BOPM Wacana

“Kearifan Lokal” Sebagai Counter Hegemony Terhadap Kejahatan Lingkungan

Dark Mode | Moda Gelap
Ilustrasi: Reza Anggi Riziqo
Ilustrasi: Reza Anggi Riziqo

Oleh: Reza Anggi Riziqo

Permasalahan lingkungan merupakan isu krusial di negara Dunia Ketiga saat ini, seperti di Indonesia. Investor asing sedang gencar-gencarnya mendanai berbagai industri di Nusantara.

Momentum ini pun disambut hangat oleh para pemangku kebijakan—Pemerintah. Namun, gencarnya industri di negara ini tidak diiringi oleh kesadaran akan dampaknya terhadap lingkungan.

Ongkos lingkungan kerap luput dari kalkulator modal yang harus ditanggung oleh suatu industri. Sektor privat yang memiliki legitimasi dari negara untuk menjalankan industri sering kali semena-mena terhadap lingkungan sekitar. Akhirnya, masyarakat sekitar area industrilah yang harus menanggung beban dan dipaksa menelan berbagai kerugian besar.

Kerugiannya seperti rusaknya ekosistem hutan dan air sebagai tumpuan mata pencaharian hidup, hingga dampak limbah industri terhadap kesehatan masyarakat. Kelindan antara sektor privat dan pemerintah dalam industrialisasi di Indonesia dengan dalih pembangunan telah melahirkan sosok baru, “penjahat lingkungan”.

Para penjahat lingkungan bersengkongkol satu sama lain guna mengoptimalkan ekstraksi sumber daya alam tanpa memperhatikan dampaknya terhadap masyarakat dan lingkungan itu sendiri. Memandang alam hanya sebagai objek eksploitasi.

Di sisi lain, masyarakat sekitar memiliki pandangan berbeda. Masyarakat lokal tidak hanya memandang alam sebagai tempat pemenuhan kebutuhan hidup saja, tetapi alam juga dipandang sebagai bagian dari diri mereka. Ada ikatan emosional antara masyarakat lokal dengan alam, mereka memaknai alam sebagai unsur tertinggi yang harus dihormati.

Banyak komunitas lokal di Nusantara yang telah menyetarakan alam sekitar dengan ibu kandungnya sendiri. Sebab, karena rasa hormat mereka begitu besar terhadap alam sebagai unsur yang selama ini telah membantu mereka melangsungkan hidup dan beregenerasi.

Ekologi politik dan hegemoni

Perbedaan pemaknaan terhadap alam antara penjahat lingkungan dengan masyarakat lokal merupakan salah satu lingkup kajian dalam ekologi politik yang sangat penting.

Affif (2022) dalam artikel berjudul Antropologi dan Persoalan Perubahan Iklim: Perspektif Kritis Ekologi Politik menyebutkan ekologi politik sebagai alat untuk menjelaskan “masalah ketimpangan yang mempengaruhi relasi antara manusia dengan lingkungannya”. 

Tiap aktor dipandang memiliki kepentingan yang berbeda-beda terhadap lingkungan. Hal ini nampak dari perbedaan kepentingan antara “penjahat lingkungan” dengan masyarakat lokal terhadap alam lingkungan sehingga menghasilkan pemaknaan dan sikap yang berbeda pula.

Relasi-relasi di antara aktor pemangku kuasa juga telah melahirkan berbagai bentuk kebijakan pengelolaan sumber daya alam yang berakibat pada wacana perubahan iklim. Katalisasi perubahan iklim terjadi karena parahnya kerusakan lingkungan akibat kebijakan-kebijakan serampangan yang memanjakan sektor privat.

Ekologi politik tak terlepas dari konsep hegemony yang dicetuskan oleh seorang tokoh Marxis asal Italia, Antonio Gramsci. Hegemoni merupakan dominasi yang dilakukan oleh intelektual-politik guna menguasai sistem sosial.  

Gramsci (2011) dalam Prison Notebooks menjelaskan bahwasannya “hegemoni” dapat tercipta ketika para penguasa menggunakan wacana intelektualitasnya dengan mengontrol segala bentuk aspek kehidupan masyarakat guna keuntungan pribadi. Bentuk hegemoni termasuk kontrol politik negara terhadap pengelolaan sumber daya alam telah menjadikan masyarakat tempatan tak berdaya dan hanya bisa manut dengan sistem yang telah dikendalikan.

Sebaliknya, masyarakat lokal yang kerap menjadi korban sejatinya memiliki sistem, nilai, aturan, serta intelektualitas tersendiri yang sudah diwariskan oleh leluhur mereka dan telah menjadi budaya sebelum akhirnya diserang oleh hegemoni para penjahat lingkungan. Sebut saja “kearifan lokal” yang dimiliki oleh tiap komunitas masyarakat lokal dalam mewarnai kehidupan sosial mereka.

Memahami konsep kearifan lokal

Kearifan lokal adalah perangkat pengetahuan dan praktik (aktivitas) pada suatu komunitas, baik yang berasal dari generasi-generasi sebelumnya maupun dari pengalamannya berinteraksi dengan lingkungan dan masyarakat lainnya untuk menyelesaikan secara baik, benar, dan bagus dari berbagai persoalan yang dihadapi. (Ahimsa-Putra, 2006).

Kita dapat memahami bahwa kearifan lokal merupakan cara bagaimana suatu komunitas lokal mengejawantahkan pengetahuan yang mereka punya ke dalam bentuk praktik-praktik di lingkungan sosial guna membantu mereka menjalani kehidupan. Kearifan lokal juga kerap diistilahkan ke dalam kata lain seperti local knowledge, local wisdom, kecerdasan lokal dan istilah sejenisnya.

Dalam konteks lingkungan, Suparmini (2013) menyebutkan, kearifan lokal tentang pengelolaan lingkungan yang dimiliki oleh suatu masyarakat dapat memberikan manfaat konservasi. Komunitas lokal biasanya memiliki norma dan aturan adat terkait pemanfaatan sumber daya alam. Jika aturan tersebut dilanggar, akan diterapkan sanksi-sanksi yang mengikat.

Kearifan lokal berbasis konservasi juga dapat dilihat dari kacamata dunia kosmologi penduduk lokal, mereka kerap mengaitkan alam lingkungan dengan mitos-mitos tertentu. Iringan mistisme dalam kearifan lokal sebenarnya memiliki manfaat praktis jika dirasionalkan, tak lain guna menguatkan aturan dan norma yang dibuat agar tak di langgar.

Jika dikaitkan dengan ekologi politik, kita dapat melihat diferensiasi antara dampak praktik kearifan lokal berbasis konservasi dengan dampak praktik eksploitasi sumber daya alam oleh para penjahat lingkungan. 

Kearifan lokal adalah alat untuk melawan

Gramsci dalam Fakih (2002) di buku berjudul Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi menyebutkan istilah Counter Hegemony sebagai bentuk perlawanan terhadap proses dehumanisasi yang dilakukan oleh hegemoni para penguasa.

Counter Hegemony kerap dipraktikkan oleh komunitas masyarakat atau kelompok lembaga sipil dengan menerapkan praktik pembangunan yang sifatnya partisipatif dan emansipatoris di tengah “pembangunanisme” yang dianut oleh para pemangku kuasa, termasuk penjahat lingkungan. Ini semacam narasi tanding yang dikeluarkan oleh mereka yang selama ini menjadi korban industrialisasi.

Selain skema perlawanan kontemporer yang telah diracik oleh praktisi di lembaga sipil, hegemoni dalam konteks ekologi politik sebenarnya dapat dilawan oleh masyarakat dengan menggunakan kearifan lokal yang mereka punya.  Salah satu caranya dengan menganalogikan suatu praktik “kearifan lokal” yang dimiliki komunitas lokal dengan hal-hal yang dapat dipahami publik sebagai sarana kampanye perlawanan.

Brosius (2006) menuliskan penerapan analogisasi yang dilakukan oleh suku Penan dari Malaysia sebagai bentuk perlawanan terhadap pembalakan hutan ternyata menjadi alat jitu yang mereka gunakan. Orang Penan memiliki kearifan lokal memanfaatkan sumber daya hutan sebagai cara memenuhi kebutuhan hidup, menganalogikan hutan sebagai “bank” atau “swalayan” pada setiap narasi kampanye mereka.

Pada akhirnya, ini dapat menarik simpati masyarakat luar sehingga berbagai pihak mengecam perusahaan pembalak hutan dan pemerintah Malaysia agar segera menghentikan eksploitasi di Serawak.

Orang Penan juga punya kearifan mensakralkan wilayah sekitar sungai yang merupakan makan para leluhurnya. Kearifan seperti itu sebenarnya memiliki manfaat konservasi terhadap lingkungan.

Akan tetapi pembalakan yang dilakukan perusahaan kerap membabat habis wilayah sakral mereka. Pada akhirnya, orang Penan menggunakan “narasi kontras” dalam kampanye perlawanan, di mana mereka menyebutkan jika “praktik pensucian wilayah aliran sungai berbanding terbalik dengan praktik kerja perusahaan”.

Jika dibandingkan dengan kasus-kasus di Indonesia, cara yang orang Penan lakukan dapat digunakan oleh komunitas-komunitas lokal disini, utamanya mereka yang juga sedang berjuang melawan para penjahat lingkungan. Misalnya pada masyarakat adat Batak di sekitar Danau Toba yang memiliki kearifan lokal marhottas atau menyadap haminjon (kemenyan) dan saat ini sedang berjuang menghadapi berbagai ancaman perampasan hutan adat mereka dari perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI).

Artikel Mongabay (2016) dengan tajuk Marhottas, Ritual Sadap Kemenyan dari Tanah Batak menyebutkan jika pohon kemenyan diyakini oleh masyarakat lokal sebagai titisan dari anak gadis si Raja Batak yang harus diperlakukan dengan baik. Artinya, pohon kemenyan itu sakral dan tidak boleh dihabisi.

Analogisasi terhadap pohon kemenyan dapat masyarakat adat Batak terapkan, misal dengan menyamakan pohon kemenyan dengan “anak gadis” para pihak luar yang menjadi target audiens kampanye perlawanan mereka. Sehingga simpati yang didapatkan akan lebih maksimal. Atau mereka dapat menerapkan narasi kontras, seperti dengan menyebutkan “Perusahaan pembalak hutan adat di Sumut diisi oleh para orang tua yang kejam kepada anak gadisnya”.

Hal berikutnya yang tak kalah penting yaitu dengan menguatkan basis komunitas guna menempuh jalur legal. Misalnya, seperti kisah perlawanan suku-suku pedalaman di Papua yang ditampilkan oleh Watchdoc (2015) dalam dokumenter berjudul THE MAHUZEs, di mana orang Merauke dikisahkan memiliki kearifan lokal memakan sagu sebagai sumber karbohidrat, serta berburu hewan guna memenuhi kebutuhan protein.

Akan tetapi, hutan adat di Merauke dicanangkan menjadi lokasi program lumbung pangan nasional. Beberapa kelompok marga di Merauke seperti marga Mahuze dan marga Ndiken sepakat untuk berjuang bersama melawan perampasan hutan adat. Mereka pun pada akhirnya dapat melaksanakan audiensi dan penyampaian aspirasi kepada pemerintah daerah setempat.

Kesimpulan

            Kearifan lokal merupakan perangkat pengetahuan yang dimiliki oleh suatu komunitas lokal dan dapat digunakan sebagai alat perlawanan untuk melawan hegemoni para penjahat lingkungan. Dalam lingkup kajian ekologi politik, Counter Hegemony berbasis kearifan lokal dapat diterapkan kepada para aktor perusahaan sektor privat dan pemerintah yang berkelindan dalam mengekstraksi sumber daya alam tanpa memperhatikan dampak lingkungan, utamanya dampak jangka panjang—perubahan iklim.

Analogisasi kearifan lokal kepada publik, membuat narasi kontras, hingga memperkuat basis komunitas merupakan cara-cara yang dapat ditempuh dalam kampanye melawan kejahatan lingkungan.

Penerapan cara-cara tersebut tentu tidaklah mudah. Berbagai hambatan akan muncul, seperti kampanye “analogisasi” atau “narasi kontras” yang tidak akan maksimal mendapat perhatian publik tanpa dibantu sorotan “media”. Maka dari itu, mengkoneksikan kampanye dengan berbagai media merupakan aspek terpenting agar kampanye perlawanan dapat meluas dan menarik lebih banyak simpati publik.

Menguatkan basis komunitas juga bukanlah hal yang mudah. Mengintegrasikan perlawanan dalam suatu komunitas pada praktiknya kerap sulit dilakukan apalagi dengan komunitas lain meskipun mereka menjalankan praktik kearifan lokal yang sama.

Tiap aktor dalam komunitas korban kejahatan lingkungan pun kerap memiliki pandangan dan caranya masing-masing untuk melawan. Oleh sebabnya, membina hubungan baik dengan rutin melakukan musyawarah di antara komunitas harus dilakukan. Sehingga suara untuk melawan dapat bulat dan para penjahat lingkungan dapat digulingkan.

 

Komentar Facebook Anda

Reza Anggi Riziqo

Penulis adalah Mahasiswa Antropologi Sosial FISIP USU Stambuk 2021. Saat ini Reza menjabat sebagai Pimpinan Redaksi BOPM Wacana.

Pentingnya Mempersiapkan CV Bagi Mahasiswa | Podcast Wacana #Eps4