Oleh: Reza Anggi Riziqo
Berulang kasus keracunan massal hingga kematian timbul akibat aktivitas PLTP Sorik Marapi. Kemelut ini jadi noktah hitam proses transisi energi di Indonesia.
Sumiah (bukan nama sebenarnya) terkapar lemas sore itu, sekitar bakda magrib, Kamis (22/02/2024). Sebelum diboyong ke rumah sakit, dia sempat rasa sesak napas hebat, mual, dan muntah.
Jantung Sumiah berdegap kencang hingga akhirnya tak sadarkan diri. Hal yang sama juga dirasakan sejumlah warga di Desa Sibanggor Julu, Kecamatan Puncak Sorik Marapi, Kabupaten Mandailing Natal, Sumatra Utara.
Tragedi bermula saat pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP), atau geotermal, yang dioperasikan PT Sorik Marapi Geothermal Power (SMGP) gelar uji sumur (well-test) V-01 di area Well-Pad V (Victor). Well-Pad sendiri adalah area terbatas yang jadi tapak pengeboran, memuat beberapa sumur untuk dieksploitasi. Well-Pad V merupakan Well-Pad kelima yang berhasil dibangun, berjarak sekitar 700 Meter dari pemukiman terdekat.
Seluruh persiapan telah dilakukan perusahaan. Di hari-hari sebelumnya, warga diminta berkumpul untuk dengar sosialisasi perusahaan agar tidak beraktivitas di sekitar Well-Pad V. Namun, pertemuan cuma dihadiri para perangkat desa dan beberapa perwakilan warga saja. Upaya sosialisasi kembali dilakukan sehari sebelum aktivasi sumur lewat pengeras suara masjid desa.
Kata warga, informasi dari perusahaan bilang well-test akan dilakukan sejak pukul 09.00 WIB, di pagi harinya, sehingga di sore hari warga telah beraktivitas seperti biasa karena situasi dianggap sudah aman. Tapi, perusahaan melakukan uji sumur sekitar pukul 16.00 WIB pada Kamis, 24 Februari 2024. Hingga sekitar pukul 19.00 WIB, warga hirup aroma tak sedap. Aroma tersebut seperti bau telur busuk.
“Bau, sangat bau,” ujar Sumiah, dengan mata berlinang ketika dia mengingat tragedi kelam itu.
Situasi kian mencekam. Di tengah keadaan listrik padam, ratusan warga mendadak keracunan. Hilir mudik kendaraan roda empat keluar masuk desa mengevakuasi korban. Sementara itu, tidak ada data pasti berapa jumlah korban atas kejadian ini.
Kepala Kepolisian Resor (Kapolres) Mandailing Natal, AKBP Arie Sofandi Paloh, diwartakan oleh media daring kompas.id (23/02/2024), mengatakan jika korban ada 101 Jiwa. 46 korban dirawat di RSUD Penyabungan, sementara 55 Korban lain di Rumah Sakit Permata Madina, termasuk Sumiah.
Setelah kejadian, isu jika telah terjadi kebocoran pipa gas pun menyerbak. Pada 24 dan 25 Februari, PT SMGP lakukan reka ulang aktivasi sumur bersama Tim Terpadu yang terdiri dari Polres Mandailing Natal, Tim Gegana KBR (Kimia, Biologi, Radioaktif) dan Tim Laboratorium Forensik Polda Sumatera Utara, serta Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE). Koordinasi tim langsung dipegang oleh Kapolres Mandailing Natal.
Petaka Berkala, Perusahaan Berkilah
Senin, 26 Februari 2024, terbit siaran pers yang memuat hasil reka ulang. Melalui siaran itu, perusahaan berkilah jika keracunan massal kesalahan mereka. Katanya, proses aktivasi sumur sudah sesuai prosedur.
“PT SMGP menegaskan bahwa tidak ada kebocoran gas di jalur pipa milik PT SMGP, karena sumur V-01 saat ini masih dalam tahap aktivasi sumur dan belum terhubung dengan jalur pipa.”
Walhasil, tidak ada tersangka yang ditetapkan. PT SMGP lagi-lagi berhasil lari dari tanggung jawab sebab bukan pertama kali PT SMGP berkilah.
Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) mencatat, kejadian di Februari 2024 merupakan tragedi kesembilan kalinya terkait pembangunan dan operasi PLTP Sorik Marapi. Sejak tahun 2015 ragam kasus terjadi, mulai dari konflik horizontal (pro-kontra) antar masyarakat, semburan lumpur panas, hingga yang paling sering terjadi; keracunan massal diduga akibat hidrogen sulfida atau gas H2S. Dan selalu perusahaan berhasil lolos dari jerat hukum pasca tiap tragedinya.
Pasca konflik horizontal antar masyarakat akibat adanya keraguan pada kegiatan eksplorasi-eksploitasi panas bumi, pada Senin 6 April 2015, dilakukan rapat bersama. Rapat ini dihadiri Muspida Kabupaten Mandailing Natal, perwakilan DPRD, Camat Puncak Sorik Marapi, Camat Lembah Sorik Marapi, Camat Panyabungan Selatan, perwakilan masyarakat, serta perwakilan PT SMGP.
Rapat menghasilkan surat pernyataan perusahaan dengan isi utama menguatkan masyarakat jika PLTP Sorik Marapi aman, serta akan membawa ‘berkah’ bagi masyarakat. Perusahaan juga berjanji akan menyerap tenaga kerja lokal. “PT SMGP akan mengembangkan dan menggunakan potensi masyarakat terkait tenaga kerja, layanan barang dan jasa sesuai spesifikasi dan keterampilan yang dibutuhkan.”
Berkah yang dijanjikan menjelma jadi mudarat. Ragam tragedi kemudian timbul seiring operasional PLTP berlangsung. Kejadian yang paling traumatis bagi warga terjadi pada Senin, 25 Januari 2021, di mana ada kebocoran gas, 5 orang warga tewas. Tiga di antaranya adalah seorang ibu, serta dua anak perempuannya yang berusia 5 dan 3 tahun.
Berdasarkan hasil dokumen Berita Acara Kesepakatan Bersama dari musyawarah warga tanggal 5 Februari 2021, disebutkan jika perusahaan bersedia memberikan ‘tali asih’ pada keluarga korban. Penggunaan diksi ‘tali asih’ ketimbang ‘kompensasi’ sangat unik. Seolah perusahaan menegasikan diri jika kematian para korban karena kelalaian kerja mereka.
Padahal, hasil investigasi Kementerian ESDM melalui para inspektur panas bumi, yang dirilis Direktorat Jenderal EBTKE, 3 Februari 2021, menyatakan kejadian ini karena perencanaan yang tidak matang. Ditemukan juga fakta pelanggaran terhadap prosedur yang telah ditetapkan, instalasi penunjang yang belum lengkap, lemahnya koordinasi antar tim pelaksana kegiatan, kurangnya sosialisasi ke masyarakat, hingga kompetensi personel pelaksana yang tidak memadai.
Nominal tali asih yakni Rp 175 jt untuk masing-masing korban jiwa. Selain itu perusahaan siap memberi fasilitas lain, seperti; BPJS Kesehatan untuk ahli waris, bersedia mempekerjakan ahli waris atau orang tua ahli waris, menanggung biaya kenduri/sedekah, serta menanggung beasiswa pendidikan bagi anak ahli waris hingga S-1.
Pada tragedi keracunan massal 6 Maret 2022, Sumiah juga jadi korban. Kala itu, dia pernah kirim surat untuk minta respons yang jelas serta pertanggung jawaban ke PT SMGP. Sumiah lampirkan Resume Pasien Pulang Rawat Inap dari RSUD Panyabungan. Diagnosa utama dari resume Sumiah, dia terjangkit “intoksikasi”. Meski pada akhirnya surat Sumiah tak disahut.
Intoksikasi atau keracunan akibat hidrogen sulfida punya beberapa gejala klinis, di antaranya: gangguan saluran pernapasan, iritasi mata, gangguan saraf pusat (sakit kepala dan kelelahan), serta gangguan saluran pencernaan yang menyebabkan mual dan muntah. Gejala klinis ini sesuai dengan apa yang dialami para korban keracunan massal di Sorik Marapi.
Hidrogen sulfida sebagai unsur utama cairan panas bumi sekaligus racun lingkungan sangat berbahaya bagi kesehatan masyarakat. Dampak H2S harus jadi perhatian lebih pada eksplorasi-eksploitasi panas bumi. Bukan diabaikan, dibiarkan tragedi terulang.
H2S bersifat korosif terhadap logam. Masyarakat Sibanggor Julu juga pernah mengeluhkan percepatan pengkaratan seng, yang digunakan sebagai atap rumah, kepada PT SMGP. Namun perusahaan menyatakan jika aktivitas mereka tidak berkaitan dengan fenomena korosif. “Alasan orang itu, selalu kadar yang dikeluarkan itu masih bisa ditoleransi,” ungkap Samsul (nama samaran).
Samsul menuturkan, sifat perusahaan yang kerap kasih ‘tali asih’ juga dinilai sukses buat masyarakat urung bergejolak lebih, meski sebenarnya mayoritas kontra terhadap perusahaan. Sekali ada yang menentang dengan gamblang, rentan disebut provokator.
Terlihat eskalasi gejolak masyarakat mulai turun sejak pengembangan awal geotermal (di tahun 2015, yang sempat timbul konflik vertikal), hingga sekarang. Samsul sendiri beberapa kali dipanggil aparat kepolisian, dia dinilai sebagai provokator dan menghambat kerja-kerja perusahaan.
Wahana Lingkungan Hidup Eksekutif Daerah Sumatera Utara (WALHI Sumut) melakukan investigasi lapangan, guna mengusut fakta sebenarnya terkait tragedi di Februari 2024. WALHI Sumut menyatakan jika reka ulang tidak sesuai prosedur.
“Hasil temuan investigasi menunjukkan jika terdapat ketidakselarasan informasi antara yang dimuat dalam siaran pers PT SMGP ataupun pernyataan para pejabat publik dan penegak hukum di beberapa media terkait kasus ini”, ujar Direktur Eksekutif WALHI Sumut, Rianda Purba, Kamis (7/3/2024).
Terdapat fakta-fakta yang kontradiktif antara yang disampaikan perusahaan dengan temuan WALHI Sumut. Di antaranya, prosedur mitigasi risiko tidak berjalan dengan baik seperti alat pendeteksi gas H2S tidak berfungsi. Hal ini juga dikonfirmasi oleh salah seorang warga. “Enggak ada lagi fungsinya. Mau sebau apa pun itu enggak akan bunyi itu.”
WALHI Sumut juga menilai, meski tidak ada kebocoran pipa, tapi tetap saja uji sumur masih mungkin menyemburkan gas H2S. Jarak antara Well-Pad V dengan pemukiman yang berkisar 700 m, ternyata juga punya perbedaan ketinggian jarak antar titik. Well-Pad V berada di ketinggian 1.137 mdpl, sedangkan pemukiman di 951 mdpl. Berat jenis H2S yang lebih berat dari udara dan condong untuk berkumpul di dataran lebih rendah, berpotensi kuat merambat ke kawasan pemukiman, hingga menelan korban.
Salah seorang pegawai Rumah Sakit Madina, yang turut menampung puluhan korban keracunan massal di Februari 2024, mengatakan jika mayoritas korban ialah perempuan. Ada juga korban anak. Seluruh biaya rumah sakit ditanggung perusahaan. “Satu orang itu… Rp 1.729.000. Terus ada lagi pasien anak, Rp 1.234.000,” katanya.
Ragam sanggah yang dilontarkan PT SMGP kala tiap kali terjerat kasus menimbulkan pertanyaan mendasar, mengapa?
Sementara masyarakat hanya dicekoki pelipur lara berupa tali asih, janji manis, tuduhan provokator, ditanggungnya pengobatan, atau hasil riset ilmiah serta rilis internal perusahaan yang buat masyarakat tak berkutik—sebagai bentuk relasi wacana dan kuasa. Di sisi lain, tak pernah ada tersangka ditetapkan.
Di Balik Geotermal Maut
PLTP Sorik Marapi berkapasitas 240 MW. Geotermal ini disebut jadi yang tercepat pembangunannya di Indonesia.
Mayoritas saham PT SMGP dimiliki oleh KS Orka Renewables Pte Ltd (95%), sementara sisanya dipegang PT Supraco Indonesia (5%). KS Orka bermarkas di Singapura, merupakan hasil joint venture antara Zhejiang Kaishan Compressor (China) sebagai empunya saham mayoritas, dan sisanya dipegang Hugar Orka (Islandia).
KS Orka punya 95% saham PT SMGP setelah proses akuisisi pada 2016, senilai US$ 30 juta (sekitar Rp 416 milyar, ikut kurs rupiah saat itu), dari PT OTP Geotermal Services Indonesia, sebuah perusahaan joint venture antara Origin Energy Geotermal Pte Ltd (anak perusahaan Origin Energy yang berbasis di Australia) dengan Tata Power International Pte Ltd (India). Sempat dikabarkan jika pengembangan proyek PLTP Sorik Marapi mulanya dipimpin PT Medco Power Indonesia, meski akhirnya OTP Geotermal yang mengeksekusi proyek awal.
Selain di Sorik Marapi, KS Orka juga punya catatan kelam lain. Anak usahanya di Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur, PT Sokoria Geotermal Indonesia yang kelola PLTP Sokoria, telah mencemari mata air penduduk sekitar. Media daring lokal, floresa.co, juga menyebutkan PLTP Sokoria diduga berdampak pada rusaknya tanaman pertanian. Dugaan merujuk pada keadaan desa serta pertanian antara sebelum dengan sesudah beroperasinya geotermal.
PLTP Sorik Marapi, dalam tesis Lubis (2023) dari Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, disebut menggunakan teknologi canggih. Teknologi ini bernama Kaishan Organic Rankine Cycle (ORC) dan expander dengan binary cycle power plant. Diklaim dapat mengonversi listrik 2,2 kali daripada konvensional. Jadi lebih hemat, katanya.
Efisiensi produksi juga diklaim perusahaan dilakukan dengan cara menjaga hubungan baik terhadap masyarakat. “Perusahaan juga terus menjaga hubungan yang baik dengan masyarakat sekitar lingkar perusahaan dan para pemangku kepentingan dan juga para organisasi pemuda demi tercapainya pembangunan energi listrik,” tulis Lubis (2023).
Klaim “menjaga hubungan baik dengan masyarakat” nyatanya hanya omon-omon belaka. Teknologi canggih yang disebut pun bukan jaminan aman bagi masyarakat.
Penelitian skripsi yang dilakukan oleh Arrazie (2022) dari Universitas Gajah Mada dengan tajuk “‘Senang hari ini, menangis kemudian hari’: Studi Awal Mengenai Dampak Pembangunan dan Operasi Geotermal di Sibanggor Julu” mengungkap beberapa fakta. Katanya, jalan awal PT SMGP masuk ke Sibanggor Julu dengan proses transaksi jual-beli lahan dan tawaran kerja kepada masyarakat.
Tidak adanya konsep tanah adat maupun komunal di Sibanggor Julu buat masyarakat makin mudah melepas tanahnya ke perusahaan. “Seluruh tanah yang ada di Sibanggor Julu dimiliki oleh keluarga. Dengan demikian, tidak ada warga yang tidak memiliki atau tidak punya akses terhadap tanah (landless), tulis Arrazie (2022).
Alih profesi petani Sibanggor Julu menjadi buruh perusahaan, kata Arrazie (2022), buat mereka masuk dalam relasi upah. Hal ini terlihat dari lunturnya praktek marsialapari—tradisi masyarakat Mandailing berupa kegiatan tolong-menolong secara sukarela.
Para tenaga kerja lokal dipakai sebagai buruh kasar, seperti buruh angkut pipa gas. Ketika proyek di suatu Well-Pad usai, mereka diberhentikan.
Rizki (nama samaran) menuturkan jika kini masyarakat pun harus membayar fee pada calo untuk bekerja di perusahaan. “Lagi pula masuk ke itu main uangnya itu, jadi satpam itu 30jt. Banyak agennya itu” tutur Rizki.
Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) PT SMGP meliputi kawasan Sorik Marapi-Roburan (Panyabungan Selatan)-Sampuraga (Sirambas, Panyabungan Selatan). Rizki yang juga salah seorang warga Panyabungan Selatan, pernah terlibat survei awal potensi panas bumi PT SMGP, mengatakan jika Panyabungan Selatan jadi tujuan utama eksplorasi saat itu.
“Awalnya di selatan perusahaan ini, di Roburan. Titiknya paling banyak di selatan itu, di kampung kita aja ada 18 titik di Pagaran Gala Gala.”
Kawasan eksplorasi-eksploitasi panas bumi pun bergeser ke wilayah Puncak Sorik Marapi. Rizki menilai efisiensi biaya, aksesibilitas, dan perlawanan masyarakat yang kurang jika dibandingkan Panyabungan Selatan jadi sebabnya.
Total luas konsesi WKP PT SMGP yakni 62.900 ha, meliputi 10 kecamatan dan 138 desa di Mandailing Natal. Sebagian WKP tampak tumpang tindih dengan perusahaan tambang emas, PT Sorikmas Mining. Konsesinya juga bersentuhan dengan area hutan lindung penyangga Taman Nasional Batang Gadis (TNBG).
Konsesi WKP PT SMGP lebih luas dari daratan Daerah Khusus Jakarta (66.150 ha). Tidak menutup kemungkinan eksplorasi-eksploitasi panas bumi dilakukan di wilayah lain, selain Kecamatan Puncak Sorik Marapi. Rizki menuturkan, beberapa desa di Panyabungan Selatan mulai dilirik kembali untuk dieksplorasi.
Kemungkinan perluasan wilayah eksplorasi-eksploitasi di kecamatan atau desa lain oleh PT SMGP, turut membawa potensi mudaratnya. Kegilaan di Sorik Marapi pun akan bisa jadi dirasakan warga kecamatan lain.
Noktah Hitam Transisi Energi
Senin pagi, 20 Oktober 2014, Gedung MPR/DPR disesaki para anggota dewan dan tamu undangan. Sekitar pukul 10.12 WIB, seorang pria membacakan sumpah dan janjinya sebagai Presiden Republik Indonesia. Dia Joko Widodo. Karier politiknya melesat cepat sejak menjabat Wali Kota Surakarta, Gubernur DKI Jakarta, hingga akhirnya dia bisa jadi presiden ke-7 Indonesia.
Belum genap sebulan menjabat, rezim Jokowi (begitu ia kerap disebut) melalui Menteri ESDM saat itu, Sudirman Said, menetapkan Peraturan Menteri (Permen) ESDM No.32 Tahun 2014. Permen ini membahas tentang percepatan proyek-proyek pembangunan pembangkit listrik dan transmisi. Dalam lampiran Permen tersebut, terdapat daftar proyek-proyek pembangkit tenaga listrik, baik itu menggunakan energi terbarukan, batu bara, maupun gas.
PLTP mendominasi daftar proyek. Dengan rincian, 16 proyek dilaksanakan oleh PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) dengan 5 di antaranya merupakan PLTP, serta 58 proyek yang bekerja sama dengan swasta dengan 46 di antaranya PLTP. Salah satunya PLTP Sorik Marapi.
Gencarnya proyek PLTP tak lepas dari ambisi pemerintah untuk mengurangi emisi karbon. Sebab, selama ini Indonesia masih mengandalkan bahan bakar fosil sebagai sumber energi, utamanya batu bara. Di sisi lain, sumber energi panas bumi begitu melimpah mengingat Indonesia banyak dilintasi jalur gunung api aktif.
Pada November 2022, Indonesia menawarkan Bali Compact dalam forum G20 di Bali. Dokumen ini berisi 9 poin kesepakatan yang disepakati 20 negara anggota G20, guna mendukung transisi energi dunia. Salah satu poinnya menyinggung Net Zero Emission (NZE).
NZE atau emisi nol karbon yaitu kondisi seimbang antara kondisi di mana karbon yang dilepaskan ke atmosfer tidak lebih dari emisi yang mampu diserap bumi. Indonesia sendiri menargetkan ini bisa sukses di tahun 2060.
Sebuah mimpi yang utopis untuk NZE 2060, jika kita lihat proses transisi energi kini masih diselimuti banyak masalah. Panas bumi sebagai andalan transisi energi, dalam kasus PLTP Sorik Marapi, sudah bisa kita lihat titik hitamnya.
Panas bumi masuk kategori energi terbarukan. Saat ini juga dikenal dengan istilah energi baru dan energi terbarukan (EBET), istilah yang kemudian dipakai pemerintah dalam dokumen terbarunya, Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET). Sebuah RUU yang juga kontroversial, disebut dapat picu liberalisasi pengelolaan listrik.
Noktah hitam transisi energi di jalur panas bumi juga dapat kita lihat pada pengembangan dan operasi beberapa PLTP lain di Indonesia. Faktanya tak hanya masyarakat sekitar PLTP Sorik Marapi saja yang seolah jadi ‘tumbal’ proyek geotermal. Terdapat PLTP lain dengan kasus mirip/serupa.
Mayoritas masalah operasi dan pengembangan geotermal bercorak sama. Pada tahap eksplorasi awal, resistensi warga begitu kuat. Sebagian besar dilandasi eratnya emosi mereka dengan tanah kelahiran atau lahan pertanian yang jadi sumber penghidupan. Adapun pro-kontra yang timbul di kalangan masyarakat, jadi ihwal konflik horizontal.
Dalam tahap eksplorasi lanjutan dan eksploitasi, warga mulai rasakan dampak negatif. Persoalan kesehatan akibat paparan gas H2S, rusaknya pertanian, atau percepatan pengkaratan seng yang kerap jadi atap rumah warga, jadi yang sering dialami. Belum lagi beberapa kasus kematian.
Terbaru, pada 5 Maret 2024, CELIOS berkolaborasi dengan WALHI telah merilis hasil penelitian terkait dampak geotermal, dokumen ini bertajuk “Geotermal di Indonesia”. Kesimpulannya, terdapat 3 kategori dampak geotermal di Indonesia; dampak lingkungan, dampak sosio-budaya, dan dampak ekonomi.
“PLTP merupakan satu dari sekian pembangkit energi yang kerap dianggap sebagai solusi atas kebutuhan energi yang bersih dan berkelanjutan. Akan tetapi, studi kami justru menunjukkan sebaliknya. Proyek PLTP di berbagai negara, termasuk Indonesia, pada nyatanya lebih banyak menimbulkan dampak negatif dari aspek sosial, ekonomi hingga ekologi. Fakta ini yang kerap dinafikan, termasuk oleh pemerintah Indonesia, BUMN dan lembaga keuangan,” mengutip CELIOS & WALHI (2024).
Secercah Harap
Kamis, 21 Maret 2024, WALHI Sumut gelar diskusi bersama terkait konflik sumber daya alam-agraria di kantornya, Medan. Pemantik utama diskusi Saurlin Siagian, Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Republik Indonesia. Dalam kesempatan ini juga WALHI Sumut langsung kasih hasil investigasi dan surat pengaduan ke Komnas HAM.
Aduan WALHI Sumut dan permohonan untuk turun tangan Komnas HAM disambut. Selasa, 26 Maret 2024, perwakilan Komnas HAM datang ke Sibanggor Julu, sebagai desa yang paling kena dampak PLTP Sorik Marapi.
Warga berkumpul. Komnas HAM mulai bertanya tentang kronologi kasus keracunan massal. Satu persatu, bergilir, warga mulai diminta keterangan.
“Kepala saya mau pecah. Saya sudah pingsan, terus dibawa ke rumah sakit. Diinfus sampai 5 botol. Trauma lah,” ujar D (inisial nama), salah seorang warga yang turut jadi korban.
“Enggak ada itu (tempat evakuasi). Sosialisasi konkret kepada masyarakat juga enggak ada,” ungkap salah seorang warga.
Keluhan seluruh korban yang hadir pun dicatat oleh perwakilan Komnas HAM. Sebelumnya, perwakilan Komnas HAM juga sudah sambangi Kantor Bupati dan Polres Mandailing Natal untuk minta keterangan terkait kasus serupa.
“Kami rencana akan memanggil (Kementerian) ESDM, KLHK, dan Dirjen Gakum. Termasuk PT SMGP (itu sendiri),” kata Uli, salah satu perwakilan Komnas HAM.
Seluruh data dan temuan lapangan Komnas HAM, katanya, akan jadi bahan untuk rekomendasi yang diberikan kepada pihak-pihak terlibat. Masyarakat sangat berharap akan hal ini. Sebab selama ini, berulang tragedi terjadi, belum ada solusi pasti.
Harap pun dilontarkan Sumiah. Meski dua kali ia alami tragedi serupa yang buat dirinya trauma berat, namun Sumiah belum ada rencana pindah dari desa. Padahal dia punya rumah lain di luar Sibanggor Julu. Rumah yang jauh lebih aman.
“Harapannya ya itu, persoalan dampak kesehatan teratasi,” ucap Sumiah.
“Tapi kalo enggak teratasi, ya gimana lagi (harus pindah, keluar dari desa),” tutupnya.