Oleh: Aulia Adam
Kenal Pantai Kuta, Seminyak dan Sanur? Pasti nama-nama pantai inilah yang terlintas di pikiran Anda saat mendengar kata Bali. Tapi tahukah Anda jika Bali ternyata tak melulu tentang pantainya yang indah? 33 diorama di Bajra Sandhi salah satunya.
Jumat ketiga di September 2013. Bus kami beranjak dari kampus Udayana yang berada di Jalan Sudirman, Depansar sekitar pukul 11.00 WITA. Rencananya, panitia pelatihan jurnalis kampus se-Indonesia yang saya ikuti itu akan mengajak seluruh peserta berkeliling ke beberapa tempat pariwisata di Bali. Destinasi pertama adalah Monumen Perjuangan Rakyat Bali atau yang sehari-hari mereka sebut Bajra Sandhi.
Dari informasi singkat yang diberikan salah satu panitia, saya tahu kalau tempat itu semacam museum yang berisi diorama perjuangan rakyat Bali, sejak sebelum masehi hingga pascakemerdekaan. Bosan, adalah kata yang terlintas di pikiran saya ketika mendengar penjelasan tersebut.
Jangan salahkan saya! Ini adalah kali pertama saya menginjak tanah dewata. Sementara lima hari yang sudah saya habiskan, dinikmati dalam kelas-kelas materi jurnalistik. Pantai adalah destinasi yang sangat menarik untuk dinikmati di hari kelima ini, begitu pikir saya. Pasalnya, Bali memanglah surgawi pariwisata dunia. Tapi yang terkenal dari provinsi beribukota Denpasar ini ialah pantainya. Setidaknya begitulah pikiran awam semacam saya.
Setelah sekitar dua puluh menit berlalu, bus kami memasuki Jalan Raya Puputan Niti Mandala Renon.
“Sudah mau sampai!” teriak salah seorang panitia. “Di sini itu pusat kotanya Denpasar. Banyak kantor pemerintahan di daerah ini,” tambahnya.
Selang beberapa menit, bus kami berhenti di jalan raya sebelah kanan Lapangan Puputan Renon, lapangan yang mengelilingi Bajra Sandhi. Bentuk bangunan yang unik langsung menarik perhatian. Ornamen khas Hindu yang melekat, jelas terlihat.
Rupanya tak seperti bangunan museum Indonesia umumnya, yang tak jauh-jauh dari bangunan khas kolonialisme Belanda. Bajra Sandhi benar-benar perwujudan dari budaya Bali yang dihuni masyarakat mayoritas Hindu.
Dindingnya berwarna abu-abu batu. Dibangun dari bebatuan yang biasa digunakan untuk membangun candi. Penuh pahatan, lagi-lagi, khas Hindu. Sebenarnya tak heran melihat bangunan begini di Bali, karena hampir keseluruhan bangunan di Bali mengandung ornamen-ornamen yang sama. Namun ada semacam menara berbentuk godam di tengah-tengah bangunan, yang menjulang cukup tinggi. Hal ini menarik perhatian karena bangunan di Bali relatif tak tinggi karena aturan perda.
Kami harus memutar beberapa meter ke kanan untuk langsung bertemu dengan pintu utamanya. Seperti kebanyakan bangunan di Bali, Bajra Sandhi juga dilengkapi dengan gapura raksasa sebelum pintu utamanya. Dari sini tampak jelas Kantor Gubernur Bali tepat di seberang jalannya.
Bajra Sandhi pada dasarnya terdiri dari tiga bangunan utama: Nistaning Utama Mandala yang pertama. Ia merupakan lantai dasar gedung monumen yang berisi ruang informasi, ruang kepustakaan, ruang pameran, ruang pertemuan dan ruang administrasi. Di tengah-tengah ruangan terdapat telaga yang diberi nama Puser Tasik, kolam yang difilosofikan sebagai kolam susu, serta delapan tiang agung.
Saya melihat lukisan I Nyoman Gunarsa berjudul Persiapan Perang Puputan. | Dokumentasi SUARA USU
Setelah melewati Nistaning Utama Mandala, kita akan memasuki bagian kedua: Madyaning Utama Mandala. Di pintu masuknya saya disambut lukisan I Nyoman Gunarsa berjudul Persiapan Perang PuputanMargasana dan beberapa lukisan lainnya.
Masuk ke dalam, terdapat ruangan melingkar berisi 33 diorama perjuangan rakyat Bali. Mereka disusun sesuai arah putaran jam. Dimulai dari 3000 SM, saat masyarakat Bali masih Phitecanthropus Erectus dan berburu babi menggunakan kapak genggam.
Tiap diorama dibatasi oleh kaca dan tulisan JANGAN DISENTUH di bagian bawah. Serta penjelasan isi diorama dalam tiga bahasa: Indonesia, Inggris dan Sanskerta. Ukuran segala isi diorama juga diseragamkan berskala 1:1000.
Ada dua lingkaran dalam ruangan ini. Lingkaran pertama berisi diorama pertama hingga yang ke-22. Sementara di dalamnya adalah lingkaran diorama 23 hingga 33. Tiap diorama berisi sejarah masyarakat Bali membangun ranah pertiwi mereka, beberapa di antaranya adalah peristiwa besar yang pernah terjadi di Bali, seperti Perang Puputan, Perang Jagarawa, Perang Kusamba, Pertempuran Marga, Perlawanan Rakyat Banjar dan lainnya.
Semua konsep bangunan ini, termasuk ke-33 diorama, adalah gagasan seorang mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Udayana bernama Ida Bagus Yadnya pada 1981. Ia berhasil memenangkan kompetisi yang dibuat oleh wali kota Bali saat itu, Ida Bagus Mantra. Nama Bajra Sandhi sendiri tercipta karena konsep dasar bangunan yang memang berbentuk seperti godam atau bajra dalam bahasa Bali.
Bagian yang terakhir adalah Utamaning Utama Mandala, lantai ketiga. Lantai tertinggi. Tempat ini biasa pula disebut ruang ketenangan, karena dari tempat ini kita bisa melihat pemandangan Denpasar yang indah sehingga menimbulkan ketenangan tersendiri. Perempuan yang sedang menstruasi dipantangkan ke tempat ini karena dianggap kotor.
Kebetulan, seluruh informasi tersebut saya dapatkan dari Gede Raka Payadnya, salah seorang pegawai negeri yang bekerja di Bajra Sandhi. Saat itu ia bersama seorang temannya tengah membuka diorama 27 guna perawatan.
Raka bilang, prosesi penggantian daun miniatur dalam diorama yang ia sebut sebagai perawatan tersebut jarang terjadi. “Terakhir kali kami buka begini itu tahun 2000,” katanya. Begitu adanya karena perkara perawatan yang memang cukup sulit. “Untuk buka-tutup kaca dioramanya yang sulit. Butuh tujuh orang tadi. Belum lagi butuh kemampuan khusus untuk merapikan isi diorama,” tambah Raka.
Namun, secara keseluruhan kondisi interior dan eksterior Bajra Sandhi terlihat cukup terawat, bersih dan indah. Tak jarang tempat ini dijadikan sebagai tempat berfoto pra-nikah oleh pasangan calon pengantin.
Bagi orang yang menyukai sejarah dan seni seperti saya, keindahan 33 diorama yang merangkai hikayat perjuangan rakyat Bali ini sungguhlah menarik. Belum lagi budaya Bali dan Hindu yang begitu kental pada tiap lekukan Bajra Sandhi, membuat kita tak bisa sekejap saja menikmati sensasinya. Sayang, waktu kami tak banyak kala itu. Masih ada beberapa destinasi lagi yang mau dituju.
“Ayo, mas! Peserta yang lain sudah di bus, buru!” teriak salah seorang panitia.