Oleh: Nurhanifah
Masih pagi, jam menunjukkan pukul lima. Aku ditemani Butet menuju rumah Ayah, tak lupa kami bawa sebotol air. Iya berjalan malu-malu, tampak canggung. Aku mengajaknya bicara, bertanya bagaimana kampung kami yang lalu. Ia tampak semangat, semuanya ia ceritakan. Sekolah dasar yang lalu punya kolam ikan, sudah berubah kini bertingkat satu lengkap dengan air conditioner. Sekolah menengah pertama kami yang dulu libur setiap musim hujan karena banjir, sekarang telah cantik lengkap dengan kolam air mancur dan taman mini. Ah, banyak sekali yang berubah.
Cerita terhenti saat kami tiba di sebuah pusara. Nama Ayah tertulis di nisan, Ucok Parangin-angin. Aku terduduk lemah, air mataku buncah. Mengalir sesukanya, berulang kali aku melarang merapal serapah dalam hati. Aku tidak ingin melanggar janji untuk selalu tersenyum, tak boleh menangis di hadapannya. Tapi, maafkan aku Ayah hari ini aku melanggar janjiku. Mohon izinkan sekali ini saja.
Butet mengelus pundakku, ia seolah tahu betapa sakit hati ini. Ia tahu betapa seisi kampung berpikir bahwa kami sedang berantam. Ribut besar. Seolah Ayah merepet dan mengusirku. Seisi kampung bahkan mengecapku anak durhaka. Bagaimana tidak dua puluh lima tahun tak pulang dengan alasan mengejar kesuksesan saat ayahnya berpulang. Kami memilih diam, tak mengiya dan tak menolak. Mereka tak mengerti.
Hanya kami. Aku dan Ayah yang paham. Ini janji kami, janji seorang pelaut. Janji seorang pria. Ah Ayah, rasanya aku ingin memelukmu untuk bilang janji ini telah terpenuhi. Putramu telah kembali dari pelayarannya di negeri antah-berantah. Ia telah berlabuh membawa harta karun yang berharga. Putramu telah jadi pelayar tangguh di negeri seberang.
Butet mengulurkan yasin. “Kita doakan ayah dulu bang,” ucapnya lirih.
Maka alunan doa kami rapalkan bersama, sesekali suara sengukan terdengar di sela doa. Kami berdua menangis. Kami rindu. Kami ingin kau kembali, memeluk sekali lagi, menegur sekali lagi. Ah, banyak lagi yang tak akan habis jika kami rapalkan. Tapi, seperti katamu—merindulah dalam doa, ikhlaslah dalam kehilangan. Jangan egois karena cinta, sebab datang dan pulang diciptakan berpasangan—maka kami coba menepis ingin di hati. Mencoba hilangkan rindu yang terasa menggebu sesakkan dada.
Tubuhku rebah Ayah, aku lelah sekali. Ingin bersandar sejenak di bahumu. Bercerita dan bercanda bersamamu. Butet memelukku. Ah, adik kecilku sepertinya paham sekali abangnya. Aku mengelus jilbabnya, mengecup keningnya. Maafkan abang tak hadir di sampingmu, mendampingi setiap jejak kehidupanmu. Abang sayang sekali, Dek, tapi kadang semuanya tak bisa kita tunjukkan dalam kata. Segalanya butuh fakta dalam wujud nyata. Perbuatan.
Butet melepaskan pelukannya, mengambil botol air. Ia siramkan di atas pusaramu, kami bergantian hingga air di botol habis.
“Kita pulang, Bang? Nanti Omak mencari,” tanyanya sambil menghapus sisa air mata yang belum mengering.
“Kau duluan saja, abang masih ingin di sini.”
“Abang yakin? Nanti abang lupa jalannya.”
“Abangmu ini masih muda, tak setua yang kau kira. Ingatanku masih kuat,” aku tertawa
“Jangan lama-lama, Bang. Nanti Omak khawatir. Aku duluan ya, mau bantu Ibu memasak.”
Aku mengangguk.
Butet lalu pergi, meninggalkan kami berdua.
Aku mengelus-elus nisanmu. Merapal maaf berulang kali karena tak ada di sampingnya saat ia sakit hingga berpulang. Merapal maaf karena tak sempat menggendongmu ke rumah terakhir. Aku tak sempat menghaturkan tanah ke rumahmu. Aku tak sempat bacakan doa pertama saat ia berpulang. Aku tak sempat menenangkan Omak dan Butet saat kau berpulang. Ah, bagaimana bisa aku dipanggil abang jika semuanya tak sempat ?
***
Omak datang bersama Sekar. Aku melihat mereka dari rumah Ayah. Tapi aku tak ingin beranjak, aku masih ingin bercerita. Jadi kuabaikan kehadiran mereka. Menikmati pertemuan ini, aku tak ingin diganggu. Aku ingin menebus dosa dua puluh lima tahun pergi tanpa sedetik pun kembali. Hanya mengadu saat telepon berdering setiap sebulan sekali.
“Oh Ucok, Omak pikir kau hilang. Sudah lima jam kau tak pulang, untung tak awak lapor polisi,” Ibu menepuk bahuku.
Aku diam, pura-pura tak dengar.
“Cok, pulanglah dulu kau belum makan pagi. Sudah dingin lemang dan rendangnya,”
Aku tetap diam.
Ibu berjalan memutar, menatap mataku.
“Cok, pulanglah sebentar untuk makan, nanti kalau kau mau ke sini lagi silakan,” mata Ibu berkaca-kaca.
Aku menggeleng. Air mataku semakin deras. Ah, aku benci kata pulang. Sungguh sangat membencinya. Dua puluh lima tahun aku mengkhianatinya, mencoba tak memahaminya. Menggantinya dengan kata rindu. Bahwa pulang adalah rindu. Bahwa semua akan selesai setelah rindu tanpa perlu pulang untuk bertemu.
“Maafkan Omak, Nak, maaf. Ini janji Omak dengan Ayah, mengatakan Ayah telah tidur karena lelah setiap kau menelepon.”
Aku menunduk. Aku tak ingin dengar alasannya. Dua puluh tahun aku mencoba mengiyakan kebohongannya. Aku tak ingin dia bersedih. Tapi, tahukah dia luka kehilangan ini sangat menyesakkan?
“Ucok, ayahmu pergi tepat setelah kau diwisuda. Ayahmu tak ingin kau melewati hari itu tanpa toga. Maka Butet diutusnya kesana, mengatakan bahwa biaya kita tak cukup jika ayah dan ibu turut menghadirinya. Dia bahkan ikut melihat pilim yang ditunjukkan Butet lewat hp saat kau berpidato. Dia mendengar betapa kau ingin kami hadir di sana, untuk menunjukkan pejuang yang mengantarkanmu ke sana. Memperlihatkan seisi sekolah pahlawan yang jadi alasan kau meraih lulusan termuda di ibukota. Ayahmu mendengarnya. Ia mendengar ucapan terima kasihmu meski ia tidak hadir,” Ibu menangis terisak. Ia berhasil menahan tangisnya sebelum alasan itu tuntas. Bagaimana bisa aku membuatnya bersedih dan terluka?
Aku memeluknya. Berterima kasih untuk menyimpan alasan itu tiba pada waktunya. Menyimpannya hanya untuk kami. Keluarganya. Ayah, ibu, aku, dan Butet. Seisi kampungku tak ada yang tahu alasan ini, kecuali kami. Ayah minta semua dirahasiakan sampai aku memenuhi janjiku. Dan Ibu berhasil menyimpannya, inilah yang membuatku selalu menyayanginya.
“Nak, pulanglah sebentar untuk makan, sudah sejak pagi perutmu belum terisi. Butet bilang kau bahkan belum minum sejak bangun. Kau langsung mengajaknya ke sini seusai salat subuh, pulanglah hanya untuk makan sebentar,” Omak berbisik dalam pelukan.
Aku melepaskan pelukannya, menggeleng.
Omak berdiri melihat ke belakangku.
“Gar, Pak Lurah sudah menunggu sejak sejam yang lalu. Kau mau urusan kita gagal? Kuhabisi kau nanti kalau urusan kita tidak selesai karena alasan cengeng seperti ini,” Sekar berbisik dari belakang.
Ah, aku tahu dia pasti sudah mempersiapkan ini. Dia paham sekali cuma gadis ini yang bisa meluluhkanku. Ini juga yang jadi alasan kadang aku suka sebal dengannya, dia tahu dan paham segala solusi yang aku sendiri bahkan tak menyadari.
“Ayah, sampai sini dulu pertemuan kita pagi ini. Tenang saja nanti aku pasti kembali untuk bertemu Ayah,” ucapku sampil mengecup nisannya.