tersisa mulai penulisan skrip film. William memulai pengambilan gambar di Danau Toba sejak September, di sana mereka menghabiskan waktu sebulan. Dilanjutkann proses editing, hingga Januari 2013 film ini siap dirilis.

Film berjudul Mutiara dari Toba itu menghabiskan dana sebesar Rp 200 juta, dan keseluruhan dana milik William pribadi. Pendistribusian film dilakukan lewat keping CD sebanyak hampir sepuluh ribu keping. Pendistribusiannya masih di Sumatera Utara (Sumut). Kota paling jauh masih sebatas Jakarta. Saat ditanya berapa penghasilan yang didapat, William tersenyum. “Balik modallah,” ucap William.

Sejak itu William belum memproduksi film lagi. Tak ada rekan yang sepaham, katanya. Baik pemikiran maupun ilmu. Ia bilang komunitas film yang ada di Medan hampir semua tak miliki ilmu sinematografi. Alhasil, pembuatan film menyalahi aturan, misalnya pengambilan angle gambar yang salah.

Sumber daya manusia (SDM) dalam industri film memegang peranan penting. Mulai produser, sutradara, kamerawan, hingga pemain. Kalau ikut istilah William, film bukan hanya sekadar gambar bergerak, ada seni dan teknik di dalamnya. Untuk itulah dibutuhkan orang-orang dengan latar belakang perfilman yang kuat, jadi film yang dihasilkan juga bagus dan menjual. “Kalau hanya sekadar buat film, bagaimana mau ikut festival,” ujarnya.

Sineas lain, Andi Hutagalung punya trik sendiri terkait SDM. Untuk pemain film, Andi biasanya menggunakan warga sekitar lokasi pengambilan gambar. Adapun pemain lain biasanya dari kawan-kawannya saja. “Aku lebih memilih yang belum pernah sama sekali bermain film. Apalagi film yang biasa kubuat sarat akan muatan lokal,” ujarnya.

Untuk pengerjaan teknis, Andi biasanya merangkap sebagai kamerawan, sutradara, dan editor. “Karena masih terbatas SDM yang menguasai jobdesk di tiap posisi. Rangkap-rangkaplah dulu,” katanya.

William bilang ini terkait dengan ketiadaan sekolah multimedia di Medan. Pun kursus maupun seminar tentang perfilman.

Selain SDM, peralatan juga jadi sorotan. Andi selalu kewalahan tiap kali shooting film. Oleh karena itu, kamera diakali dengan kamera DSLR. Microphone boom diakali dengan microphone biasa. Pencahayaan pun diakali dengan peralatan seadanya. “Kalau di Jakarta udah enak kali orang itu. Kalau mau sewa, di mana-mana udah ada tempatnya. Kalau di sini tempat sewaannya aja enggak ada,” katanya.

Untuk memproduksi sebuah film dibutuhkan waktu beragam, misalnya M Fahrul Rozi dari Komfaz Production tidak menghabiskan waktu dan dana yang banyak. Sebut saja film pendek Penyesalan tahun 2013 silam. Waktu pengerjaannya seminggu, dananya Rp 40 ribu. “Itu buat beli mi instan,” tutur Rozi sambil tertawa.

Jadi, sejak Maret 2010 hingga kini Komfaz Production menghasilkan empat buah film pendek. Pengambilan gambar keempat film menggunakan kamera digital yang dipinjam dari seorang teman. Anggotalah yang membintangi semua film.

Setelah Penyesalan memenangkan Juara 2 dalam Festival Film Anak Medan 2013, mereka menerima Rp 3,4 juta sebagai hadiah. Uang itulah yang digunakan untuk beli kamera DSLR. “Ini pertama kalinya kami (Komfaz Productionred) punya kamera, biasanya minjam,” cerita Rozi.

***

Andi terbiasa membuat film dokumenter. Menurutnya cerita film dokumenter orisinil dan tanpa rekayasa skrip. Sebut saja Ulos Batak yang diproduksi tahun 2009. Film ini menceritakan perjuangan hidup ibu pembuat kain ulos di Tarutung, Tapanuli Utara. “Lumayan lama juga buat film ini. Kayak manalah mengikuti ibu-ibu pembuat ulos sampai dia dapat makanan,” tutur Andi. Film ini meraih juara ketiga dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar).

Opera Batak adalah film dokumenter lain produksi Andi, gambar diambil rentang 2009-2011. Prosesnya termasuk lama, Andi harus ke Tapanuli, Batam dan Jakarta untuk membuat film ini. Tak sia-sia, film ini jadi Juara 2 Festival Film Dokumenter Bali (FFDB), juara pertama di Festival Film Dokumenter Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, dan Festival Film Pendek Medan tahun 2012.

Lagi, Andi memproduksi film Permata di Tengah Danau tahun 2012. Berhasil menjadi juara pertama di Festival Film Dokumenter Bali (FFDB), SBM Golden Lens─kompetisi film dokumenter pendek yang diadakan oleh Lensa Yogya─, dan menjadi salah satu dari lima nominator di Festival Film Maya pun didapat film ini.

Semua film Andi menggunakan uang pribadi, biasanya ditambah dengan sponsor. Andi tak pernah mengajukan proposal permintaan dana ke pemerintah terkait produksi film. Padahal film yang dibuat Andi keseringan tentang budaya daerah dan kearifan budaya lokal. Selain Andi, Rozi juga melakukan yang sama. Mungkin karena dana yang digunakan tak banyak. Lain lagi cerita William, ia pernah ajukan proposal saat pembuatan Mutiara dari Toba ke instansi dan Disbudpar. Namun, respon tak kunjung diberikan.

Lain cerita dengan Armsyal Tanjung yang bergelut di industri film sejak 1976 silam. Armsyal termasuk sering mengajukan proposal pengajuan dana ke pemerintah, tak hanya untuk memproduksi film saja namun juga untuk pengadaan acara yang menyangkut perfilman. Ia pernah minta Rp 100 juta, pemerintah beri  Rp 60 juta. “Lumayanlah,” sahut Armsyal.

Armsyal sudah bergelut dari awal 1970-an Armsyal cerita tentang kondisi perfilman saat itu. Tahun 1980-an Sumut pernah berjaya dengan filmnya. Studio Film Sunggal yang dibangun 1981 merupakan penandanya. Bayangkan, rentang waktu 1953-1983 Sumut memproduksi tidak kurang 22 film panjang dan delapan film dokumenter.

Mulai 1955  Lewat Jam Malam yang disutradarai Bachtiar Siagian ikuti Festival Film Indonesia (FFI), dilanjutkan Piso Surit tahun 1967. Saat FFI di Medan tahun 1975 Sumut sertakan tiga film: Setulus Hatimu, Butet, dan Batas Impian, bahkan Setulus Hatimu besutan Arizal berhasil meraih Piala Citra kala itu.

Ada hal utama yang menurut Armsyal menjadi penyebab perfilman Sumut tidak seperti dulu. Dukungan pemerintah. “Sekarang pemerintahnya enggak kayak dulu,” tutur Armsyal.

William punya pandangan sendiri. Menurutnya kenapa saat ini perfilman Sumut belum maju karena sineas belum coba ikuti tren pasar. “Sekarang film udah berkembang sekali, setiap saat permintaan berubah,” tuturnya.

Daniel Irawan, pengamat film, merasa ada beberapa yang harus diperbaiki sineas Sumut. Pengetahuan teknis, kurang visi untuk mengolah cerita, ide yang begitu-begitu saja menjadi masalah mendasar.

Menurut Daniel, film Medan menonjol di cerita daerah. Ini jauh lebih menguntungkan daripada film bioskop nasional. Untuk komersil cerita daerah sangat laku. “Tapi kualitas (Film Sumut—red) belum bagus seperti film bioskop,” katanya.

Dijual | Kumpulan film karya anak medan dipasarkan kepada masyarakat Medan di toko kaset cinema station Jalan dr Mansur, Kamis (3/4). Harga yang ditawarkan berkisar 15 ribu rupiah per kepingnya. | Yulien Lovenny Ester G
Dijual | Kumpulan film karya anak medan dipasarkan kepada masyarakat Medan di toko kaset cinema station Jalan dr Mansur, Kamis (3/4). Harga yang ditawarkan berkisar 15 ribu rupiah per kepingnya. | Yulien Lovenny Ester G

Supaya dilirik hingga nasional, film Medan harus berkembang dari segi film fiksi naratif. Keunggulan Medan hanya dokumenter saja. Membuat ide cerita menarik dan kualitas film yang tak diragukan. “Karena orang lebih suka fiksi naratif dibandingkan dokumenter,” sahut Daniel.

Untuk terus eksis, satu-satunya cara dengan ikut festival film. “Menang terus tayang di bioskop,” jelasnya.

Tak Ada Perhatian Pemerintah untuk Film

William bercerita tentang betapa berkembangnya industri film di kota lain, terutama di Pulau Jawa. Selain SDM yang memang harus diperhitungkan, dukungan pemerintah juga menjadi hal yang penting. Harusnya pihak pemerintah lebih rajin membuat acara tentang perfilman, bisa seminar perfilman ataupun festival film. Ini bisa menjadi wadah untuk para sineas dan komunitas film di Sumut untuk berbagi ilmu. “Tapi kayaknya tidak ada kegiatan,” kata Andi.

Sejak didirikan tahun 2010 Seksi Perfilman Bidang Bina Seni Budaya Disbudpar Pemprov Sumut sudah memiliki program kerja yang dilakukan setiap tahunnya.

Setelah melakukan Festival Film Pendek Medan pada 2010 lalu, tahun 2011 dilakukan sosialisasi undang-undang No 33 tahun 2009. Festival Film Pendek Medan kembali diadakan di tahun 2012. Hingga yang terakhir Desember 2013 mereka mengadakan lokakarya perfilman. Tahun ini Disbudpar berencana mengadakan Festival Film Medan 2014, namun hingga kini memang belum dilakukan persiapan. “Ada, kok yang dilakukan untuk perfilman ini,” tutur Cut Umi, Kepala Bidang Bina Seni Budaya.

William merasa sosialisasi yang dilakukan Disbudpar tidak kelihatan. Pasalnya sineas Sumut masih merasa Disbudpar tidak memiliki kegiatan apapun terkait film. Kalau memang dilakukan untuk perfilman sosialisasinya juga harus disebar, agar semua sineas Sumut tahu. “Dilakukan supaya ada acara aja kayaknya,” sahutnya.

Armsyal juga merasa pihak pemerintah tidak memiliki pembinaan untuk perfilman. Terbukti dari pelatihan film yang hanya sedikit diadakan. Armsyal sudah beberapa kali mengadakan pelatihan. Namun, ia tidak ingin buat pelatihan yang lebih sering lagi. “Buat pelatihan, kan juga pakai dana, ajukan ke pemerintah enggak direspon,” sahutnya hanya tertawa sambil menggeleng.

Cut bercerita, memang banyak para komunitas yang datang dengan keluhan kekurangan dana dan mengajukan proposal. Tapi ia bilang pemerintah tidak memiliki anggaran untuk perfilman. “Kami, kan tugas dan fungsinya dalam bentuk melakukan kegiatan bukan memberikan dana,” sahut Umi.

Armsyal merasa pemerintah juga harusnya mendata komunitas film yang ada di Sumut, agar lebih mudah pengaturannya. Pemerintah sebagai wadahnya. Menanggapi hal itu menurut Cut seharusnya komunitas filmlah yang buat pendataan tersebut, sedangkan pemerintah hanya berkoordinasi serta mengundang tiap ada kegiatan.

William sepakat dengan Armsyal, ia ragu Disbudpar  tahu komunitas-komunitas film di Medan. “Dikumpulin saja enggak ada,” tutur William.

Koordinator Liputan: Sri Wahyuni Fatmawati P

Reporter: Audira Ainindya, Guster CP Sihombing, Maya Anggraini S, dan Sri Wahyuni Fatmawati P

 

Laporan ini pernah dimuat dalam Tabloid SUARA USU Edisi 97 yang terbit April 2014.

Komentar Facebook Anda

Redaksi

Badan Otonom Pers Mahasiswa (BOPM) Wacana merupakan pers mahasiswa yang berdiri di luar kampus dan dikelola secara mandiri oleh mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU).

Pentingnya Mempersiapkan CV Bagi Mahasiswa | Podcast Wacana #Eps4

AYO DUKUNG BOPM WACANA!

 

Badan Otonom Pers Mahasiswa (BOPM) Wacana merupakan media yang dikelola secara mandiri oleh mahasiswa USU.
Mari dukung independensi Pers Mahasiswa dengan berdonasi melalui cara pindai/tekan kode QR di atas!

*Mulai dengan minimal Rp10 ribu, Kamu telah berkontribusi pada gerakan kemandirian Pers Mahasiswa.

*Sekilas tentang BOPM Wacana dapat Kamu lihat pada laman "Tentang Kami" di situs ini.

*Seluruh donasi akan dimanfaatkan guna menunjang kerja-kerja jurnalisme publik BOPM Wacana.

#PersMahasiswaBukanHumasKampus