Oleh: Alfat Putra Ibrahim
Ini era digital, Bang Do. Tak ada orang yang mau berhentikanmu di tengah jalan untuk memakai jasa becakmu dan menawar harga semurah-murahnya. Kalau pun ada, hanya segelintir. Itu pun tak seberapa, hanya beberapa orang tua yang tidak punya ponsel pintar dan orang kampung yang gagap teknologi.
Semua sudah pakai aplikasi, Bang Do. Orang-orang bisa tentukan rute berpergiannya. Tak perlu menawar ongkos dan tentunya tak perlu menunggu sambil panas-panasan di pinggir jalan untuk becak butut seperti yang kau miliki.
Kaulihat bagaimana orang-orang berjaket hijau itu memarkirkan kendaraannya di bahu jalan sambil mengotak-katik layar ponsel cerdasnya? Mereka langsung menjemput penumpang kala ada pesanan masuk. Tidak seperti kau, harus keliling komplek sepuluh kali dan menunggu di pangkalan berjam-jam untuk satu penumpang yang akan memberimu rezeki hari ini. Penghasilan mereka jauh lebih jelas dibandingkan rezeki dari becak bututmu itu.
Aku sungguh lelah menyampaikan hal ini padamu, Bang Do. Kau selalu acuh pada apa yang kukatakan. Aku sudah menyarankanmu untuk memarkirkan becakmu dan bergabung bersama gerombolan orang berjaket hijau itu. Tapi kau tak mau. Alasanmu begitu tak bisa diterima, Bang Do. Kaubilang tak punya ponsel pintar, kutawarkan ponsel pintarku. Bahkan akan kubelikan bila kau mau. Namun kau menolak. Alasan andalanmu, “Ini becak almarhum bapakku, Dek, aku mau hidup darinya,” ungkapmu. Aku tentu tak sanggup mengungkapkan apa pun lagi, Bang Do.
Sungguh aku tak punya latar belakang lain untuk memperbaiki nasibmu, Bang Do. Kita memang bukan keluarga, juga bukan tetangga. Rumahku jauh dari rumahmu, tapi bukan karena itu semua. Aku melihat ketulusanmu. Kau baik, ramah, dan selalu ceria, Bang Do. Walau kisah hidupmu tak seindah itu.
Aku tau kau punya tiga orang adik yang harus kaubiayai. Belum lagi nenekmu sudah sakit-sakitan dan hanya merekalah yang kau miliki sekarang. Kau kerap membantuku kala aku butuh uang, sementara kau sendiri hanya punya sedikit. Tapi kau tetap membantuku. Kau sangat baik, Bang Do.
Kau tak hanya menolongku. Beberapa hari lalu kudengar kau membantu Pak Roy mengantarkan istrinya bersalin saat mobilnya mogok dan tak ada kendaraan lain yang bisa membantu. Diberi imbalan pun kau tak mau terima. Katamu, “Ini untuk adik yang baru lahir saja, Pak.” Padahal, kau tahu, Bang Do, adikmu belum makan dari kemarin karena kau belum mendapat sewa dari becak butut peninggalan bapakmu itu. Kemarin adik bungsumu meninggal karena memakan bekas nasi di tong sampah di rumah makan sebelah yang terkontaminasi racun tikus, Bang Do.
Pertanyaanku, kenapa kau begitu tulus dan bodoh, Bang Do? Kau tahu kondisimu begitu buruk, tapi tak ada hentinya kebaikanmu mengalir. Aku benar-benar kesal, Bang Do. Kau benar-benar membuat otakku panas memikirkan sikapmu.
Aku mencari cara bagaimana agar aku bisa menolongmu, karena sejauh ini hanya aku yang tertolong olehmu, Bang Do. Kau seperti malaikat. Mungkin agak berlebihan tapi itu benar, Bang Do. Belum pernah kutemui orang yang seluar biasa dirimu.
Hari ini, ingin kubunuh semua orang yang memukulimu tadi pagi, Bang Do. Kau hanya coba mengembalikan ongkos berlebih dari ibu penumpang yang kauantar ke pasar tadi pagi. Tapi ia mengataimu pencuri. Ia mungkin pikun karena faktor usianya.
Yang tak dapat kumaafkan adalah orang-orang yang menghakimimu tanpa tahu apa pun. Kau dipukuli habis-habisan dalam kondisimu yang sakit-sakitan, mencoba mengais rezaki dari Tuhan. Tapi Tuhan memberikan cobaannya lagi dan lagi padamu, Bang Do. Mungkin tak masuk akal bila aku menuntut Tuhan karena sampai saat ini aku pun belum yakin akan keberadaannya.
Kini kulitmu yang hitam mengilap akibat sinar matahari, robek di sana-sini akibat kena pukulan benda tumpul. Gigimu yang putih dan bersih kini telah ompong karena pukulan massa yang menghakimimu tanpa rasa kemanusiaan.
Kondisimu sangat memprihatinkan, Bang Do. Air mataku tak berhenti menetes kala aku mendengar dan menjemputmu. Tapi untung saja polisi membebaskanmu karena tak terbukti bersalah. Tapi aku heran dengan mahkluk Tuhan yang telah menyiksamu tanpa ampun tadi. Tak ada kata maaf yang terlontar dari mulut kaum biadab itu. Hatiku sungguh panas, Bang Do. Ingin rasanya aku menikam perut mereka satu per satu, tapi kausuruh aku sabar. Kau memang tak punya otak, Bang Do. Hatimu jauh lebih kuat dibanding logikamu.
Aku memapahmu ke becak tuamu. Dalam keadaan luka parah dan kesadaranmu yang mulai berkurang. Aku menyalakan motor becakmu tapi sepertinya sedang mogok karena mesinnya rusak. Kini aku hanya berharap kau bisa hidup lebih lama lagi, Bang Do. Sebab kau masih punya keluarga yang sangat menyayangimu dan perlu kaukasihi.
Keadaanmu membuat hatiku semakin gundah, Bang Do. Apa lagi aku tak punya uang sepeser pun. Aku hanya bisa mengantarmu ke rumahmu yang cukup jauh, apa lagi harus mendorong becak bututmu ini. Butuh waktu yang cukup lama memang. Tapi kuharap kau dapat menahan rasa sakitmu itu, Bang Do. Sebentar saja, aku sudah berusaha sekuat tenagaku.
Sesampainya di rumahmu, aku dan nenekmu membersihkan seluruh lukamu. Syukurnya kedua adikmu tak ada di sana, mereka sedang bermain di halaman rumah tetangga sebelah. Sehingga tak terlalu banyak air mata yang menetes di gubukmu ini.
Nenekmu juga sama gilanya denganmu, Bang Do. Ia menyuruhku meredam suara tangisan agar tak mengganggu tetangga sebelah. Kepalaku kini benar-benar sangat panas dibuat keluarga ini. Di kala anggota keluargannya sedang sengsara, bahkan aku disuruh memedulikan kenyamanan tetangga sekitar. Masa bodoh, tapi entah mengapa orang yang suka membangkang sepertiku kini menuruti perkataan seorang renta sepertinya.
Kini aku harus cepat membersihkan tubuh dan mengobati semua lukamu, Bang Do. Setelah selesai kau coba beristirahat sembari aku memperhatikan di sampingmu. Aku mulai bertanya, Bang Do. Di saat tubuhmu terluka parah tadi, di mana orang-orang yang pernah kau tolong, Bang Do? Kenapa masyarakat sekitar tak memedulikanmu?
Aku melihat nenekmu sudah tertidur pulas. Hari sudah menjelang malam, kedua adikmu tak kunjung pulang, Bang Do.
Hari ini benar-benar mendung, wajahmu sungguh muram. Nenek dan kedua adikmu telah tiada. Kini aku yang menjagamu setiap hari. Syukurlah aku punya uang selama dua minggu belakangan ini, sehingga aku bisa memberi makan dan membelikanmu obat, Bang Do.
Entah kenapa dirimu sore itu. Tubuhmu memang sudah cukup kuat untuk beraktivitas sekarang. Kau mengajakku untuk membongkar gerobak becakmu dan memperbaiki mesin motormu. Kau minta aku mengajarkanmu cara memakai ponsel pintar. Tiba-tiba kaubilang ingin bergabung dengan orang berjaket hijau itu. Aku tak tahu mau berkata apa. Langsung saja kubantu memperbaiki motor dan mendaftarkanmu sebagai bagian orang berjaket hijau itu.
Dua bulan berlalu. Hidupmu kini lebih makmur dan kau lebih bahagia, tapi kau tetap baik, Bang Do.