BOPM Wacana

Ziarah ke Makam Syekh Mahmud

Dark Mode | Moda Gelap

Oleh: Harry Yassir Elhadidy Siregar

Mereka dikenal sebagai Aulia 44. Awalnya hanyalah saudagar yang berlayar di Samudera Hindia. Siapa sangka, merekalah pembawa agama Islam pertama di Pulau Sumatera.

Ujung bukit itu terlihat jelas dari bawah. Gundul dan gersang. Di sebuah gundukan bukit paling tinggi tampak pagar berwarna putih. Untuk sampai ke sana, kita harus menapaki tujuh ratusan anak tangga. Ada tiga pos pemberhentian untuk istirahat. Sampai di puncak bukit terlihat sebuah makam sepanjang tujuh meter dengan batu nisan setinggi dua meter. Empat sampai tiga makam kecil seukuran biasa berada di sampingnya. Di area seluas 10×10 meter itu tiga pohon tinggi meneduhi makam-makam yang ada.

Seorang pria berumur enam puluhan sedang memimpin bacaanYassin. Ia M Syahri seorang juru kunci makam. Dua wanita berumur lima puluhan, sepasang suami istri muda, dan beberapa anak mengelilingi makam sambil mendengarkan ayat-ayat Al Quran yang dibacakannya. Sekitar tiga puluh menit lamanya. Setelahnya mereka berdoa lalu menyiramkan air ke makam. Ritual selesai dan Syahri beserta rombongan siap menikmati makanan yang sengaja mereka bawa dari bawah.

Siang itu Syahri membawa keluarga dari Jakarta untuk berziarah ke Makam Syekh Mahmud. Makam ini diyakini dapat memberikan karomah kepada siapa saja yang berdoa di tempat ini. Akibatnya makam ini padat didatangi pengunjung pada hari-hari khusus. “Biasanya ramai pada hari libur dan khusus seperti 1 Muharram atau menjelang bulan Ramadhan,” ujar Syahri.

Makam ini merupakan satu dari makam Aulia 44. Ia adalah sebutan untuk para ulama yang membawa ajaran Islam hingga sampai ke Barus, Sumatera Utara. Mereka melakukan perdagangan sambil menyebarkan agama Islam dan Syekh Mahmud adalah pemimpinnya.

Barus menjadi daerah kunjungan mereka pada abad VII M sambil melakukan perdagangan. Saat melakukan perjalanan di Samudera Hindia, mereka istirahat di sebuah pulau untuk melakukan ibadah sholat. Pulau itulah yang kini disebut pulau murshala. Murshala berasal dari bahasa arab yaitu mushala yang berarti tempat beribadah. Jaraknya sekitar satu kilometer dari Kota Barus.

Imam, hatobangon (tetua adat) Barus menceritakan kisah tersebut. Ia menjelaskan para Aulia itu datang ke Barus sebenarnya bukan untuk menyebarkan ajaran agama. Namun, seiring interaksi dengan lingkungan sekitar sedikit demi sedikit banyak masyarakat yang mengikuti agama ini. “Disinilah asal muasal agama Islam di Pulau Sumatera,” paparnya

Hingga akhirnya para aulia tersebut meninggal di Barus dan pemakamnya banyak ditemukan di daerah ini. Secara terpisah pemakaman itu memiliki cerita sendiri. Namun, tetap saja makam Syekh Mahmud yang berada di atas bukit Desa Pananggahan itu paling terkenal. “Makam ini yang menjadi ciri khas Barus sekarang,” Ujar Syahri.

Untuk sampai ke daerah ini, tak perlu menghabiskan banyak biaya karena tak ada biaya retribusi yang dikutip kepada pengunjung. Cukup memperhitungkan ongkos perjalanan dari daerah asal menuju ke tempat ini.

Usai berziarah, pengunjung juga bisa menikmati panorama Barus dari ketinggian. Dari kompleks makam ini, kita bisa menikmati Samudera Hindia, Gugusan Kepulauan Nias, Aceh Singkil dan beberapa pulau kecil lainnya yang tak bernama. Selain itu, kita juga akan menikmati Kota Barus dikelilingi hutan dan beberapa persawahan penduduk. Disini kita tak hanya mendapatkan wisata religi dan mengetahui sejarah Islam di Barus, namun juga menikmati pesona alamnya yang begitu indah. Selamat berziarah!

Komentar Facebook Anda

Redaksi

Badan Otonom Pers Mahasiswa (BOPM) Wacana merupakan pers mahasiswa yang berdiri di luar kampus dan dikelola secara mandiri oleh mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU).

Pentingnya Mempersiapkan CV Bagi Mahasiswa | Podcast Wacana #Eps4