Oleh: Ade Indah Hutasoit
“Tujuan ikut demo apa dek?”
“Gak tahu pak, ikut aja karena disuruh senior”
Sebelum kita masuk ke pembahasan utama, saya akan membawa pembaca untuk mundur terlebih dahulu ke beberapa dekade sebelumnya. Anggap saja anda sedang berdiri di tengah aksi demonstrasi yang dilakukan mahasiswa pada tahun 1998, tepatnya pada masa orde baru. “Perkosa saja almamatermu!” teriak salah satu demonstran yang menggunakan almamater kampusnya. “Turunkan Soeharto, turunkan Soeharto, turunkan Soeharto.” Teriak mahasiswa yang melilitkan kain bertuliskan “Revolusi” di kepalanya.
Setelah beberapa hari diisi dengan seruan aksi yang bahkan menewaskan 4 mahasiswa dari Universitas Trisakti, maka semakin bergejolak pula semangat mahasiswa yang turun kejalan saat itu. Sakralnya solidaritas seakan-akan menjadi sebuah tameng yang mengantarkan para aktivis untuk menerjang semua sekat yang dipasang oleh aparat keamanan.
Pada akhirnya memang Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya pada Kamis, 21 Mei 1998. Sebuah kemenangan besar bukan? Pengorbanan yang merenggut nyawa dan menghadirkan pertumpahan darah akhirnya terbalaskan dengan runtuhnya kediktatoran Soeharto yang sudah menjabat sebagai presiden selama 32 tahun 7 bulan pada masa itu.
Baiklah, kita melangkah lagi, bahkan kali ini kita akan melangkah lebih jauh dibandingkan dengan masa pemerintahan Soeharto. Kita masuk kedalam masa Revolusi Perancis. Memang, Revolusi Perancis bukanlah sebuah pergerakan yang dilakukan oleh mahasiswa, melainkan kaum buruh yang menentang kekuasaan dan kediktatoran kaum borjuis pada masa itu.Namun dengan adanya pergerakan dari kaum buruh, maka kediktatoran kaum borjuis berhasil diruntuhkan. Sama hal nya dengan keruntuhan Soeharto, berkat pergerakan revolusioner mahasiswa, kediktatoran beliau juga berhasil diruntuhkan.
Kemudian muncul pula sebuah kutipan Tan Malaka yang mengatakan “Tidak, tak ada sesuatu program revolusioner yang berarti, jika tak ada pergerakan revolusioner.” Saya sepakat dengan itu. Tapi, mari kita telisik terlebih dahulu. Akankah kutipan tersebut yang mendorong mahasiswa bergabung dalam dunia pergerakan atau yang sering kita sebut aktivis mahasiswa?
Aktivis mahasiswa merupakan jenis mahasiswa aktif mengikuti kegiatan mahasiswa di kampus. Tidak hanya mengikuti satu atau dua kegiatan yang ada di kampus, tetapi bisa mengikuti lebih dari itu. Aktivis mahasiswa adalah jenis mahasiswa yang sibuk karena banyak hal kegiatan yang menyibukkan mereka.
Dalam konteks ini, aktivis mahasiswa yang kita bicarakan adalah mereka yang tergabung dalam gerakan perjuangan dan pembelaan atas masalah-masalah tertentu yang biasanya berkaitan dengan masyarakat lemah. Seperti kesetaraan pendidikan, hak-hak bagi perempuan penegakan hukum, pelayanan kesehatan, dan termasuk upaya menjaga keseimbangan lingkungan. Aktivis terlibat dalam berbagai upaya untuk mewujudkan masyarakat yang lebih baik melalui advokasi, penggalangan dana, dan juga terjun langsung sebagai relawan.
Radikalisme atau Konformisme?
Mahasiswa sering terjebak dalam dua pilihan yaitu radikalisme atau konformisme. Jika radikal, mereka terbentur oleh kompleksitas kekuasaan negara, konformisme biasanya lebih “lembek-lembek saja,” mereka mematuhi semua peraturan dan norma yang berlaku, let it flow istilahnya. Tentunya menjadi lembek bukanlah “gaya” seorang mahasiswa, wajar kalau mereka memilih jalur pemikiran yang radikal sehingga buah dari pemikiran itu menumbuhkan sifat “pejuang”.
Kembali lagi ke pembahasan utama, mari kita lihat perbuatan “senior-senior” kampus pada saat Pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru (PKKMB), “Dek, kita itu ‘maha’, hanya ada 2 dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yaitu Maha Esa dan mahasiswa. Masa depan negara ini ada ditangan kita. Kalian tahu Presiden Soeharto? Dia lengser karena aktivis yang memperjuangkan reformasi, sebegitu besar kekuatan mahasiswa.”
Kata-kata persuasif dari “senior kampus” memang sangat efektif untuk mempengaruhi atau bahkan mencuci otak mahasiswa baru yang sama sekali masih belum paham dengan dunia pergerakan atau yang katanya aktivis. Yang penting turun ke jalan, bawa almamater, bawa poster-poster dan teriak layaknya pejuang revolusi, jika memang memungkinkan dobrak saja gerbang kantor DPR/DPRD.
Ironisnya, senior kampus tadi tidak pernah menceritakan peran mahasiswa dalam pergerakan saat itu, yang mereka suguhkan hanyalah persuasi tentang kekuatan mahasiswa dalam menggoyangkan kekuasaan Soeharto. Pada akhirnya, mahasiswa mengadopsi ke “mahaan”nya untuk melakukan demonstrasi. Hal yang paling menggelitik adalah banyak aktivis yang turun ke jalan tanpa mengetahui apa topik permasalahan yang dibawakan dan apa tuntutan yang disampaikan kepada target tertuju.
Berkaca dengan aksi 1998
Aksi yang berhasil melengserkan Soeharto, dengan adanya kemenangan ini mahasiswa pada akhirnya memandang perjuangan mereka sebagai hal yang harus diteruskan. Aktivis mahasiswa memandang aksi tersebut sebagai sebuah representasi dari ke”mahaan” seorang mahasiswa.
Protes dalam bentuk demo yang bahkan menewaskan mahasiswa Trisakti merupakan sebuah bentuk perjuangan yang tak boleh dilupakan, katanya. Berkaca dari aksi ini maka mahasiswa mulai tertarik untuk menunjukkan keberanianya dalam menegakkan keadilan dengan masuk organisasi pergerakan, ikut demo ke jalan, mulai mengkritik dan menjelek-jelekkan pemerintah hingga meninggalkan kuliah demi sakralnya kekuatan mahasiswa.
Lucunya, banyak diantara mereka yang kerap disebut “Aktivis Kosong,” mengapa demikian? Aktivis kosong yang dimaksud adalah mereka yang turun kejalan tanpa mengisi diri terlebih dahulu dengan ilmu-ilmu dan pengetahuan, bahkan mereka turun kejalan hanya untuk gaya-gayaan semata. Alhasil, ketika mereka ditanya alasan demo mereka menjawab “Gak tau pak, ikut-ikut aja karena disuruh senior.”
Konon Katanya Idealisme
“Masa kuliah merupakan masa dimana kita mempertahankan idealisme kita, kita harus membela orang-orang yang ditindas/dikriminalisasi negara.” Wow, kata-kata yang sangat sering kamu dengar pastinya. “Jangan sampai kita dijinakkan oleh para penguasa, kritisi setiap program-program yang mereka kerjakan.” Apakah ini dapat dikatakan sebagai bentuk idealisme? Ketika kamu menanamkan prinsip dalam dirimu yang mengatakan bahwa mahasiswa harus membela yang tertindas?
Idealisme yang dimaksud barangkali adalah sebuah keyakinan dan nilai, dan nilai yang dikandung adalah nilai demokrasi. Yah, “Demokrasi” katanya. Ketika berangkat dari pengertian demokrasi yang menekankan kedaulatan rakyat diatas segalanya, jadi ketika ada hal yang menunjukkan ketidak demokratisan maka para aktivis mahasiswa akan unjuk rasa untuk menggebrak makna demokrasi itu sendiri.
Namun, fakta uniknya tak jarang aktivis mahasiswa yang hanya menjalankan ke idealismenya di dunia kampus saja. Setelah tamat dari bangku universitas, maka mereka akan berbaur dengan dunia luar yang serba kompetitif. Dunia pekerjaan yang bahkan tidak menunjukkan sisi demokrasinya sama sekali, misalnya bos yang diktator, lingkungan yang korupsi, hingga peraturan kerja yang tidak manusiawi.
Tak ada tempat yang akan memberikanmu posisi yang baik ketika kamu mencoba untuk mendobrak sistem. Dengan kata lain, kamu akan berada di posisi terbawah jika kamu mencoba untuk melawan sebuah ritme yang sudah diterapkan sejak lama.
Namun, kita patut mengacungkan jempol untuk mereka yang tetap menjalankan idealismenya bahkan setelah keluar dari bangku universitas. Hal ini menunjukkan bahwa nilai yang diagungkannya selama menjadi mahasiswa dapat dipertahankan, bahkan tak jarang juga mereka melakukan regenerasi untuk mengorganisir kaum-kaum yang di didik menjadi Human Rights Defender (Pembela Hak Azasi Manusia).
Malu dengan Ego
Jalur audiensi, bahkan Ketika terjadi kenaikan UKT pihak universitas sendiri juga kerap menawarkan audiensi, namun jalur paling afdol yang dipilih adalah demonstrasi. Mengapa demikian? Karena kesetiaan ego yang dipegang oleh mereka yang katanya aktivis mahasiswa.
Kembali lagi berkaca dengan aksi 1998, toh mereka menang dari jalur demonstrasi, mengapa kita tidak? Aktivis mahasiswa adalah mereka yang menentang semua kediktatoran negara, termasuk pihak kampus itu sendiri. “Yah, kita kan negara demokrasi mana boleh semena-mena,” kata-kata itu pasti tak jarang juga kamu dengar.
Semoga kamu yang berkecimpung dalam dunia pergerakan atau juga disebut sebagai aktivis tidak hanya melakukannya demi eksistensi semata. Tak ada yang salah dengan pergerakan, keadilan memang hal yang harus kita tegakkan, dan kediktatoran adalah hal yang harus kita tumbangkan. Tetaplah mengisi diri dengan ilmu dan pengetahuan yang kredibel, agar label ‘aktivis kosong’ tak akan pernah dilontarkan kepadamu.