
Oleh: Reza Anggi Riziqo
Sering kali, kalimat-kalimat seperti “Ayo kak dibeli, untuk kegiatan kami,” atau unggahan flyer dengan muatan kalimat “Dibuka pendaftaran panitia untuk kegiatan…” mewarnai hiruk pikuk kampus saat ini.
Poster event, danusan, paid promote, dan rekrutmen terbuka panitia bukanlah hal asing bagi kehidupan mahasiswa. Umumnya, semua itu berihwal dari kegiatan yang diinisiasi oleh organisasi kemahasiswaan.
Organisasi mahasiswa intra kampus, ekstra kampus, organisasi mahasiswa jurusan, fakultas, hingga tingkat universitas kerap atau setidaknya pernah membuat kegiatan dengan sistem kepanitiaan. Sistem yang tidak asing memang. Event kemahasiswaan ini beragam, mulai dari acara berbasis seni, olahraga, seminar ilmiah, hingga kegiatan promosi produk jika event tersebut berkolaborasi dengan pihak swasta.
Event kemahasiswaan yang diinisiasi oleh organisasi mahasiswa biasanya sudah dirumuskan dalam program kerja di awal kepengurusan suatu organisasi. Atau, secara aksidental organisasi kerap mendapatkan tawaran kerjasama membuat acara dari pihak luar yang ujung-ujungnya membutuhkan panitia teknis.
Selain memanfaatkan anggota organisasi, suatu event dari organisasi kadang kala melakukan rekrutmen terbuka panitia. Artinya, “mahasiswa biasa” yang tidak tergabung dalam organisasi tersebut bisa turut berpartisipasi menyukseskan acara dengan bergabung menjadi panitia.
Merupakan hal yang lumrah saat ini ketika tiap organisasi mahasiswa berlomba-lomba menjadikan arena akademis kampus sebagai panggung pertunjukkan eksistensi. Mewarnai isi panggung tersebut dengan event-event kemahasiswaan. Sembari membawa misi tersirat: menaikkan eksistensi dan nama baik organisasi.
Eksistensi dan nama baik organisasi memang penting. Namun saat ini, karena sibuk memikirkan bagaimana membuat citra positif, pengurus organisasi mahasiswa kadang lalai dengan tujuan utama organisasi: sebagai wadah berproses para anggotanya.
Mahasiswa yang berpartisipasi dalam kepanitiaan pun ikut ambil peran dalam panggung kelalaian ini. Serupa tapi tak sama, panitia event juga membawa misi tersirat meskipun berbeda dari misi organisasi penyelenggara.
Atas nama CV?
Curriculum Vitae (CV) merupakan biodata individu yang memuat daftar riwayat hidup seseorang. CV bukanlah benda asing, daftar riwayat hidup kini sudah menjadi hal wajib untuk dimiliki, begitu pun oleh mahasiswa.
Dalam suatu CV tidak hanya mencantumkan riwayat pendidikan dan prestasi, akan tetapi juga memuat riwayat organisasi serta riwayat partisipasi dalam kegiatan — panitia.
Mitosnya, semakin banyak kepanitiaan yang diikuti maka semakin ‘wah’ juga CV seorang mahasiswa. Walau pun partisipasi dalam kegiatan tersebut kecil, hanya sebatas anggota teknis, atau lebih tepatnya “pembantu pimpinan organisasi” dalam menyukseskan event.
Secara naif para mahasiswa yang terlibat sebagai panitia sadar jika dirinya sedang menjadi objek eksploitasi. Dihisap tenaga, waktu, dan pikirannya oleh petinggi organisasi mahasiswa guna menyukseskan suatu event kemahasiswaan.
Proses eksploitasi di lingkup organisasi mahasiswa ini merupakan hal yang lumrah. Fenomena ini pun diaminkan oleh para panitia sukarelawan.
Menulis riwayat kepanitiaan dalam CV seorang mahasiswa adalah maksud tersirat mengapa ia rela menggadai dirinya dalam suatu event kemahasiswaan. Mungkin ini langkah termudah dalam membuat variasi pada daftar riwayat hidupnya.
Anggota panitia siap melakukan pekerjaan-pekerjaan teknis sesuai dengan arahan petinggi organisasi. Seberapa besar kesulitan yang dihadapi, seberat apapun tantangannya, sebanyak apapun kucuran keringat yang dikeluarkan, para panitia harus siap sedia demi suksesnya acara. Dan utamanya, dengan harapan tetesan keringat tersebut dapat menjelma menjadi tinta yang akan menggoresi kolom riwayat kepanitiaan pada CV tercinta.
Panitia event kemahasiswaan dituntut untuk menjadi Event Organizer profesional. Acaranya harus sukses, baik, benar, dan presisi. Jika tidak, caci maki petinggi organisasi akan menanti saat evaluasi kinerja panitia.
Berbeda dengan tim Event Organizer profesional yang sudah jelas penanggung jawabnya, event kemahasiswaan kerap menggaungkan asas ‘acara kita bersama’. Artinya, suksesnya acara itu berkat ketekunan para panitia bersama. Juga, bobroknya acara, merupakan kesalahan bersama.
Nama panitia pun kerap terasingkan dari suksesnya event yang mereka bangun. Sebab, sorot mata publik akan melihat para petinggi organisasi sebagai sosok utama di balik kerennya suatu event.
Selain mengalienasi para panitia, asas ‘acara kita bersama’ juga kerap manipulatif. Ketika kepanitiaan dan acara tidak berjalan dengan mulus, syahdan kesalahan terbesar akan dilimpahkan kepada panitia. Panitia pun dipaksa kuat mental dan akal ketika ada permasalahan, setidaknya akal pikiran panitia harus siap sedia berputar mengelilingi tempurung kepala guna menemukan solusi.
Mungkin panitia tidak akan banyak mengeluh dan akan cepat mendapatkan solusi jika tantangan yang dihadapi hanya sekadar bagaimana acara tersebut nampak kreatif, kekinian, dan berbeda dengan event lainnya. Ya, permasalahan tentang “konsep acara” merupakan rintangan yang mudah.
Lain cerita ketika sudah berhadapan dengan masalah ‘keuangan’. Pendanaan kegiatan menjadi tantangan yang paling bikin pusing tujuh keliling. Sebab, acap kali event kemahasiswaan yang digagas oleh suatu organisasi mahasiswa tidak dianggarkan dengan jelas.
Kembali lagi ke asas “acara kita bersama”, sudi tak sudi mahasiswa yang tergabung dalam kepanitiaan juga harus berpartisipasi dalam proses pengumpulan dana. Tergantung dengan mekanisme yang dipilih, bisa itu dengan mengintensifkan perburuan sponsor, dana usaha atau yang kerap dikenal sebagai danusan, sumbangan proposal berbagai pihak, hingga konsekuensi iuran bersama.
Disfungsi peran organisasi mahasiswa
Event kemahasiswaan nampaknya sudah menjadi fokus utama dalam dinamika organisasi mahasiswa. Kurang afdol rasanya jika suatu masa kepengurusan organisasi mahasiswa tidak memasukkan satu ‘event besar’ dalam rancangan program kerja.
Tidak ada yang salah akan hal itu. Tetapi, jika fokus organisasi hanya pada event eksistensial yang muatannya tidak substansif dan linier dengan peran ‘mahasiswa’, untuk apa?
Omong-omong peran mahasiswa, saya rasa diskursus mengenai “peran mahasiswa” secara mendalam di organisasi-organisasi kemahasiswaan kini sudah menjadi momen langka.
Banyak opini publik mengatakan setidaknya mahasiswa harus memiliki peran sebagai agent of change, iron stock, penjaga nilai, kekuatan moral, dan sebagai pengontrol dalam kehidupan sosial di masyarakat.
Saya tidak akan menjelaskan secara mendalam tentang peran-peran tersebut, sebab penguatan peran-peran mahasiswa seharusnya dapat dilakukan di organisasi-organisasi kemahasiswaan. Sehingga mereka, para mahasiswa, dapat mengetahui makna kata ‘maha’ dalam kata mahasiswa. Atau setidaknya mengetahui alasan mengapa tempat mereka mengenyam pendidikan disebut dengan perguruan ‘tinggi’.
Penyadaran akan pentingnya kehadiran sang ‘mahasiswa’ dalam sistem sosial masyarakat kepada para mahasiswa itu sendiri merupakan pondasi awal yang seharusnya dibina dalam organisasi-organisasi kemahasiswaan. Teknisnya, tergantung dengan ideologis dan jenis organisasi yang bersangkutan.
Namun pada akhirnya satu tujuan yang diharapkan, kesadaran akan pentingnya organisasi mahasiswa dalam rangka mengorganisir mahasiswa guna mengisi perannya di lingkup sosial masyarakat.
Sehingga mahasiswa kokoh secara pemikiran dan memiliki landasan dalam bertindak. Tidak hanya sekadar menjadi objek renyah yang dieksploitasi dalam Event Organizer berkedok kepanitiaan.