BOPM Wacana

Satu Hal

Dark Mode | Moda Gelap

“Ayah, apa yang diberikannya pada petugas itu?” tanyaku penasaran.

“Uang tip nak,” jawab Ayahku tenang.

“Tapi untuk apa, Yah? Kulihat petugas itu tidak melakukan apapun untuk kita,” cercaku tak sabaran.

“Agar kita bisa melintas dari jalan ini. Nanti kau juga akan mengerti sendiri,” jawabnya. Aku hanya menggelengkan kepalaku. Tak mengerti.

Aku ingat percakapan itu terjadi saat aku berumur 10 tahun. Dan sejujurnya waktu itu aku masih tidak mengerti bagaimana bisa kami bebas melenggang melintas dari jalan bebas angkutan umum. Padahal yang aku tahu, seperti yang dikatakan ayah, seharusnya jalan ini hanya boleh dilintasi kendaraan pribadi.

“Yah, mau apa orang yang tadi pagi buta datang ke rumah Bibi?” tanyaku.

“Mereka memberi Bibi uang,” jawab ayah.

“Uang? Mereka tidak terlihat seperti punya utang pada Bibi.”

“Nanti kau akan mengerti, nak.” Aku memandang heran pada ayah sambil menggaruk tengkukku yang tidak gatal.

Percakapan ini terjadi saat pagi hari menjelang pemilihan legislatif. Setelah aku masuk SMP, barulah aku sadar itu yang dikatakan orang-orang sebagai ‘serangan fajar’. Konon, kata guru PKN-ku, mereka membagi-bagikan uang pada masyarakat untuk memilih calon yang mereka dukung bisa naik ke singgasana legislatif yang agung itu.

“Jai, whats going on you?” tanya Ibuku.

Nope mom, just feel bored with this journey.

“Kenapa, Jai? Biasanya kau paling suka kalau Ayah ajak melintas di sepanjang kaki gunung ini.”

“Hm, lama-lama aku jadi bosan, Yah…. Jalan ini tidak pernah bagus. Berlubang di setiap sisi, membuat perutku ingin muntah karena mobilnya terlonjak-lonjak,” jawabku berlebihan.

“Aku heran, padahal liburan semester kemarin banyak pekerja yang mengaspal di sepanjang jalan. Kenapa jalannya cepat sekali rusak? Mereka membetulkan jalan dengan aspal atau tanah, sih? Aku heran. Huh,” lanjutku.

Kulihat Ayah dan Ibu di depanku berpandangan sambil tersenyum.

“Nanti kau juga akan tahu.”

Ugh, lama-lama aku kesal pada jawaban Ayah yang satu itu. Aku buru-buru membuka ponselku. Mencari tahu.

Aku akhirnya mengerti saat membaca sebuah artikel di internet. Ternyata dalam beberapa proyek pembangunan jalan yang menelan biaya miliaran rupiah, sebagian dananya masuk ke pundi-pundi penguasa setempat. Hah, pantas saja!

Aku pindah dari Swiss ke Indonesia, saat usiaku sepuluh tahun. Waktu itu ayahku mendapat beasiswa belajar di Swiss dari seorang pengusaha Indonesia. Selepas bangku perguruan tinggi, Ayah menjadi dosen Sosiologi di tempatnya belajar. Ayah dan Ibu lalu bertemu, jatuh cinta kemudian menikah.

Ibu orang Swiss asli. Saat usiaku menginjak sepuluh tahun, Nenek meminta Ayah kembali ke tanah air. Kata Nenek, dia teramat rindu pada kami karena hanya bisa bertemu dua tahun sekali. Lagi pula, Nenek jadi sendiri setelah Kakek tiada. Jadilah Ayah memboyong kami tinggal di Indonesia. Saat itu pun Ayah sudah mendapat persetujuan mengajar di salah satu perguruan tinggi negeri di sini.

Awal aku bisa benar-benar mengingat saat menginjakkan kaki disini, aku takjub akan perbedannya dengan tempat tinggalku dulu. Maksudku, Swiss di tahun 2013, dinobatkan sebagai negara dengan pendapatan per kapita tertinggi nomor sembilan dunia. Sedangkan Indonesia berada di urutan ke-119.

Hm, bukan aku ingin membandingkan mana yang lebih baik. Tapi mari kuberitahu padamu. Berdasarkan data IMF, untuk produk domestik bruto negara Indonesia masuk urutan ke-15 dunia. Meskipun aku tidak begitu mengerti soal ini, tapi, hey, kemana semua uang domestik bruto itu. Habis dipotong dimana? Atau masuk ke kantong siapa? Seharusnya uang lebih satu triliun dolar Amerika itu bisa meningkatkan pendapatan per kapita bukan?

Ayah yang seorang sosiolog sering mengajakku melihat secara langsung bagaimana perilaku masyarakat. Beliau jarang memberi jawaban nyata seperti pertanyaan yang aku tanyakan tadi. Kata Ayah, ia lebih suka jika aku membangun mindset-ku sendiri dalam memandang suatu hal. Agaknya hal itu benar untuk dilakukan karena aku merasa punya cara berpikirku lebih cepat terbuka. Aku jadi seperti Ayah. Suka mengamati orang-orang.

Kupikir orang Indonesia lebih menarik untuk diamati. Sebagian masyarakatnya masih murni. Dan sebagiannya lagi, yah… seperti yang kau dan aku tahu. Korban-korban pemujaan kepada materi. Memang sulit menjadi orang yang kuat saat kau dihadapkan pada bertumpuk rupiah dan kejujuran.

Kalaupun memilih kejujuran kau akan segera ‘ditendang’ dari ‘ranah’ itu. Dengan alasan klise: kau tidak bisa diajak bekerja sama. Seperti kasus yang menimpa salah satu orang terjenius yang pernah negara ini punya.

Dari pertanyaan-pertanyaanku tadi, salah satu hal yang bisa aku simpulkan adalah jika Jenderal Macbeth dalam karangan Shakespeare melakukan jalan kekerasan menggunakan pedang untuk mendapatkan kekuasaan, maka lain halnya dengan yang terjadi sekarang. Kau tidak perlu pedang. Kau akan dianggap melanggar hak asasi manusia. Kau cukup menggunakan uangmu. Meski tidak pernah dielu-elukan secara nyata, tapi yakinlah itu cara yang paling hebat. Segalanya lebih mudah dengan uang. Kau bahkan tetap akan mendapatkan layanan ekstra jika kau masuk ke dalam bui sekalipun. Hebat bukan?

Aku tahu fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia saja. Bagaimanapun, kita telah masuk ke zona ‘pemuja uang’ yang sedang marak. Kiranya para kelompok rahasia gelap dunia telah berhasil memboikot otak kita menjadikan uang sebagai penentu kebahagiaan.

Harta, tahta, wanita. Setidaknya itulah yang digaungkan mereka. Mereka memasukkan semboyan dan simbol itu melalui dunia hiburan. Kita yang mayoritasnya suka sekali menonton televisi tanpa pernah membaca, melahap bulat-bulat semua itu sampai otak kita rasanya jadi tumpul. Hah! ironi bukan?

Negara ini punya banyak ‘harta karun’ tersembunyi di setiap daerahnya. Sayang sekali sebagian ‘harta karun’ tersebut menjadi milik orang lain. Pun dengan sumber daya manusianya. Kita makan lebih banyak varian sayur dan ikan bukan? Mendapat cahaya matahari cukup sepanjang tahun yang membuat tubuh sehat.

Sekali lagi sayang sekali, karena sumber daya manusia kitalah yang ‘diubek-ubek’ mereka. Hal seperti korupsi tumbuh subur menjamur di setiap lapisan. Seharusnya semua orang perlu dibekali pendidikan agama yang baik untuk mengubah itu semua.

Jika kau berpikir aku lebih memilih tinggal di negara asal ibuku, kau salah. Sejujurnya aku lebih suka disini. Kupikir aku bisa melakukan lebih banyak hal disini. Aku suka cuacanya. Hangat. Budayanya, alamnya dan masyarakatnya. Lagipula aku punya impian yang ingin kulakukan pada negara ini.

“Jai, get down, Sweetheart. Kita sudah sampai,” seru ibuku dari luar mobil membuyarkan lamunanku.

I’m coming in a minute, mom,” sahutku. Aku kemudian membereskan perlengkapanku dan beranjak turun ke sebuah perkampungan kumuh di belakang kaki gunung ini. Bersiap menemukan ‘satu hal’ baru.

Komentar Facebook Anda

Redaksi

Badan Otonom Pers Mahasiswa (BOPM) Wacana merupakan pers mahasiswa yang berdiri di luar kampus dan dikelola secara mandiri oleh mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU).

Pentingnya Mempersiapkan CV Bagi Mahasiswa | Podcast Wacana #Eps4