Oleh: Sri Wahyuni Fatmawati P
Ayua bersungut pelan. Kalau dihitung ini sudah ke lima kalinya dia marah-marah tidak jelas hari ini. Entah kenapa mood-nya mudah sekali berubah akhir-akhir ini. Ah bukan, rasanya sejak minggu-minggu kemarin, atau bulan-bulan kemarin? Yang pasti sudah lama. Tepatnya sejak pemberitahuan itu. Dia menjadi mudah sekali marah.
Sedikit saja ada yang tidak mengenakkan hatinya, maka dia akan marah. Baju sekolah yang belum disetrikalah, sepatu yang belum disemirlah, bath up yang tidak terisi air hangatlah. Semuanya akan membuatnya marah. Yang kasihan tentu saja pembantu rumahnya, Yu’Irah, setiap hari harus menelan semua kemarahan Ayua.
Pagi ini dia marah karena melihat Bundanya. Bunda dengan perut besarnya. Dengan muka merengut Ayua memandang Bunda. Bunda yang sedang dipapah Ayah. Kelihatannya Bunda kesusahan sekali membawa beban badannya sendiri. Ayua sebenarnya ingin sekali membantu Bunda tapi rasa kesal menghalangi niat baiknya.
“Ada masalah?” suara Ayah terdengar menyapa Ayua pagi itu.
“Ayah, Ayua udah gede, bisa nggak sih nggak usah kepo-in urusan anaknya gitu,” Ayua menjawab sewot.
Mata Ayah mengerling nakal ke arah Bunda. Bunda tersenyum kecil. Mereka tidak mau lebih lanjut mengusik ketenangan anaknya.
“Oh iya, hari ini Bunda check up kan? Ayah anterin ya,” Ayah bicara pada Bunda. Bunda mengangguk kecil.
“Ayah sudah enggak sabar nunggu kelahiran Bunda, kalau Ayah sih maunya anak laki-laki, biar anak Ayah lengkap,” Ayah mengakhirinya dengan tawa kecil.
“Oh iya Ayua, kalau kamu mau adik apa? Perempuan atau laki-laki?” tanya Ayahnya.
Ayua diam. Ini bukan pembicaraan yang ingin dia dengar.
“Kalau Bunda sih yang mana saja, yang penting kan sehat,” Bunda menimpali. Ayua merengut lagi. Dia benci pembicaraan ini.
“Kalau kamu Yu? Mau yang mana?” Ayah masih bertanya.
“Tidak yang manapun!” suara Ayua memecah keceriaan sarapan pagi itu. Ah, memang sebelumnya suasana sudah tidak bagus.
Seketika Bunda terkesiap mendengarnya.
“Apa-apan kamu ini? Sejak kapan kamu dididik tidak punya tata krama di meja makan? Dan lagi apa-apaan ucapan kamu tadi?” suara Ayahnya terdengar marah.
“Ayua nggak pernah mau punya adik Yah, perempuan atau laki-laki. Ayua udah besar Yah, Ayua malu kalau Ayua masih memiliki adik bayi di umur Ayua ini,” napas Ayua memburu.
“Jaga ucapan kamu Ayua,” suara Ayahnya terdengar lagi.
Ayua sudah tidak mendengar ucapan Ayahnya lagi. Dia sudah pergi. Dia tidak mau memperpanjang lagi pertengkaran ini. Ini sudah terjadi sejak Bunda hamil 8 bulan yang lalu. Selama itu juga Ayua memberontak. Ia tak habis pikir kenapa Ayah Bundanya masih kelihatan senang memiliki bayi lagi di umur mereka yang sudah tidak muda. Ayua bahkan sudah kelas 12. Apa kata teman-temannya nanti kalau Ayua punya adik yang beda umurnya 18 tahun. Apalagi saat adiknya nanti merebut semua kasih sayang Ayah Bundanya. Ayua benci hal itu.
***
Siang itu Ayua tidak ke mana-mana. Rasanya malas. Ayah dan Bunda sedang ke rumah salah seorang kerabat mereka. Sambil tiduran Ayua merenungkan kemungkinan dia memiliki adik. Hal itu akan terjadi kurang lebih sebulan lagi. 18 tahun menjadi anak tunggal, tidak mudah tiba-tiba harus berbagi kasih sayang Ayah dan Bunda dengan makhluk kecil itu nanti. Belum lagi menahan malu dengan teman-temannya. Lebih baik tidak punya saja, harapnya.
Ayua terbangun dari tidurnya. Sepertinya dia ketiduran sewaktu melamun tadi. Dari luar terdengar langkah kaki seperti orang berlari tergesa-gesa. Ada apa sih? Pikirnya.
Suara pintu kamar dibuka. Yu’ Irah masuk dengan wajah cemas.
“Non, Non,” Yu’ Irah memanggil.
“Ada apa?” Ayua mengernyit heran.
“Ibu Non, Ibu . . .,”
“Kenapa Bunda?” Ayua bertanya. Yu’ Irah terlihat ragu mengatakannya.
“Tuan dan Nyonya kecelakaan Non, Nyonya ada di rumah sakit sekarang, kritis. Tuan hanya luka-luka kecil, namun sekarang masih dirawat. Non harus ke sana sekarang Non,” suara lemah Yu’ Irah menjelaskan semuanya.
Ayua terpaku di tempatnya. Ayah, Bunda, kecelakaan? Ayua langsung bergegas, mengambil tas, meminta Yu’ Irah mempersiapkan sedikit pakaian untuk Ayah Bundanya. Kemudian mereka menuju rumah sakit.
Jantung Ayua serasa berpacu dengan waktu. Dia tidak menyangka hal ini akan terjadi. Tuhan selamatkanlah Bunda, juga… , Ayua terdiam. Juga siapa? Adiknya? Bukankah dia tak menginginkannya? Ayua menghela napas. Berusaha mengusir semua yang ada di pikirannya.
Sesampainya di rumah sakit setelah mendapatkan nomor kamar tempat Ayah dan Bundanya dirawat, Ayua langsung berlari. Tidak peduli kakinya terasa sakit, dia hanya ingin segera bertemu dengan Bundanya.
***
Kamar itu bercat hijau. Perlahan Ayua mendorong pintu itu. Sunyi. Bau khas rumah sakit lebih terasa di sini. Di lihatnya Ayah terduduk di kursi samping ranjang. wajah Ayah menunduk, bahunya bergoyang. Sepertinya Ayah sedang menangis? Di atas ranjang dia melihat Bundanya sedang tidur? Ayua mendekati Bundanya. Bundanya tidak bergeming. Tidak bersuara. Tidak bergerak. Tidak bernapas.
“Bunda,” suara Ayua lirih.
“Bunda,” panggilnya lagi.
“Bunda, bangun dong. Ayua datang jenguk Bunda. Ini Ayua, Bunda. Bunda bangun dong. Ayua mau gendong adik Ayua, Bunda,” suara Ayua nyaris tak terdengar karena tertelan suara tangisnya.
Lama Ayua meracau sendiri, berusaha membangunkan Bundanya.
Ayah segera memeluk Ayua. Sedari tadi Ayah tidak ada bersuara. Entah apa yang sedang dipikirkan olehnya. Ayua masih saja menangis. Hatinya dipenuhi penyesalan pada Bundanya. Bundanya yang baik. Bundanya yang penyabar. Bundanya yang ceria. Bundanya yang tidak sabar menantikan kelahiran adiknya. Adiknya? Ayua tersentak. Dia juga kehilangan adiknya. Dua orang anggota keluarganya.
Ayua tidak menyangka harapannya tadi siang benar-benar terkabul. Dia berharap lebih baik adiknya tidak ada saja. Dan sekarang semua terkabul. Sekaligus Bunda. Dia tidak tahu kalau ucapannya tadi benar-benar kejadian. Ayua tidak henti-hentinya merutuki diri sendiri.
“Bundaaaaa,” Ayua menjerit. Berharap dengan itu Bundanya mendengar. Tapi semua sia-sia. Ayua berlari melepaskan diri dari pelukan Ayahnya. Berlari dan berlari. Dia ingin melupakan semua ini.
“Bukk!,” Ayua terjatuh. Seseorang menabraknya.
***
Bukk!
“Aw!” suara Ayua terdengar. Tubuhnya kini tergeletak di lantai. Sepertinya dia baru saja terjatuh. Perlahan Ayua menegakkan badannya. Matanya terasa basah dan lembab. Dari luar terdengar langkah kaki seperti orang berlari tergesa-gesa. Mungkinkah? Pikirnya.
Ayua bergegas membuka pintu kamarnya. Rasanya jantungnya berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya. Bergegas dia membuka pintu kamarnya.
Cklek.
“Kamu enggak sekolah? Ini sudah jam 7 Ayua,” suara lembut terdengar dari depan pintu.
Bunda.
Seketika air mata menyeruak di pelupuk mata Ayua. Ayua memandang Bundanya dengan senyum sumringah.