Oleh: Dewi Annisa Putri
Sejak kecil, aku tak pernah kenal bapakku. Kau tahu? Bapak nikah lagi dan tidak tinggal bersama kami.
Kami, delapan bersaudara, tinggal bersama Mamak di rumah yang diberikan Bapak. Di depan rumah kami ada kolam ikan yang sama lebarnya dengan lebar rumah. Di dalamnya ada banyak sekali ikan warna hitam. Kalau ikan-ikan itu lapar, mereka bisa makan sisa-sisa nasi saat kami mencuci piring di kolam. Kalau kami lapar dan Mamak sedang tak ada uang, kami bisa makan dengan memancing ikan-ikan itu.
Namun, kolam ikan tak bisa jadi petunjuk untuk menemukan rumah kami jika kau berniat singgah. Sebab rumah-rumah di kampungku umumnya punya kolam ikan di halamannya. Oh ya, rumahku terletak di kecamatan Banuhampu, kabupaten Agam, Sumatera Barat. Tepatnya di nagari Ladang Laweh.
Kalau memang mau bertandang, kau bisa cari rumah yang di sekelilingnya ditanami pohon jambu. Ada jambu bol, jambu merah, jambu air, dan jambu biji. Kalau yang ini, cuma kami yang punya. Jambu-jambu ini dijual Mamak setiap harinya. Silakan petik sendiri jika ingin membeli. Tapi kalau ada yang datang sekadar minta pun biasanya Mamak kasih.
Tadi kukatakan bahwa kami ada delapan bersaudara. Sebenarnya, saudara kandungku hanya ada empat yaitu Uni Salmah, Uni Nilda, Uni Limah, dan Uda Rahman. Kami berlima inilah anak Bapak. Sementara tiga orang lagi itu saudari tiriku. Uni Upik, Uni Hayati, dan Uni Nite, mereka anak dari suami Mamak yang pertama.
Sebenarnya pula, saudara tiriku bukan hanya tiga. Anak Mamak totalnya ada sebelas. Sisanya itu juga anak Mamak dari suami pertamanya. Namun, mereka tak tinggal bersama kami. Dua pasang anak kembar Mamak meninggal beberapa jam setelah lahir, bahkan belum sempat diberi nama. Satu anak lelakinya, Uda Sam, meninggal tercebur ke dalam sawah. Sisanya, Uda Farhan dan Uda Adi, sudah lama merantau ke kota. Setelah kuhitung lagi, ternyata anak Mamak ada dua belas.
Tentang Uda Sam, ia lahir dengan otak kecil. Sehingga saat usianya sebelas tahun, ia masih belum punya akal. Seumur hidupnya, ia hanya bisa mengucapkan satu kata; Amak.
Hari itu, ia merengek minta ikut ke sawah. Mamak tak sampai hati pula meninggalkannya. Di sawah, seperti biasa ia main-main saja menangkap belalang. Maka Mamak membiarkannya. Selesai menanam padi, Mamak lihat dia sudah tertelungkup saja di genangan air sawah. Bahkan untuk bangkit sendiri saat terjatuh pun ia tak mengerti.
Kalau Uda Farhan, setiap hari Lebaran selalu datang ke rumah. Pernah sekali ia bawa banyak emas. Rupanya ia suka mencari kayu sisa-sisa rumah yang kebakaran untuk dijadikan arang guna berjualan sate padang. Sambil mencari kayu, dapatlah ia emas-emas berserakan. Lalu dipunguti dan dikumpulkannya. Kurasa uangnya yang banyak itu karena memunguti emas, bukan lantaran sukses jualan sate.
Sementara Uda Adi, ia sudah bertahun-tahun tak pulang. Terakhir kali di sini, ia bikin onar dengan ngamuk-ngamuk di kampung tanpa sebab jelas. Dia memang sangat galak. Tersinggung sedikit saja, membunuh pun dia mau. Pernah sekali waktu, ia kesal karena ditertawakan anak kecil yang melihatnya buang air di bawah pohon. Dibawanya anak itu ke hutan lalu diceburkannya ke rawa-rawa dan ditinggalkannya begitu saja. Entah bagaimana nasib anak itu. Maka memang lebih baik dia tak usah pulang, orang sekampung ngeri melihatnya.
Kini, kami hanya tinggal bersembilan di rumah. Aku yakin tak lama lagi Uda Rahman juga akan pergi merantau. Artinya, tak ada laki-laki lagi di rumah kami.
Bapak suami kedua Mamak. Sementara Mamak istri pertama Bapak. Istri kedua Bapak juga aku tak kenal. Tapi saudari tiriku tinggal di rumah Bapak yang ada tepat di sebelah rumah kami, dia anak dari istri kedua Bapak.
Dulu, sebelum saudari tiriku membangun rumah di sebelah, tanah itu awalnya adalah sawah Bapak. Lalu sawah itu kuubah jadi kebun. Berminggu-minggu aku membajak, mencangkol, menghaluskan, dan meratakan tanahnya pakai kaki. Jadilah kebunku.
Aku tanam kentang dan terong di situ, lalu kupanen sendiri dan kujual ke pasar. Hasilnya kutabung untuk beli induk ayam.
Setelah beli induk ayam, aku ternakkan. Ayamnya kubiarkan bertelur. Setiap sore telurnya kupanen, awalnya hanya satu butir per hari. Tapi setiap seminggu sekali kujual telur-telur itu, lalu kubelikan ke induk ayam lagi. Saat induk ayamku sudah banyak, maka makin banyak pula telur yang kupanen tiap sore. Kelak uang hasil jual telur-telur itulah yang jadi tabungan untuk biaya kuliahku.
Saat tetanggaku—yang ternyata saudari tiriku—itu bangun rumah di sawahku, aku tak menanam lagi. Untuk gantinya aku beralih jadi pengembala bebek.
Aku sudah duduk di sekolah menengah pertama kala itu. Gara-gara para bebek ini, aku jadi terkenal di sekolah. Ceritanya, aku gembala bebek setiap pukul tiga sore setiap hari. Aku pakai kayu satu, ukurannya panjang. Bebek-bebek itu takut melihat kayuku. Jadi mereka berbaris rapi di jalan, tak ada yang berani lasak ke sana kemari. Selain kayu, biasanya aku bawa buku. Sampai di sawah, bebek kubiarakan bermain, lalu aku membaca sampai pukul lima sore. Jadi, setiap hari aku belajar di sawah. Lantas jadi juara pula di sekolah.
Saat hari bagi rapor, semua murid dikumpulkan di lapangan. Lalu murid juara disuruh guru ke depan. Semua orang jadi tahu siapa anak pintar satu sekolahan. Aku jadi terkenal.
Masa kecilku cukup menyenangkan, kan? Setidaknya aku punya banyak cerita untuk anak-anakku nanti.
Balik ke Bapak, begitulah Bapak. Anaknya banyak di kampung ini. Tersebar di berbagai titik. Meski pekerjaannya hanya penjahit, untunglah Bapak lumayan kaya harta. Ia punya tiga rumah dan beberapa petak sawah di kampung ini. Satu rumah untuk kami, dua lagi untuk istri kedua dan anak-anaknya. Sedangkan sawah dibagi rata.
Wajah Bapak saja aku tak tahu, apalagi suami pertama Mamak. Aku ini anak paling kecil. Jadi, tahuku tak banyak. Apalagi akalku. Saat dewasa, aku baru tahu bapakku yang mana. Jadi aku tak punya kisah yang bisa diceritakan tentang Bapak. Ia tak ada di masa kecilku dan kurasa itu cukup untuk dijadikan alasan mengapa aku harus membencinya. Tapi, tahukah kau? Ternyata Bapak orangnya pendiam, misterius, dan baik hati.
Waktu kecil, hampir setiap hari aku bertemu seorang inyiak—kakek. Perjumpaan kami selalu terjadi di dua tempat saja yaitu di warung dan di labuah—jalan. Ia selalu memberiku uang setiap kali bertemu. Terkadang lima perak, kadang sepuluh perak. Dahulu uang segitu sudah bisa beli lima kerupuk dan lima batang es lilin. Entah kenapa aku sama sekali tak takut pada inyiak meski tak kenal siapa dia. Aku senang karena ia begitu baik padaku. Setelah memberi uang, dia lantas berlalu begitu saja.
Setiap kali Mamak tanyakan siapa yang memberiku uang, aku bingung menjawabnya. “Inyiak di labuah,” itu saja jawabku. Aku baru tahu saat sudah besar, kalau ternyata inyiak adalah Bapak. Ternyata, Bapak ada di masa kecilku. Aku telah kenal Bapak sejak kecil, tapi tak sadar dia adalah bapakku.
Hanya satu kali aku pernah memanggilnya Bapak. Di rumah sakit, saat melihatnya untuk terakhir kalinya. Sebelum Bapak menutup mata untuk selamanya.