BOPM Wacana

Campuhan Windhu Segara, Pura Seluruh Umat

Dark Mode | Moda Gelap

Oleh: Tantry Ika Adriati

Tiga orang umat Hindu sedang berdoa di Pura Campuhan Windhu Segara, Rabu(12/8). | Yulien Lovenny Ester Gultom
Tiga orang umat Hindu sedang berdoa di Pura Campuhan Windhu Segara, Rabu(12/8). | Yulien Lovenny Ester Gultom

Anda bukan umat beragama Hindu dan ingin lihat suasana sembahyang di dalam Pura? Sebaiknya Anda mampir ke Pura ini!

Saya sedang punya waktu luang. Alih-alih istirahat, saya dan empat teman saya memutuskan jalan-jalan ke pantai. Lokasinya di Padang Galak, Kabupaten Kesiman, Denpasar Timur. Wargalah yang memberinya nama Pantai Padang Galak. Lokasinya 8,7 Kilometer dari pusat kota Denpasar, jika mengunakan mobil kita akan tiba dalam waktu 25 menit.

Puas menyusuri pantai ke utara, kami menemukan pura terbuka di sudut pantai. Harus menyeberangi sungai kecil yang terhubung dengan Pantai Padang Galak untuk ke sana. Tapi kini sudah ada jalan lain, lewat bagian timur Taman Festival Bali menuju arah utara Pura Campuhan Windhu Segara.

Setibanya di atas, saya sudah siap kalau tak dibolehkan masuk. Ya, saya tahu dari teman-teman yang beragama Hindu kalau yang boleh masuk ke Pura hanya umat Hindu saja. Apalagi kalau pura berada dalam rumah, tentu hanya keluarga yang tinggal di rumah itu saja yang boleh masuk. “Makanya di Bali banyak sekali pura,” jelas teman saya.

Salah seorang Mangku (pelayan Tuhan) menghampiri kami. Ia mengenakan kemeja putih dibalut kamen (kain yang dililit saat memasuki pura jika tidak memakai rok), dan udeng (ikat kepala). Alih-alih menyuruh kami pergi, Mangku malah mempersilakan kami melihat-lihat isi pura. Katanya, hanya wanita yang sedang haid tak dibolehkan masuk.

 Tak perlu pakai Kamen, Bli?”

“Tidak perlu, yang penting pakaiannya sopan,” ujar Mangku itu dengan logat Balinya. Dedi Ferdiansyah, Mangku yang menyilakan kami tadi membawa kami mengelilingi area pura.

Pura ini dinamai Campuhan Windhu Segara. Campuhan artinya campuran, memiliki arti bahwa pura boleh dimasuki oleh umat dari berbagai agama. Lalu Windhu artinya Tuhan. Sedangkan segara berasal dari bahasa jawa segoro yang artinya pantai, karena lokasi pura ini berada di tepi pantai. Jadi Campuhan Windhu Segara berarti rumah Tuhan yang boleh dimasuki oleh semua umat dan terletak di tepi pantai.

Salah satu pelinggih di Pura Campuhan Windhu Segara, Rabu (12/8). | Yulien Lovenny Ester Gultom
Salah satu pelinggih di Pura Campuhan Windhu Segara, Rabu (12/8). | Yulien Lovenny Ester Gultom

Pura Campuhan Windhu Segara mulai dibangun sejak 7 Juli 2005. Mulanya pura ini dibuat atas permintaan masyarakat di sekitar Pantai Padang Galak. Tak hanya umat Hindu saja, umat Islam, Kristen, Budha, dan yang lainnya turut memberikan sumbangan untuk membangun pura. Oleh karena itu, semua umat beragama juga boleh memasukinya.

“Sebuah pura dibangun atas kehendak umat,” jelas Mahaguru Altreya Narayana, pemilik Pura Campuhan Windhu Segara yang sedang duduk di Griye. Griye merupakan tempat tinggal sulinggeh (pendeta-pemilik pura).

Tak ada perbedaan fungsi dan kegunaan pura ini dengan pura lainnya. Umat yang datang tetap menjalankan proses sembahyang seperti yang dilakukan umat Hindu pada umumnya. Misalnya, seorang umat lebih dulu membersihkan diri dengan air suci, sering disebut dengan melukatMelukat ini menggunakan air pancoran dicampur dengan bunga-bunga. Lalu mangku akan membantu umat berdoa di depan patung.

Hanya saja, dibanding pura lainnya, Pura Campuhan Windhu Segara lebih terbuka dan lebih modern. Pura yang luasnya sekitar empat ribu meter persegi ini punya lebih dari lima patung dewa. Semuanya tersebar di setiap sudut pura.

Tak hanya patung Hindu, patung Budha juga ada, misalnya patung Dewi Kwam In. Banyak yang mengatakan pura ini menyatukan Siwa dan Buddha. Selain itu, juga ada pelinggih Ratu Gede ring Nusa, Bahatara Segara, Dewa Wisnu, dan Pengayatan Gunung Agung.

Gaya arsitektur bangunannya menggunakan arsitek Sad Kahyangan, yakni ditemukan oleh para pemuka agama. Pura Campuhan Windhu Segara ditemukan oleh Mahaguru Altreya.

Sebelum menjadi Mahaguru, dulu ia bernama Mangku Gede Alin Atyana. Setelah ia pergi ke hutan pada 7 Juli 2014 untuk melakukan “Tapa Brata Yoga Semedi” selama 108 hari, kasta Mangku Gede Alin Atyana berubah menjadi Mahaguru Altreya Narayana. Mahaguru merupakan gelar yang diberikan pada penemu pura.

Mahaguru Altreya Narayana sedang menjelaskan sejarah Pura Campuhan Windhu Segara, Rabu (12/8). | Yulien Lovenny Ester Gultom
Mahaguru Altreya Narayana sedang menjelaskan sejarah Pura Campuhan Windhu Segara, Rabu (12/8). | Yulien Lovenny Ester Gultom

Banyak upacara Hindu dilaksanakan di pura ini, seperti melasti, nyegara gunung, dan mebayuh oton. Konon, banyak umat sembuh dari penyakit setelah bersembahyang di pura ini. Tak heran jika pura ini sering dikunjungi umat Hindu dan umat lainnya.

Sayangnya, pura ini belum rampung seluruhnya. Bagian yang sudah selesai hanya bagian utama mandala, disebut zona paling suci di pura. Bagian lainnya seperti madya mandala dan nista mandala belum selesai. Madya mandala merupakan zona tengah pura tempat aktivitas umat dan fasilitas pendukung, sedangkan nista mandala merupakan zona terluar yang merupakan pintu masuk dari lingkungan luar.

Mahaguru jelaskan pura ini belum punya cukup dana, sebab dana pembangunan pura ini berasal dari sumbangan umat yang berkunjung. Jadi pembangunan dilakukan bertahap.

Meski begitu. Abdullah Faqih, Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Airlanga tak permasalahkan hal itu. Ia baru pertama kali datang ke pura  dan langsung disambut baik saat masuk ke pura. “Biasanya kalau yang masuk ke pura bukan umat Hindu, kan enggak dibolehkan,” ujarnya dengan logat jawa. Kalau ia berkunjung ke Bali lagi, ia ingin datang ke pura ini.

Jika anda sedang berkunjung ke Denpasar Timur dan ingin masuk ke dalam pura, sebaiknya singgah dulu ke Pura Campuhan Windhu Segara. Kebetulan, pada 7 Januari 2016 pura ini berulang tahun. Anda bisa lihat upacara-upacara khas Hindu yang dilaksanakan di pura ini.

Komentar Facebook Anda

Redaksi

Badan Otonom Pers Mahasiswa (BOPM) Wacana merupakan pers mahasiswa yang berdiri di luar kampus dan dikelola secara mandiri oleh mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU).

Pentingnya Mempersiapkan CV Bagi Mahasiswa | Podcast Wacana #Eps4

AYO DUKUNG BOPM WACANA!

 

Badan Otonom Pers Mahasiswa (BOPM) Wacana merupakan media yang dikelola secara mandiri oleh mahasiswa USU.
Mari dukung independensi Pers Mahasiswa dengan berdonasi melalui cara pindai/tekan kode QR di atas!

*Mulai dengan minimal Rp10 ribu, Kamu telah berkontribusi pada gerakan kemandirian Pers Mahasiswa.

*Sekilas tentang BOPM Wacana dapat Kamu lihat pada laman "Tentang Kami" di situs ini.

*Seluruh donasi akan dimanfaatkan guna menunjang kerja-kerja jurnalisme publik BOPM Wacana.

#PersMahasiswaBukanHumasKampus