Oleh: Sandra Cattelya
Belum banyak yang tahu tentang sejarah Bosscha. Dari pengalaman pribadi saya, Bosscha baru saya tahu eksistensinya setelah menonton Petualangan Sherina, film anak yang sangat booming di tahun 2000.
Sejarahnya, sekitar tahun 1920-an, saat bangsa ini masih dijajah Belanda, tersebutlah Nederlandsch-Indische Sterrenkundige Vereeniging (NISV) atau Perhimpunan Bintang Hindia Belanda. Dengan tujuan untuk memajukan ilmu astronomi di Hindia Belanda, mereka memutuskan untuk membangun sebuah observatorium di Indonesia. Pada saat itu, seorang tuan tanah perkebunan teh Malabar, Karel Albert Rudolf Bosscha, bersedia menyandang dana utama dan membantu pembelian teropong bintang. Atas jasanya itulah observatorium yang selesai dibangun 1928 itu diberi nama Observatorium Bosscha.
Pada saat Perang Dunia II berkecamuk, observatorium ini tutup dan sempat mengalami kerusakan yang segera direnovasi besar-besaran setelah perang usai. Kemudian hak miliknya diserahkan pada Pemerintah Indonesia pada 17 Oktober 1951. Setelah berdirinya Institut Teknologi Bandung (ITB) pada 1959, observatorium tersebut menjadi bagian dari ITB yang difungsikan sebagai lembaga penelitian dan pendidikan formal astronomi di Indonesia.
Observatorium Bosscha terletak di kawasan dataran tinggi, Lembang, Bandung. Untuk sampai ke sana bisa dengan kendaraan pribadi atau umum. Bila rombongan dengan bus, harus diparkir di gerbang bawah Observatorium Bosscha. Jarak dari gerbang hingga tiba di observatium adalah 800 meter. Bisa ditempuh dengan berjalan kaki, hati-hati tanjakannya, atau menyewa ojek yang banyak ngetem di gerbang bawah, cukup tiga ribu rupiah sekali jalan. Moyang Kasih, Mahasiswa Berprestasi USU 2011 yang sedang berlibur di Bandung Februari lalu, lebih memilih jalan kaki menanjak ke observatorium ketimbang naik ojek. “Enggak begitu jauh. Bisa sekalian lihat pemandangan ladang-ladang dan lembah di sana,” jelasnya.
Mendekati gerbang atas, ada percabangan jalan. Tidak perlu bingung karena petunjuk jalan tertulis di atas jalan, ya, tepat di bawah kaki Anda saat Anda bingung harus pilih jalan kanan atau kiri. Tengok ke bawah, ada tulisan ‘Bosscha’ dengan gambar tanda panah meliuk ke kanan. Berjalan sekitar tiga menit, gerbang besar menyambut disertai pedagang-pedagang miniatur Observatorium Bosscha yang tampaknya buatan tangan. Lucu. Sayang, saya tidak menanyakan harganya.
Jalan ke dalam, hijaunya pepohonan tidak pernah meninggalkan Anda. Kebersihan juga tampaknya selalu dijaga karena Anda pasti tidak akan menemukan sampah tidak pada tempatnya. Pertama kita akan menemukan pos satuan pengamanan (satpam) di sebelah kiri jalan. Jika berjalan ke kiri sedikit saja, kita bisa melihat toko cinderamata yang menjual barang-barang bertema Bosscha, Lembang, maupun Bandung. Tepat di sebelahnya ada kantor informasi. Jadi, jika kita ambil jalan ke sebelah kanan dari pos satpam, kita bisa menemukan Observatorium Bosscha yang tersohor itu, berdiri megah bangunan putih dengan kubah peraknya.
Sebagai benda cagar budaya yang dilindungi dan observatorium satu-satunya di Indonesia, tidak heran kalau lokasinya menarik minat pengunjung. Kebijakan berkunjung pun diatur ketat dengan jadwal tertentu. Dari Selasa sampai Jumat adalah hari kunjungan khusus rombongan instansi, Sabtu untuk kunjungan perorangan, sedangkan setiap Senin diluangkan untuk perawatan instrumen. Membuka Bosscha sebagai tempat kunjungan wisata adalah bentuk pengabdian masyarakat yang dilakukan ITB.
Tidak lepas dari persoalan, Bambang Hidayat, Ketua Observatorium Bosscha pada 1968-1999, mengungkapkan kekecewaannya tentang langit tak berbintang, tentang bagaimana polusi cahaya sangat mengganggu jalannya aktivitas pengamatan bintang. Bahkan menurut Johny Setiawan, astronom asal Indonesia yang bekerja di Max Planck Institute for Astronomy, lokasi Bosscha di Bandung sudah tidak memungkinkan untuk penelitian. Lebih jauh lagi, menurutnya wilayah yang baik adalah Nusa Tenggara Timur karena jauh dari polusi cahaya.
Yah, sebelum benar-benar dipindahkan, cepat Anda mencoba jalan ke Bosscha di Lembang!