BOPM Wacana

Dalam Politik, Tua dan Muda Sama Saja

Dark Mode | Moda Gelap
Sumber Istimewa

 

Oleh: Surya Dua Artha Simanjuntak

Judul Boys State
Sutradara Amanda McBaine dan Jesse Moss
Pemeran Rene Otero, Steven Garza, Ben Feinstein, Robert MacDougall, Eddy PC
Penulis Skenario
Rilis 14 Agustus 2020
Tersedia di AppleTV+
Durasi 109 menit
Genre Dokumentasi

Memperbaiki sistem dari dalam cuma omong kosong belaka.

Belum lama ini, jagat dunia maya sempat dipenuhi dengan perbincangan mengenai Giring Ganesha yang berniat mencalon diri sebagai presiden pada 2024 mendatang. Dalam unggahan IGTV-nya, ia memberikan alasan mengapa ia berniat mencalonkan diri: ia merasa generasi muda harus terlibat dalam politik.

Alasan yang sedikit klise memang. Namun, sepertinya generasi muda memang sudah tak percaya dengan para politikus yang saat ini banyak diisi generasi tua. Belum lama ini, Good News From Indonesia bekerjasama dengan DataMixr dan Fieldwork Indonesia merilis Indeks Optimisme Generasi Muda Indonesia 2020. Dalam survei itu, salah satu yang disoroti adalah bidang politik dan hukum. Hasilnya, tingkat kepercayaan anak muda dalam urusan politik dan hukum hanya mencapai net indeks 21 persen. Sangat rendah!

Sepertinya Giring melihat hal itu. Dan, ia berharap pada 2024 nanti, anak muda dapat memercayai dirinya sebagai perwakilan generasi muda. Namun, tentu saja, politik bukan hanya urusan perwakilan generasi. Dalam politik, masyarakat dipisahkan oleh banyak perwakilan kelompok: ideologi, identitas, moral, dan segala tetek bengeknya.

Jadi, yang perlu dipertanyakan: apakah Giring hanya mengandalkan label ‘generasi muda’-nya namun tetap memakai pendekatan konservatif yang sama dengan generasi tua untuk meraih suara? Atau tampil dengan ide progresif baru yang benar-benar mewakili generasi muda?

Dua pertanyaan itu secara spekulatif mungkin sudah terjawab dalam film dokumenter Boys State.

Tentu saja, Boys State bukan film tentang Giring dan rencana pencalonan dirinya. Boys State adalah film dokumenter yang menceritakan kisah 1.100 siswa SMA asal Texas yang mengikuti program pelatihan kepemimpinan dan pembelajaran demokrasi. Dalam program tersebut, mereka diminta membuat pemerintahan sendiri.

Awalnya, mereka dibagi menjadi dua kelompok: Partai Nasionalis dan Partai Federalis. Kemudian, mereka diminta mencalonkan diri untuk posisi ketua partai, DPR, jaksa, dan lain sebagainya, dengan gubernur sebagai posisi paling tinggi. Dalam film sendiri, yang disorot ialah proses pencalonan dan pemilihan ketua partai dan gubernur.

Di sini penonton akan bertemu kelima protagonis dalam film: Ketua Partai Nasionalis Rene Otero, Ketua Partai Federalis Ben Feinstein, Calon Gubernur dari Partai Nasionalis Steven Garza, Anggota Partai Nasionalis Robert MacDougall, dan Calon Gubernur dari Partai Federalis Eddy PC.

Sepanjang film, penonton akan disuguhkan pertarungan politik antarcalon-calon ketua partai, antarcalon-calon gubernur, serta antarpartai. Konflik internal partai juga menjadi sajian drama yang tak kalah menarik. Dan, yang perlu diingat, mereka semua adalah remaja berusia 16-17 tahun.

Cerita semakin menarik ketika sampai pada perdebatan yang cukup sensitif (dalam konteks perpolitikan Amerika Serikat), yaitu masalah kontrol senjata. Ya, masalah kontrol senjata memang sudah menjadi perdebatan panjang dalam perpolitikan Amerika Serikat. Dalam hal ini, terdapat dua kubu yang saling beradu: kubu prosenjata dan kubu antisenjata.

 

Sumber Istimewa

 

Menariknya, ternyata mayoritas peserta adalah remaja yang cenderung konservatif, sehingga pandangan politik mereka lebih mengarah ke prosenjata. Uniknya, Rene yang cenderung antisenjata berhasil meraih posisi ketua Partai Nasionalis lewat pidatonya yang ciamik. Akibatnya, konflik internal sempat bergejolak dalam Partai Nasionalis.

Keunikan berlanjut ketika Garza berhasil menjadi calon gubernur dari Partai Nasional, yang ternyata juga merupakan seorang yang antisenjata. Sama dengan Rene, Garza berhasil meraih posisi itu lewat pidato yang menggugah hati anggota-anggota Partai Nasionalis.

Keunikan dan masalah yang terjadi di Partai Nasionalis ternyata tak muncul dalam Partai Federalis. Ketua Partai Ben dan Calon Gubernur Eddy adalah dua orang konservatif yang prosenjata.

Akhirnya—ketika sampai pada pemilihan gubernur, isu yang menjadi perdebatan tentu masalah kontrol senjata. Garza dari Partai Nasionalis, walau seorang yang antisenjata, mencoba pendekatan yang lebih halus yaitu ingin pemeriksaan latar belakang sebelum orang dapat memiliki senjata. Sedangkan Eddy dari Partai Federalis ingin kebebasan yang sebebas-bebasnya untuk kepemilikan senjata.

Hasilnya, tak mengherankan, Eddy dari Partai Federalis berhasil meraih suara terbanyak dan terpilih menjadi gubernur. Akhir yang gembira untuk si konservatif dan akhir yang suram untuk si progresif.

Dari Boys State, kita dapat menarik kesimpulan: mau tua atau muda, kalau dalam urusan politik, pragmatisme selalu jadi andalan. Dalam kata lain: sebagai politikus, kamu harus mau menanggalkan semua idealisme maupun ideologimu, dan mengikuti arus mayoritas untuk menjadi pemenang. Karena, memang itu esensi dari demokrasi.

Kembali dalam konteks pencalonan diri Giring—jika ia ingin meraih suara mayoritas pada 2024 mendatang, kemungkinan besar ia akan tetap memakai pendekatan konservatif layaknya generasi tua, mengingat mayoritas masyarakat Indonesia saat ini masih cenderung konservatif. Artinya, label ‘generasi muda’ yang akan ia besar-besarkan tak berarti apa-apa, terutama untuk anak muda progresif yang benar-benar ingin perubahan pada spektrum perpolitikan Indonesia.

Di sisi lain, eksperimen Boys State ini mengingatkan kita kembali pada inti konsep hegemoni politik ala Antonio Gramsci: hegemoni harus diraih dari bawah, bukan dari atas. Artinya, jika kaum progresif ingin meraih kepemimpinan dalam masyarakat yang konservatif, caranya bukan melalui jabatan suprastruktur seperti presiden, gubernur, dan sebagainya, melainkan melalui kerja intelektual.

Kerja intelektual yang dimaksud adalah revolusi intelektual dan moral. Tugas kaum progresif adalah menciptakan hegemoni baru, yaitu dengan mengubah kesadaran, pola pikir, pemahaman, konsepsi, serta norma perilaku masyarakat ke arah yang lebih progresif. Ini yang dimaksud revolusi intelektual dan moral.

Jika masyarakat konservatif sudah berjalan ke arah progresif—dalam artian hegemoni baru telah tercipta, maka dengan sendirinya demokrasi akan bekerja: kaum progesif akan meraih kepemimpinan politik.

Akhirnya, segala pembahasan di atas mengingatkan saya pada kutipan yang pernah saya lihat di Instagram: “Memperbaiki sistem dari dalam cuma omong kosong belaka.”

Komentar Facebook Anda

Surya Dua Artha Simanjuntak

Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP USU Stambuk 2017.

Pentingnya Mempersiapkan CV Bagi Mahasiswa | Podcast Wacana #Eps4