BOPM Wacana

Peka Politik: Lebih dari Sekedar Mengikuti Arus

Dark Mode | Moda Gelap
Ilustrasi | Muhammad Ghazi Al Ghifari Lubis
Ilustrasi | Muhammad Ghazi Al Ghifari Lubis

Oleh: Muhammad Ghazi Al Ghifari Lubis

Buta terburuk adalah buta politik. Orang yang buta politik tidak sadar bahwa biaya hidup, harga makanan, harga rumah, harga obat semuanya bergantung keputusan politik. – Bertolt Brecht

Saat ini Negara Indonesia sedang berada ditahun politik, berupa agenda pesta demokrasi besar-besaran yaitu pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.

Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia, jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) Nasional pada Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2024 sebanyak 204.807.222 jiwa. Setengah dari jumlah tersebut adalah pemilih muda dengan rincian yang berusia 17 tahun berjumlah sekitar 6 ribu jiwa, 17-30 tahun berjumlah sekitar 63,9 juta jiwa, dan 31-40 tahun berjumlah sekitar 42,395 juta jiwa.

Pemilu merupakan suatu momen yang dinanti-nanti oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Hal ini dikarenakan dalam pemilu memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk turut berpartisipasi melakukan perubahan kepemimpinan dan kebijakan yang dapat mempengaruhi segala aspek kehidupan masyarakat melalui calon-calon wakil atau pemimpin yang akan dipilihnya. Namun, disisi lain sungguh sangat disayangkan masih banyak para pemuda yang enggan untuk ikut berpartisipasi pada pesta demokrasi ini.

Pemikiran kuno yang terus mereka pelihara masih berkata “Siapapun presiden atau pemimpin di negeri ini hidupku tak akan pernah berubah, tetap gitu-gitu aja, jadi gak terlalu pentinglah untuk ngikutin politik”. Begitu dangkalnya pemikiran mereka sampai-sampai tak sadar bahwa mereka tak hanya hidup sendirian, melainkan akan melahirkan keturunan yang akan terkena dampak dari pemikirannya. Bahkan ketika seseorang mengunggah sesuatu yang berbau politik pada akun media sosialnya, mereka akan mendiskreditkan pemuda-pemuda yang peduli akan politik ini dengan sebutan “Fear of Missing Out” alias FoMO yang artinya memiliki rasa takut akan ketinggalan sesuatu yang sedang ramai diperbincangkan sehinga menjadi ikut-ikutan.

Dalam hal ini, konteksnya adalah ikut-ikutan membicarakan isu politik karena sebentar lagi akan dilangsungkannya Pemilu. Justru ikut-ikutan dalam membicarakan politik adalah sesuatu yang bagus, apalagi pada Pemilu tahun 2024 ini didominasi oleh anak muda. Artinya, sebagai pemuda ia peduli akan nasib bangsanya, nasib dirinya, hingga nasib para keturunannya.

Dampak dari dangkalnya pikiran para pemuda tersebut serta munculnya stigma FoMO politik mengakibatkan lahirnya apatisme (tidak peduli) bagi beberapa pemuda terhadap isu politik sehingga mereka sukar untuk terlibat aktif dalam politik. Rasa muak akan percaturan politik keluarga juga menjadi alasan pemuda menjadi apatis, seperti dalam kajian Antropologi Politik, pemimpin politik sebagai suatu kedudukan dapat saja terjadi pada setiap individu melalui kedudukan yang digariskan, yaitu kedudukan dapat diperoleh karena diwariskan bahkan dilimpahkan oleh penguasa politik atas dasar hubungan kekeluargaan. Disisi lain yang melahirkan rasa apatis pemuda terhadap politik ialah dikarenakan rasa ketidakpuasan atas kinerja pemerintah sebelumnya, rasa kekecewaan karena tidak bisa menjaga kepercayaan publik serta para pemimpin yang mereka pilih tidak memenuhi janji-janjinya seperti pada masa kampanyenya. Bahkan ketika para pemuda yang peduli akan isu politik hingga turun aksi kejalanan dianggap melakukan aksi yang bodoh dan usaha yang sia-sia oleh mereka pemuda yang apatis.

Lantas mengapa kita sebagai anak muda harus peka dan peduli terhadap isu politik? Tanpa kita sadari, secara tak langsung politik telah mempengaruhi segala aspek kehidupan masyarakat. Kepedulian terhadap politik akan mempengaruhi kebijakan publik yang dibuat oleh para penguasa, karena kebijakan itu sendiri merupakan bentuk aspirasi masyarakat dan tanpa partisipasi masyarakat yang menjadi subjek pembangunan, kebijakan yang dibuat tidak akan sesuai harapan masyarakat. Dengan peduli terhadap politik, kita sebagai masyarakat juga menjadi kontrol atau pengawas ketika terjadi penyelewengan kekuasaan oleh pemerintah sehingga akan menciptakan good governance.

Kurikulum pembelajaran merupakan sesuatu yang sangat vital bagi dunia pendidikan, sifat kritis harus selalu masyarakat berikan pada calon-calon pemimpin negeri ini yang sudah semestinya membawa dunia pendidikan menuju menjadi jauh lebih baik lagi daripada yang sudah-sudah.

Disisi lain, politik juga membawa pengaruh yang sangat besar pada harga barang kebutuhan pokok masyarakat. Sebab, kebijakan-kebijakan para pemimpin di negeri ini akan mempengaruhi stabilitas harga bahan pokok. Masyarakat sangat bergantung pada komoditas pangan yang menjadi kebutuhan pokok sehingga ketidakstabilan harga akan memberikan pengaruh yang besar kepada masyarakat.

Hukum juga merupakan hasil produk politik, sampai saat ini masih banyak dijumpai praktek penegakan hukum yang tajam terhadap masyarakat kaum kelas bawah, sehingga masyarakat harus kritis terhadap kebijakan-kebijakan terkait hukum di negeri ini.

Sudah saatnya para pemuda yang diyakini sebagai agent of change untuk mengubur sifat apatisnya dan menjunjung tinggi sifat kritisnya. Mereka yang apatis terhadap perpolitikan sama saja dengan melanggengkan para calon pemimpin negeri ini untuk ugal-ugalan dalam masa kepemimpinannya.

Para pemuda harus bisa berdiri kokoh diatas pendiriannya bukan malah mengikuti kemana arus akan membawanya. Dan bagi mereka yang tidak mau untuk berpikir kritis, bisa dipastikan akan mudah tersingkir dalam peradaban.

Komentar Facebook Anda

Muhammad Ghazi Al Ghifari Lubis

Penulis adalah Mahasiswa Antropologi Sosial FISIP USU Stambuk 2022. Saat ini Ghazi menjabat sebagai Redaktur Pelaksana BOPM Wacana.

Pentingnya Mempersiapkan CV Bagi Mahasiswa | Podcast Wacana #Eps4