BOPM Wacana

Pulau Berhala, (Katanya) Tempat Wisata dan Konservasi

Dark Mode | Moda Gelap

Oleh: Sri Wahyuni Fatmawati P dan Fredick Broven Ekayanta Ginting

Dermaga di Pulau Berhala. | Wenty Tambunan
Dermaga di Pulau Berhala. | Wenty Tambunan

Duduk berjajar rapi kurang lebih delapan puluh orang, menghadap seorang laki-laki yang dengan santainya bercerita di depan. Kurniawan, Anggota Satuan Petugas Pengamanan (Satgas PAM) Pulau Berhala cerita macam-macam. Mulai konservasi penyu, hingga legenda Pulau Sokong Nenek.

[dropcap]Y[/dropcap]a, kami berada di Pulau Berhala. Sedang duduk berbaris-baris di undakan batu, sambil sesekali cekikikan mendengar cerita Kurniawan. Ceritanya dimulai dengan menjelaskan dimana tepatnya posisi kami. Pulau Berhala terletak bersebelahan dengan Selat Malaka, secara administrasi pulau ini terletak di Kecamatan Tanjung Beringin, Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara. Panjang garis pantai keseluruhan hanya 2,5 km.

Pulau Berhala sama dengan pulau terdepan kebanyakan. Terpencil, jauh dari darat—25 mil jauhnya dari daratan Serdang Bedagai, selama 5 hingga 6 jam perjalanan menggunakan kapal—dan masih asri, karena memang sangat susah dari jangkauan masyarakat.

Pun, sama dengan pulau terdepan lain, ada satgas di sana. Mereka ditugaskan untuk menjaga pulau terdepan dari ancaman yang datang dari luar NKRI. Kurniawan salah satunya. Maklum, pulau terdepan merupakan perbatasan Indonesia dengan negara tetangga. Kebetulan, Pulau Berhala bersebelahan dengan Malaysia.

Cerita Kurniawan berlanjut ke konservasi penyu yang ada di pulau tersebut. Kurniawan katakan penyu-penyu kerap datang ke pantai untuk bertelur dan meninggalkan telurnya. Kurniawan dan kawan-kawanlah yang bertugas menjaga dan memastikan telur tersebut dalam kondisi baik dan menetas tepat waktu. Sesekali telur-telur tersebut dikeluarkan, para pengunjung ingin melihat seperti apa wujudnya. “Tapi enggak bisa banyak, telur penyu sensitif terhadap suhu, nanti rusak,” sambung Kurniawan.

Lepas penyu, cerita Kurniawan masih berlanjut. Ia ceritakan tentang pulau tetangga, Sokong Seimbang dan Sokong Nenek meski tak banyak. Pulau Sokong Nenek dihuni oleh seorang nenek tua renta pada masa Belanda, lalu mati, dan makamnya ada di sana. Entah benar entah tidak, tapi memang ada sebuah makam di pulau itu.

Yang juga diceritakan Kurniawan adalah bagaimana Pulau Berhala mulai dikenal masyarakat dan kini menjadi tujuan wisata. Kurniawan tak ingat pasti kapan Pulau Berhala mulai ramai dibicarakan dan dikunjungi orang. Tapi sejak dia bertugas, sudah banyak juga pengunjung yang datang.

 Mess Penginapan Satgas Korps Marinir PAM Pulau terdepan Republik Indonesia Pulau Berhala. | Wenty Tambunan
Mess Penginapan Satgas Korps Marinir PAM Pulau terdepan Republik Indonesia Pulau Berhala. | Wenty Tambunan

Pengunjung yang datang boleh memilih menyewa mess marinir seharga kisaran 30 hingga 40 ribu per malam per kepala. Atau lebih memilih tidur di dalam tenda. Untuk makanan, harus memasak sendiri, karena tak ada yang jual makanan di sana. Untuk amannya, memang harus membawa persediaan makanan banyak-banyak dari daratan.

“Awalnya, para pengunjung tidur leleran di pasir, karena kasihan kami tawarkan tidur di mess. Biaya retribusinya untuk pemeliharaan,” sahutnya. Ada juga penambahan genset agar air bisa naik dari mata air. Untuk penerangan, ada solar cell di pulau ini.

Pengunjung juga boleh berkeliling pulau dengan menggunakan perahu karet milik marinir, tapi mesti merogoh kocek Rp15 ribu. Atau mau naik ke mercusuar milik Dinas Perhubungan yang terletak di daratan tinggi pulau, juga harus membayar biaya retribusi sebanyak Rp1500 per kepala. Dari atas mercusuar, pengunjung bisa melihat Pulau Berhala dan Pulau Sokong Seimbang dari kejauhan.

Selain mess penginapan, mercusuar untuk navigasi, dan dermaga di Pulau Berhala juga ada pondok wisata dari Dinas Kelautan dan Perikanan—meskipun namanya Pondok Wisata, jangan harap menemukan sensasi wisata macam apapun di sini. Pondok Wisata ini berupa rumah panggung khas melayu Serdang Bedagai, lengkap dengan warna hijau dan kuningnya, dengan suasana seperti habis diterjang badai, jorok dan berantakan—serta tugu peresmian nama pulau pada 2009 oleh Bupati Serdang Bedagai saat itu, Tengku Erry Nuradi.

Bagi yang ingin mengunjungi Pulau Berhala, tak bisa datang begitu saja dan kapan saja. Sebab tak ada transportasi umum ke sana. Bila ingin, bisa menyeberang ke Pulau Berhala bisa menyewa kapal nelayan.

Pulau Berhala tak ditujukan sebagai tempat tujuan wisata. Sesuai sebutannya, pulau terdepan, Pulau Berhala menjadi tempat satgas untuk menjaga kedaulatan NKRI di batas terluar Indonesia, serta menjadi tempat persinggahan kapal nelayan yang pergi mencari ikan.

“Biasanya nelayan singgah kalau sedang badai, atau sekadar minta persediaan air,” tutur Kurniawan.

Karena memang tidak disediakan untuk tempat wisata, wajar saja fasilitas yang ada memang tidak seperti tempat wisata. Beberapa fasilitas yang digunakan pengunjung adalah milik para marinir. Saat ditanya bagaimana sistem penyewaannya, Kurniawan tak jawab secara rinci.

| Wenty Tambunan
| Wenty Tambunan

 

“Itu yang ngurus pos darat. Kami tinggal terima tamu saja,” sahutnya.

Pos daratlah yang berurusan dengan pengunjung yang akan berkunjung ke sana. Mereka yang menentukan hari, jumlah pengunjung, jumlah mess yang digunakan, dan besaran retribusi yang harus dibayarkan.

Kalau Kurniawan bertugas dan bertanggung jawab untuk Pulau Berhala di pos laut, ada Bambang Irawan yang bertugas di pos darat. Tempat tinggalnya tidak jauh dari Pelabuhan Tanjung Beringin. Ialah yang kerap berurusan dengan pengunjung untuk kesepakatan hari dan lain-lainnya. Namun, Bambang tak cerita banyak perihal ini.

Bambang malah cerita bahwa sejatinya Pulau Berhala adalah pulau terdepan yang dijaga oleh Satgas dari Tentara Nasional Indonesia (TNI). Tercatat ada sebanyak 34 orang,  24 anggota Marinir TNI Angkatan Laut dan sepuluh anggota TNI Angkatan Darat.

“Sebenarnya Pulau Berhala belum jadi tempat wisata karena belum disahkan (oleh Pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai –red),” ujar Bambang.

 Pulau Berhala di siang hari. | Wenty Tambunan
Pulau Berhala di siang hari. | Wenty Tambunan

Namun karena banyak masyarakat yang ingin berkunjung dan menikmati alam Pulau Berhala, Bambang mengatakan masyarakat diizinkan untuk pergi ke sana. Konsekuensinya, setiap pengunjung yang ingin ke Pulau Berhala harus mendapat izin dari satgas yang menjaga pulau tersebut. Karena keselamatan seluruh pengunjung menjadi tanggung jawab satgas.

Izin ini yang coba diperoleh Renti Rosmalis saat ingin berkunjung ke sana. Renti yang juga mahasiswa USU bersama teman-teman komunitasnya ingin mengadakan perjalanan ekowisata ke Pulau Berhala. Awalnya mereka ingin menggunakan travel agen tapi tidak ada yang murah.

“Pernah dengar ada teman yang pergi lewat marinir, jadilah kami coba juga ke sana meski awalnya mau yang resmi aja,” sahutnya.

Mereka mulai hunting lokasi ke Serdang Bedagai hingga tiba di Pelabuhan Tanjung Tiram. Di sana mereka bertemu seseorang di Kantor Dinas Perhubungan yang ada di sana, Tumpal Sitinjak namanya.

Renti jelaskan niat mereka. “Enggak bisa sembarang orang masuk, harus ada tujuan, seperti penelitian,” sahut Tumpal.

“Kami mau ekowisata. Konservasi penyu, edukasi lingkungan dan penjelasan mengenai pulau terdepan,” jelas Renti.

“Oh, kalau seperti itu bisa,” sahut Tumpal.

Akhirnya Renti dapatkan izin. Tinggallah mereka harus menghubungi pemilik kapal ferry yang akan digunakan untuk menyeberang ke Pulau Berhala. Kapal milik Ibu Lestari.

Dinas Perhubungan sendiri sudah mengeluarkan surat edaran untuk menggunakan kapal resmi, tapi banyak yang tak melakukannya.

Bila pergi ke Pulau Berhala tanpa izin Dinas Perhubungan dan tanpa menggunakan kapal resmi yang direkomendasikan, berarti keberangkatannya ilegal.

Saat pengurusan penggunaan kapal itulah Renti alami kesulitan. Mereka diharuskan melapor ke pos marinir yang terletak kurang lebih 1 kilometer dari Pelabuhan Tanjung Beringin untuk mendapat izin pergi ke Pulau Berhala. Rumah biasa dengan pintu merah. Di sanalah Renti bertemu dengan Bambang.

Sesampainya di sana Renti langsung ditanyai, kapan hari keberangkatan, berapa orang dan siapa ketua rombongan. Dijelaskan juga harga sewa mess sebesar Rp30 ribu per malam per kepala. Bambang juga tawarkan kapal nelayan untuk menyeberang. Sebelumnya mereka hubungi Ibu Lestari dan tersepakatilah harga kapal Rp5 juta.

Mereka butuh satu kapal lagi. Entah kenapa, ditawarkan kapal nelayan seharga Rp4,8 juta. Mau tak mau, Renti menggunakan kapal ini karena bingung harus mencari kemana lagi.

Setelah berulang kali alami perubahan harga—sewa mess sempat naik menjadi Rp40 ribu, akhirnya dilepas dengan harga Rp35 ribu. Harga kapal ferry Ibu Lestari naik menjadi Rp5,3 juta—jadilah Renti dan teman-teman siap untuk berangkat. Sebelumnya mereka membayar Rp300 ribu per kapal sebagai pajak perizinan kepada marinir.

Lalu, adakah kembali menghubungi Dinas Perhubungan terkait keberangkatan?

“Ada. Tapi disaranin ambil paket perjalanan. Sama Ibu Lestari itulah” sahut Renti.

Renti merasa mereka (Dinas Perhubungan, marinir, masyarakat, pemilik kapal) sudah tahu sama tahu kalau ada yang ingin berangkat ke Pulau Berhala. Tahu sama tahu juga terkait masalah pembayarannya.

Kurniawan, salah satu Tentara Nasional Indonesia (TNI) menerangkan mengenai Pulau Berhala kepada pengunjung, Jumat (15/5). | Wenty Tambunan
Kurniawan, salah satu Tentara Nasional Indonesia (TNI) menerangkan mengenai Pulau Berhala kepada pengunjung, Jumat (15/5). | Wenty Tambunan

Menurut Kurniawan biaya yang dihabiskan pengunjung kebanyakan untuk kapal yang dibayarkan ke pemilik kapal. Nanti, pemilik kapal yang akan memberikan ‘komisi’ untuk marinir. “Enggak tentu jumlahnya. Bisa juga bahan makanan, tergantung mereka. Yang ngurusin pos darat,” sahutnya.

Pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai tidak tahu menahu mengenai pembayaran yang harus diselesaikan untuk berangkat ke Pulau Berhala. Setidaknya itu yang disampaikan oleh Hadi Sumantri, Kepala Seksi Promosi Bidang Pariwisata Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Serdang Bedagai.

“Di luar wewenang pemerintah,” sahutnya.

Ini dikarenakan belum ada kebijakan undang-undang terkait pembiayaannya, termasuk retribusi pengunjung untuk ke Pulau Berhala. Kalaupun ada yang diharuskan bayar, Hadi katakan itu masuk ke masyarakat penyedia jasa.

Selebihnya Hadi tak tahu kalau setiap kapal harus membayar untuk pajak izin perjalanan.

Sampai saat ini, pengelolaan di Pulau berhala masih di bawah pengawasan Kementerian Pertahanan. Pemkab Serdang Bedagai sebenarnya sudah mulai membicarakan potensi Pulau Berhala. Namun hingga kini, belum ada solusi untuk pengembangan Pulau Berhala sebagai tempat wisata, yang berarti fasilitas yang ada harus ditingkatkan, akses dan transportasi harus dimudahkan.

Pulau Berhala sejatinya tidak bisa dibebani terlalu banyak, ini yang disampaikan Hadi. Dengan luas pulau hanya kurang lebih dua hektare, tentu akan susah mengembangkan pulau menjadi tempat wisata. Kalau pengunjung semakin membludak tentu akan mengganggu pengembangbiakan penyu yang ada di sana.

Pun dibutuhkan biaya yang sangat besar dalam proses pengembangannya. Pemkab harus menyediakan kapal yang aman digunakan, fasilitas penginapan, rumah makan dan lainnya.

Selain itu ada beberapa alasan yang menyebabkan Pulau Berhala tidak dikembangkan sebagai tempat wisata. Pertama, kepentingan pertahanan mengingat Pulau Berhala sebagai pulau terdepan yang berada di Selat Malaka. Kedua, konservasi penyu dan biota laut yang ada di sana, kemungkinan akan rusak habitatnya saat pengunjung semakin banyak. Ketiga, keselamatan ke sana, Pemkab harus menyediakan pos-pos pengamanan yang siaga.

Meski begitu, masyarakat tetap bisa berkunjung ke sana melalui agen perjalanan setelah sebelumnya melakukan pemberitahuan (izin) kepada satgas. Pun jumlah pengunjung juga dibatasi.

Terlepas dari itu semua, Pemkab Serdang Bedagai akan terus cari solusi untuk Pulau Berhala. Karena sebagai pulau terdepan, baiknya memang dimanfaatkan agar tak diambil alih oleh pihak luar. “Setiap tempat punya potensi wisata, kebetulan saja dapatnya pulau kecil,” sahutnya.

Renti keluarkan pernyataan yang kurang lebih sama. Bedanya, ia sarankan agar Pulau Berhala ditutup saja dari pengelolaan wisata dan difokuskan sebagai pulau terdepan dengan penjagaan marinir. Terlebih ia katakan Pulau Berhala tidak memiliki potensi wisata bahari yang cukup bagus. “Lagian pulaunya kecil, kalau harus bagi dua antara pariwisata dengan pertahanan tidak akan cukup,” sahutnya.

Yang paling penting, “Pemkab Serdang Bedagai harus tegas tentang pengelolaan tempat ini, kebanyakan ilegal kan” tambah Renti.

Komentar Facebook Anda

Redaksi

Badan Otonom Pers Mahasiswa (BOPM) Wacana merupakan pers mahasiswa yang berdiri di luar kampus dan dikelola secara mandiri oleh mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU).

Pentingnya Mempersiapkan CV Bagi Mahasiswa | Podcast Wacana #Eps4