BOPM Wacana

Frugal Living Atau Tidak, Negara Tetap Buat Kamu Miskin

Dark Mode | Moda Gelap
Ilustrasi. | Reza Anggi Riziqo

Oleh: Reza Anggi Riziqo

Ide bodoh dari mana memprotes kenaikan PPN 12% dengan cara frugal living? Mau apa pun dibuat, pemerintah tetap akan memiskinkanmu.

Menilik Google Trends, pencarian dengan kata kunci “frugal living” meningkat pesat dalam 30 hari terakhir. “PPN 12 persen” jadi salah satu kueri yang terkait. Sama jika kita mengetik kata kunci tersebut di internet. Banyak artikel teratas melebur frugal living dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12% dalam satu bahasan.

Pembahasan frugal living sebagai solusi alternatif kenaikan PPN 12% juga berseliweran di media sosial. Banyak pula netizen yang mengamini ide bodoh tersebut.

Seolah Kamu lagi dibegal di pinggir jalan, pembegalnya bawa pisau tajam. Pisaunya sudah menggores lehermu. Terpaksa Kamu kasih harta benda yang dipunya, sambil celetuk bilang “Gak apa-apa. Toh Aku belum mati. Untung Aku rajin nabung, jadi masih bisa makan untuk besok.”

Lalu pasca kejadian, Kamu melanjutkan aktivitas seperti biasa. Seolah tak ada yang terjadi.

Padahal bisa saja Kamu ambil upaya. Entah itu berteriak atau mengejar si pembegal. Bisa juga lapor poli… eh, gak usah, mending lapor warga sekitar untuk bantu ngejar begalnya.

Kisah dibegal tapi malah bersyukur tanpa ada upaya perlawanan, menggambarkan para pemrotes PPN 12% lewat frugal living. Lagi pula, ide bodoh dari mana memprotes kenaikan PPN 12% dengan cara frugal living? Mau apa pun dibuat, negara tetap akan memiskinkanmu.

Pada dasarnya penguasa negara tidak peduli Kamu hidup frugal atau tidak. Mereka hanya fokus mengakumulasi kekayaan pribadi. Lantas bagaimana caranya buat ‘mereka’ peduli sama kita?

Frugal living?

Frugal living” bukan suatu konsep ilmiah, jadi sulit melacak kapan istilah itu tercetus dan oleh siapa. Sederhananya itu cuma leburan dua kata dalam bahasa Inggris: frugal yang berarti hemat, dan living yang artinya hidup. Hidup hemat.

Glorifikasi media terhadap frugal living seolah buat dia jadi istilah baru yang trendi. Padahal tidak. Itu cuma istilah hidup hemat yang pakai bahasa Inggris saja.

Media berhasil buat kita berpikir kalau frugal living itu harus A, B, C, dan lainnya. Konstruksi terhadap hal-hal yang seolah mutakhir, dan belum Kamu terapkan.

Padahal itu serupa yang diajarkan oleh orang tua Kamu, sejak kecil dulu. Ke sekolah naik angkot saja, atau kalau bisa jalan kaki. Naik ojek yang ongkosnya agak mahal kalau mendesak saja.

Juga sama seperti orang tua Kamu yang nyuruh sisihkan uang jajan ke dalam celengan. Dan marah-marah saat Kamu merengek minta Kinder Joy di minimarket. Meski Kamu sudah nangis guling-guling di depan kasir.

Bedanya saat ini Kamu sudah dewasa. Tahu mana yang harus diprioritaskan. Jadi hidup hemat yang dijalankan bukan atas titah orang tua lagi. Setidaknya Kamu sudah tahu alasan kenapa dulu Ibumu melarang beli Kinder Joy, dan menerapkan hal serupa dalam hidupmu sekarang.

Hidup hemat yang diajarkan sejak kecil dikembangkan dalam duniamu yang lebih kompleks saat ini. Seperti mengatur uang bulanan: jajan seperlunya, pakai voucher promo ojek online, beli skincare yang diskon, dan seterusnya. Kamu jadikan itu budaya sehari-hari.

Frugal living sebenarnya sudah Kamu terapkan, kok.

Jadi suatu hal yang bodoh ketika cara hidup hemat yang sudah diajari Ibumu sejak kecil, hingga Kamu tahu alasannya, dan sudah Kamu terapkan dalam budaya hidupmu sehari-hari, malah dijadikan slogan untuk menolak PPN 12%.

Mau sehemat apa lagi, coba? Mau ikat perut pakai tali tambang? Makan sesendok nasi saja sehari? Buat mahasiswa rantau tak usah ngekos, tapi tidur di musola aja?

Atau tidak usah beli baju baru, cukup baju partai sisa pilkada kemarin dipakai sehari-hari? Senin Golkar, Selasa Gerindra, Rabu Demokrat, dan seterusnya? Hah?

Bukannya frugal living malah jadi kikir sama diri sendiri.

Negara tetap akan memiskinkanmu!

Penguasa, kita sebut saja untuk mereka pemangku yang ngatur negara ini, tak akan rela Kamu hidup nyaman. Mereka sudah keluar modal banyak untuk duduk di kursi jabatan.

Sudah jadi rahasia umum, untuk jadi anggota DPR RI saja para caleg butuh puluhan miliar rupiah. Begitu juga di pemilihan presiden. Modal kampanye yang tercatat juga sampai miliaran rupiah per paslon. Itu yang tercatat resmi, ya.

Sewajarnya kita berpikir kalau para pemangku akan tetap berupaya buat balik modal. Meski secara normatif mereka bilang jika uang pajak itu digunakan untuk program-program publik.

Karena, hakikatnya, penguasa juga punya kolega-kolega politik yang harus dimanjakan. Khususnya bagi mereka-mereka yang sudah mendukung kemenangan saat proses pemilihan.

Bentuk memanjakannya entah itu lewat tender proyek, pelaksana program, atau lainnya.

Tetap yang akan tercekik ya masyarakat, kita sendiri. Lahirnya PPN 12% sebagai political will adalah konsekuensi logis dari iklim demokrasi kita.

Sudah konsekuensinya Kamu bayar pajak segitu. Belum lagi, kebijakan-kebijakan serupa mendatang yang akan lahir. Mungkin dengan nama berbeda, tapi akibatnya serupa: hartamu dihisap negara.

Disinyalir juga, kenaikan PPN 12% adalah rekomendasi dari Organisasi Kerja sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) terhadap pemerintah RI. Memang pemerintah menargetkan Indonesia untuk bergabung dengan OECD. Sehingga beberapa rekomendasinya mulai diterapkan.

Selain menaikkan PPN, Indonesia juga disarankan OECD untuk membekukan lapisan pertama Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi, sehingga turun secara rill.

Kata OECD, PPh orang pribadi di Indonesia memiliki ambang batas yang terlalu tinggi, yakni untuk mereka yang bebas pajak berpendapatan Rp54 juta pertahunnya. “Hasilnya, kelas menengah yang sedang tumbuh sebagian besarnya tidak terkena PPh orang pribadi,” kata OECD dalam laporannya, melansir CNN Indonesia.

Kalau pemerintah menerapkan saran OECD sekaligus menarik perhatiannya supaya diterima jadi negara anggota, gaswat. Ambang batas PPh bisa turun menyasar pekerja kelas menengah yang lagi merintis hidup.

Iklim demokrasi yang buruk ditambah penerapan rekomendasi lembaga internasional untuk perpajakan di Indonesia, adalah kombinasi yang mantap. Kombo maut untuk memiskinkan kita.

Jadi tak peduli Kamu hidup frugal atau tidak, penguasa negara punya seribu cara menghisap hartamu.

Sentil area sensitifnya

Lantas kalau frugal living adalah narasi bodoh untuk menolak kenaikan pajak, bagaimana cara protes yang baik?

Penulis sendiri sudah pesimis akan isu ini. Faktor-faktor yang sudah dijelaskan tadi cukup kasih gambaran jika protes bagaimana pun akan sia-sia.

Meski per 31 Desember 2024 Presiden Prabowo umumkan kenaikan PPN 12% hanya untuk barang super mewah, namun kita harus tetap waspada. Karena seperti yang sudah penulis jelaskan, penguasa akan terus berupaya menghisap kita.

Setidaknya, mungkin ada beberapa hal yang bisa diterapkan untuk tolak penghisapan oleh penguasa, selain ide bodoh frugal living. Seperti Kamu turut aktif menguatkan literasi politik. Tidak hanya untuk pribadi, namun mulai menyebarkannya ke lingkungan sekitar. Karena kenaikan pajak merupakan konsekuensi politik.

Lebih dari itu, kita dapat ikuti gerakan-gerakan kritik kebijakan publik, mulai dari yang sederhana: membagikan kajian-kajian kritis tentang kenaikan pajak, atau lebih luas turut menyebarkan berita-berita tentang ketamakan penguasa yang ugal-ugalan. Dukung petisi-petisi tolak kenaikan pajak di sosial media.

Pemberitaan buruk adalah area sensitif bagi penguasa saat ini. Semakin isu itu populer, lebih-lebih sampai diwartakan media internasional, lebih ampuh penulis rasa untuk menyentil penguasa. Supaya mereka muhasabah. Terbukti tekanan kampanye digital berhasil buat Prabowo klarifikasi di H-1 kenaikan PPN.

Ketimbang pakai gerakan-gerakan prosedural, menggugat negara, protes lewat lembaga peradilan yang jelas-jelas sudah mereka kuasai juga.

Apa lagi sampai kikir terhadap diri sendiri dengan frugal living—hemat sehemat-hematnya dari hemat yang biasanya sudah hemat sekali.

Komentar Facebook Anda

Reza Anggi Riziqo

Penulis adalah Mahasiswa Antropologi Sosial FISIP USU Stambuk 2021. Saat ini Reza menjabat sebagai Pimpinan Redaksi BOPM Wacana.

Pentingnya Mempersiapkan CV Bagi Mahasiswa | Podcast Wacana #Eps4

AYO DUKUNG BOPM WACANA!

 

Badan Otonom Pers Mahasiswa (BOPM) Wacana merupakan media yang dikelola secara mandiri oleh mahasiswa USU.
Mari dukung independensi Pers Mahasiswa dengan berdonasi melalui cara pindai/tekan kode QR di atas!

*Mulai dengan minimal Rp10 ribu, Kamu telah berkontribusi pada gerakan kemandirian Pers Mahasiswa.

*Sekilas tentang BOPM Wacana dapat Kamu lihat pada laman "Tentang Kami" di situs ini.

*Seluruh donasi akan dimanfaatkan guna menunjang kerja-kerja jurnalisme publik BOPM Wacana.

#PersMahasiswaBukanHumasKampus