Oleh: Firda Elisa
Judul | Sendiri |
Penulis | Tere Liye |
Penerbit | Sabak Grip |
Tahun Terbit | Oktober 2024 |
Tebal Buku | 320 Halaman |
“Labirin ini sepertinya hendak mengajarkan kepada kita hakikat pencarian… Aku pernah membacanya di buku-buku tua, bahwa kita boleh jadi menemukan banyak hal saat kehilangan… Dan sebaliknya, kita boleh jadi kehilangan banyak hal saat menemukan…”
Kisah diawali dengan sepasang suami istri, berlatar pada tahun 2050, bernama Bambang dan Susi. Keduanya telah hidup hingga 70 tahun lamanya, saat Susi meninggal dunia di suatu pagi, terlelap dalam tidurnya. Cahaya matahari yang lembut menyinari wajahnya dari balik tirai jendela.
Susi dikenal sebagai seorang wanita yang sangat baik hati, gemar menolong sesama, tidak hanya kepada sesama manusia, namun kepada makhluk hidup mana pun di sekitarnya. Orang-orang yang pernah mengenalnya pun, turut bersedih atas kematiannya—keluarga, murid-murid SMA yang pernah diajarnya dahulu, tetangga di tempat tinggal lama, hingga teman-teman terdekatnya. Bambang pun sangat mencintai istrinya, yang ia temui saat berusia 18 tahun, di sebuah jembatan merah di kota mereka, tempat favorit Susi, dan tempat Bambang melamarnya. Mereka menikah, dan dikaruniai 4 orang anak perempuan. Hidup bersama dengan ketiga hewan peliharaan Susi—burung beo, kucing bernama si Oren, dan seekor kura-kura.
Namun, kepergian Susi membuat Bambang sangat terpuruk. Hatinya terasa kosong, hilang semua perasaan senang saat menjalankan rutinitasnya seperti biasa. Melihat keadaan Bapaknya, si anak sulung, Ayu, memutuskan untuk mengambil cuti dari pekerjaannya demi merawat Bapaknya untuk sementara waktu. Sementara, ketiga adiknya kembali ke rumah mereka di luar negeri.
Beberapa minggu setelah kepergian Susi, Bambang mulai bertingkah aneh. Ia kerap bermimpi, dan menafsirkannya bahwa Susi sebenarnya masih hidup. Meskipun dokter keluarga telah mengatakan bahwa Bambang baik-baik saja, hanya respons normal atas situasi kehilangan, namun, tetap saja, Ayu dan ketiga adik-adiknya sangat khawatir.
Mereka berlima, pada suatu hari, mengikuti keinginan Bambang untuk pergi ke jembatan merah itu, setelah Bambang mengatakan bahwa ia akan menemukan sebuah pintu menuju mesin waktu, sebuah misteri yang masih belum bisa dipecahkan meski dengan teknologi masa kini. Ia akan mengulang waktu untuk bertemu Susi lagi. Kesedihan tampaknya membuat ia semakin terpuruk.
Seperti yang ia duga, ia menemukan sebuah pintu melintasi dunia lain, yang membawanya ke Dunia Bawah dengan tubuhnya yang kembali ke usia belasan tahun. Di sanalah seorang Penguasa Hutan tinggal, Puteri Rosa, yang terjebak di tubuh seorang anak perempuan berusia 9 tahun. Bambang, yang berasal dari Dunia Atas, disebut-sebut sebagai utusan dari Dunia Atas yang akan membawa keseimbangan kembali, setelah Dunia Bawah hampir dikuasai oleh Penguasa Kegelapan semenjak perginya keempat Kesatria Cahaya secara tiba-tiba. Di sini, ia berharap bisa bertemu kembali dengan Susi.
Singkat cerita, Bambang, Puteri Rosa, beserta beberapa kesatria, Boe, Kur, dan Kat, memulai petualangan mereka untuk membuka 3 segel di mana mesin waktu itu berada. Pengorbanan nyawa pun dilakukan, demi sampai ke tujuan mereka. Bermacam-macam rintangan pun dihadapi, melawan pasukan kegelapan dengan armada tempur mereka.
Hingga akhirnya, mereka tiba di segel terakhir yang berhasil dibuka oleh Bambang. Namun, keadaan Hutan Utama sudah sangat terdesak karena serangan dari sang Penguasa Kegelapan. Bambang hanya tinggal selangkah lagi untuk membuka pintu mesin waktu itu, membayangkan jembatan merah puluhan tahun lalu, tempat ia bertemu Susi untuk pertama kalinya pada umur 18 tahun. Namun, sebenarnya apa yang ia cari? Lantas, jika ia mengulang waktu, apakah ada hal yang akan berubah? Susi akan tetap meninggal di usianya yang ke tujuh puluh tahun. Apakah dia akan terus mengulang cerita dan mengorbankan banyak nyawa, dan tidak akan bisa menerima dan berdamai dengan kenyataan bahwa Susi telah tiada?
Cerita ini, seperti karya-karya Tere Liye lainnya, yang sudah pernah penulis baca sebelumnya, menggunakan latar di masa depan, dengan teknologi canggih dan cerita fantasi. Mengingatkan penulis dengan karyanya yang berjudul Hujan dan Series Bumi.
Bahasa yang digunakan sederhana, tanpa kosakata-kosakata asing dan rumit yang mempersulit pemahaman pembaca, sangat khas dengan gaya penulisan Tere Liye. Meskipun bergenre fantasi, namun, penyebutan istilah-istilah imajinatif dalam cerita ini terdengar nyaman di telinga, seperti Penguasa Kegelapan, Hutan Utama, Ngarai Seribu Pelangi, dan lainnya.
Alur ceritanya jelas dan runtut, tidak membuat bingung pembaca. Hal ini juga penulis sadari sebagai salah satu kelebihan gaya penulisan Tere Liye, yang membuat pembaca merasa nyaman dan betah untuk menyelesaikan buku ini. Ending yang disajikan pun memuaskan, seperti yang diharapkan oleh para pembacanya. Realistis dan tidak terkesan ‘dipaksakan’.
Dengan makna yang dalam, namun dikemas dalam cerita yang sederhana, cerita ini mengajarkan untuk menerima kehilangan dengan mudah, atau itu hanya akan menyiksa diri sendiri. “Sesungguhnya, kita telah berkali-kali ‘menemukan’ jalan keluar, sepanjang kita mau ‘kehilangan’.”
Seberapa ingin kita memperbaiki masa lalu, hal itu hanya akan sia-sia, tidak ada yang akan berubah karena semuanya telah terjadi. Tapi, yang bisa kita lakukan sekarang adalah mengubah masa depan, dengan terus menjalani hidup sebaik mungkin dan menerimanya, menemukan banyak hal baru yang lebih berharga.
Penulis merekomendasikan buku ini untuk dibaca, terutama bagi penggemar cerita fantasi. Ceritanya masih tergolong ringan, dan sarat akan pesan moral mengenai kehidupan sehari-hari. Melalui karakter Susi, dapat disimpulkan bahwa, jika kita berbuat baik kepada sesama, maka, orang-orang pun akan terus mengingatnya, bahkan hingga kita telah tiada.