BOPM Wacana

Don’t Judge A Book By Its Cover, Genk!

Dark Mode | Moda Gelap

Oleh: Amanda Hidayat

Ilustrasi: Arman Maulana
Ilustrasi: Arman Maulana

Foto MandaPernah baca dongeng 1001 kisah? Atau, buku arti 1001 mimpi? Tahu tebalnya berapa? Paling seratus halaman. Itu sudah paling banyak. Dan aku tak pernah selesai membacanya. Sebab hanya satu aliran buku yang kusuka.

Semalam, iya semalam, aku iseng-iseng buka buku yang ada di atas meja rumah kawanku, tebalnya kira-kira setengah jengkal orang dewasa. Aku bukannya bosan dengan suasana rumah kawanku yang sepi karena hanya ada ruang tamu persegi dan tak ada ruang lain, kecuali satu kamar mandi dan satu kamar tidur. Rumahnya gelap, bukan karena lampunya yang mati, tapi catnya. Mulai dari mega-mega rumah, dinding, lantai dan semua perabotannya warna hitam. Yang tinggal dirumah ini cuma sendiri, namanya Marcus, kawan karib dari masih pipis di celana.

Kembali lagi, aku bukannya bosan dengan suasana rumah ini. Aku hanya tertarik membuka bukunya. Sampulnyalah yang membuat aku tertarik. Cewek bohai yang aduhai, bersinglet ungu, yang mencetak jelas lekuk tubuhnya, rambut sebahu dan berpose syahdu. Itu yang membuatku membuka buku itu. Harapanku itu buku, ceritanya yang gitu-gitu.

Aku sengaja tak baca pengantarnya, sebab aku inginkan ekspektasiku tercapai. Eh, baru membalik halaman buku itu dua kali, Marcus datang. Kuurungkan niat membacanya. Padahal sudah tak sabar ingin membaca. “Sialan Marcus, bangke–lah,” gerutuku samar.

“Oi, bangke, ngomong apa kau barusan?” tanya Paidi bergurau. Rupanya Marcus mendengar gerutuku.

“Enggak, lama kali kau pula di WC itu, ngapainnya kau,” elakku balik bertanya.

“Sukakulah, mau fap fap, mau fip fip…,” gantung omongan Marcus.

“Oi, setan-setan, jadinya kita pergi?” suara Paidi dari luar rumah mengagetkan.

“Masuklah dulu, genk! Udah kayak uak-uak minta kredit kau,” ajak Marcus.

“Di luar aja kau, tak usah kau masuk-masuk,” sambungku bergurau.

Tak lama Paidi masuk. Dia pakai topi kuning bertuliskan “I LOVE AMAK DEN. Paidi adalah satu-satunya yang bukan suku Batak dari kami. Paidi mulai berkawan dengan kami sejak semester satu lalu, kami satu jurusan dengannya.

Tapi karena dia berteman dengan kami, Paidi jadi terbiasa berbahasa khas orang Batak. Padahal awal kami mulai berteman, dia terkaget-kaget kalau kami lagi ngomong. “Keras sekali suara kalian, seperti mau pecah telinga aku,” jawab Paidi biasanya. Tapi sekarang tidak lagi, mungkin karena sudah terbiasa. Paidi juga yang paling banyak disukai cewek-cewek kalau kami pergi jalan kemana-mana.

Maklum, menurutku dan teman-teman yang lain juga begitu. Awalnya aku juga malas berkawan dengannya. Tetapi karena kata orang-orang, berkawan sama orang ganteng kita juga bakal kecipratan gantengnya, sedikitpun tak apalah.

Pikiranku masih tertuju ke buku diatas meja ini. Mau baca, tapi segan—selama ini aku tak pernah baca buku yang kayak begini. Kalau pun baca buku, itu cuma baca buku beraliran politik. Maklum, aku kuliah di jurusan politik. Nanti ditertawai orang itu pula aku.

“Jadinya kita pergi?” tanya Paidi pada kami.

”Aturannya jadi, Pad. Tapi, kau tengoklah dulu hari ini, sudah kelewat malam kali aku rasa,” jawab Marcus.

“Kau cemana, Ncong?” tanya mereka hampir bersamaan padaku.

“Besok aja-lah, udah malam kali ini,” jawabku, seperti jawaban marcus, tapi lebih singkat, karena masih kepikiran buku tadi. Mau ngomong pun malas, mau baca cepat-cepat. Gambar disampulnya semakin menggodaku saja.

“Ya udah-lah kalau gitu, balik pulang aja-lah aku lagi, lae, maklumlah, artis ini,”  Paidi bercanda, dan berniat balik ke kosnya.

“Ya udah hati-hati kau,” jawabku hampir bersamaan dengan Marcus,.

Paidi berlalu dari hadapan kami. Suara sepeda motornya terdengar perlahan hilang.

Sementara, Marcus beranjak ke kamar. “Tidurlah aku dulu,” katanya. Aku diam tak menanggapi.

Tapi dalam hatiku berkata, “Hehe, cepat-cepatlah kau tidur, biar kusantap buku ini.”

Setelah Marcus tak terlihat, tanganku langsung menyambar buku itu. Bukunya aku masukkan kedalam tas. Baca di rumah akan lebih aman dari pada dirumah Paidi. Takut ketahuan Marcus.

Aku naik angkot ke kos-ku. Karena tak ada penumpang lain di angkot yang aku tumpangi, kukeluarkan buku tadi dari dalam tas. “Wuw, kesempatan,” ucapku agak keras, sehingga sopir melihatku dari spion memantau. Keningnya berkerut.

Merasa tak ada apa-apa, sopir kembali fokus kejalan.

Saat bukunya sudah kukeluarkan, kupandangi lagi gambar sampulnya agak lama. ”Cantik kalilah kau, sayang,” ucapku dalam hati.

Saat membuka bukunya, aku langsung buka pertengahan buku. “Bagaimana caranya agar panjang, besar, bisa enak dan dinikmati semua orang”, subjudul bukunya. Kaget juga aku melihat subjudulnya.

Kontan saja aku baca. Tapi sebelumnya ada ilustrasi. Ilustrasinya sama seperti di sampul, hanya bajunya saja yang diganti, jadi baju hitam, sehingga kontras dengan kulitnya yang putih, dan memegang satu pisang kecil dengan kedua tangannya. Terbelalak juga mataku melihatnya, tambah lagi pose berdirinya dan seperti ingin memakan pisang itu.Lalu aku baca bukunya, sambil melirik-lirik ke ilustrasinya. Isi bukunya: Petunjuk. 1) Kocok terlebih dulu sampai pisangnya cair. 2) Masukkan tepung terigu…

“Aduh makjang, cara bikin molen arabnya ini,” teriakku keras karena kesal.

Tiba-tiba angkot menepi. “Turunlah, kau, jang, dari tadi ribut kali kau aku dengar. Turun kau turun, dari pada aku tunjang nanti,” kata supir angkot lebih kesal.

Aku baru ingat, judul bukunya Ala Chef Faradin.

Komentar Facebook Anda

Redaksi

Badan Otonom Pers Mahasiswa (BOPM) Wacana merupakan pers mahasiswa yang berdiri di luar kampus dan dikelola secara mandiri oleh mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU).

Pentingnya Mempersiapkan CV Bagi Mahasiswa | Podcast Wacana #Eps4