BOPM Wacana

Pesan

Dark Mode | Moda Gelap
Ilustrasi: Surya Dua Artha Simanjuntak

 

Tangan keriput ini semakin kuat menggenggam jemariku. Sangat kuat hingga denyut nadi dan aliran deras darahnya terasa olehku. Ia seakan memberi energi. Tapi aku tak tahu itu apa. Lama, sangat lama hingga kurasakan tangannya mulai dingin. Rasanya aku seperti tengah digenggam sebongkah es batu.

Teras Rumah

Teras rumah selalu ramai saat sore. Keluarga kami selalu rajin berkumpul jika sore tiba. Sekedar mengobrol, berbincang perihal sekolah, pendidikan, dan pekerjaan semua dilakukan di teras. Ibu rajin menyiapkan teh dan roti kering sebagai wejangan setiap sore. Rajin pula kami menghabiskannya hanya dengan waktu semenit.

Kali ini kakak tidak tampak. Mungkin terjebak macet. Akhir-akhir ini ia sering terlambat pulang dan tidak ikut ngobrol sore. Katanya pekerjaan selalu menjadi biang kerok ia tidak ikut dalam agenda wajib keluarga. Wajar ia anak tertua. Setelah sarjana ia langsung magang disalah satu perusahaan sampai sekarang.

Seperti biasa ayah selalu menjadi pembuka obrolan. Ayah mananyakan perkembangan anaknya. Perihal sekolah, kejadian dan lain-lain yang dialaminya hari ini. Salalu ada yang menarik, kali ini bersumber dari si bungsu adikku. Katanya ia tembak seorang laki-laki disekolahnya. Menurut kami itu lucu dan keterlaluan. Karena ia menolaknya di depan kepala sekolah.

“Hahahahaha, dia pulanya aneh-aneh bilang gituan di depan kepala sekolah. Ya langsung aku tolak.”

“Kau terlalu kejam untuk jadi perempuan,” kata ayah. ”Kau buat dia malu dan rasanya ia telah menginjak-injak harga dirinya sendiri,” tambah ayah lagi.

“Hahahahaha…” kami sontak kompak tertawa. Begitu seterusnya setiap hari. Tanpa bosan. Dan kami merasa ini menjadi ritual keluarga kami.

***

Suara ambulans memecah jalanan. Semua pengendara dipaksa minggir. Saat itu hujan deras, aku merasa air hujan kini terasa asin. Atau indra pengecapku yang rusak. Di belakang ambulans aku berkendara dengan motorku mengikutinya sampai ia berhenti dan aku juga berhenti.

***

Ruang tamu

Ayah duduk santai di kursi goyang. Dengan buku ia seperti meninggalkan ruang tamu rumahnya dan pindah di ruang lain dalam bukunya. Menikmati setiap diksi bahkan menginterpretasikannya pada dunia nyata sebagai acuan, bisa juga sebagai evalusi.

Sedangkan ibu sibuk dengan kegiatan harianya di dapur. Memasak, mencuc,i dan lain-lain. Selalu dilakukannya dengan telaten dan rapi. Ia menjelma jadi sosok priyayi di rumah ini. Ia tak banyak bicara. Tidak seperti ibu-ibu pada umumnya yang rewel atau cerewet di rumah.

Baginya, anak tak ada gunaya dicereweti karena akan membuatnya makin membangkang. Sudah begitulah kondrat manusia: dilarang, dikerjakan pula. Itulah mengapa ibu tidak pernah cerewet di rumah.

***

Ruang UGD

Suasana sepi mencekam. Dingin AC bersatu dengan aroma khas rumah sakit merasuk dalam hudungku tanpa tersaring bulu hidung. Di seberang sana tampak para dokter dengan segala peralatanya dengan melakukan operasi dadakan.

Setibanya tadi tim langsung bergegas melakukan operasi. Menuntun pasien langsung ke ruangan. Tidak ada yang sempat melihat pasien. Bahkan keluarganya pun tak sempat melihatnya. Tidak ada yang bisa diperbuat. Hanya doalah yang pantas diucapkan semalaman.

***

Teras rumah

Seisi teras pecah dengan tawa. Terdengar suara mobil berhenti di depan pagar. Kakak turun dan melangkah masuk. Ia langsung menyalami ayah dan ibu. Tanpa berganti pakaian ia langsung bergabung. Ia pasti tak ingin tertinggal keseruan kami.

Obrolan kembali berlangsung. Kali ini kakak yang harus menceritakan keseruannya. Semuanya kembali terbius dengan agenda ritual kami. Tawa, nasehat, dan pelajaran menjadi inti diadakanya ritual di teras ini.

***

Ruang UGD

Menjelang shubuh dokter keluar dari ruangannya. Tanda operasi usai. Dokter memanggil salah satu keluarga. Ia meminta agar tidak ada yang mengunjungi pasien sampai selepas shubuh. Ia menyarankan keluarga banyak berdoa saat shubuh karena malaikat mengaminkan setiap yang berdoa.

Selepas shubuh pihak keluarga berkumpul depan ruangan. Dokter mempersilahkan masuk melihat keadaan pasien. Dokter menjabarkan keadaannya. Dengan berat hati ia deskripsikan bahwa tim operasi telah melakukan semaksimal mungkin. Tinggal menunggu hasilnya.

***

Teras Rumah

Ibu tidak ikut saat kakak bercerita. Katanya ada yang harus diselesaikannya di dapur. Obrolan hanya diikuti semua anggota keluarga kecuali ibu. Kakak mulai bercerita, kami menyimak.

Terkadang tertawa, geli sendiri. Itu seperti sudah menjadi keahlianya kakak. Ia mahir dalam mehidupkan suasana tidak hanya gelak tawa saja tapi dicampur dengan perasaan-perasaan lainya.

***

Kampus

Kring..kringkring.

Dering telepon masuk. Seisi kelas diam mencari asal suara. Sial. Aku lupa menggunakan mode hening. Sungguh apes saat telepon masuk ketika dosen menerangkan. Semua mata menuju padaku. Aku berdiri meminta izin dosen mengangkat telepon di luar kelas.

Dari kakak. Apa gerangan ia menelepon. Aku mengangkat. Singkat. aku kembali masuk. Mengambil tasku dan meminta izin pada dosen untuk tidak ikut melanjutkan kelas. Ia menanyakan hal yang terjadi. Aku menjelaskan. Aku bergegas pergi menuju parkiran.

***

Rumah

Kali ini ayah pulang cepat. Sebelum makan siang ia tiba di rumah. Biasanya ayah langsung ke dapur melihat masakan ibu. Ia belum jumpa ibu. Mungkin istirahat sejenak karena lelah.

Sampai selepas dzuhur ibu tak kunjung muncul. Inisiatif. Ayah menjemput ibu. Pasti ketiduran di kamar. Ia coba bangunkan tapi tak juga bangun. Ia goncang tak juga sadar. Dirabanya urat nadinya. Masih berdetak tapi lemah hampir tak terasa.

Ayah menghubungi langsung hubungi ambulans. Menelepon kakak. Agar kakak menelponku dan adik. Supaya bergegas menyusul.

***

Parkiran Kampus

Saat keluar parkir. Sebuah ambulans lewat. Aku yakin itu ambulansnya. Aku ikuti di belakangnya kamanapun ia pergi.

***

Ruang UGD

Dokter meninggalkan kami. Ibu terkena tumor di bagian otak. Menurut keterangan dokter, tumor yang diidap ibu telah alami adanya. Membesar seiring bertambahnya waktu. Kami tak pernah tahu ibu mengidap penyakit. Ibu ceria. Hingga kami sendiri tidak pernah mempertanyakan tetang keadaannya. Ini jelas kesalahan keluarga.
Siang hari sampai sore ibu tak kunjung siuman. Hari ini tidak ada sore mengobrol. Semua hanyut dalam dimensi melankolik. Semua mendadak pendiam. Sore ini. Sore yang menyebalkan.
Malam harinya kami berganti-ganti menjaga ibu. Ayah membagi sif jaga. Kami tinggal melaksanakannya.

Pukul 03.00 waktu itu sif aku berjaga. Saat itu aku melihat tangan ibu mencoba melambai padaku. Ia memanggilku. Ku dekatkan tanganku padanya. Di genggam sekuat tenaganya. Seakan ia menyampaikan sesuatu. Tidak dengan mengucap tapi lewat energi yang disalurkannya pada setiap darahku. Hangat. Lama-kelamaan berubah jadi dingin. Sedingin es batu. Diiringi bunyi panjang bergaris datar pada layar denyut jentung ibu. Pertanda ibu telah tiada.

Semua orang terbangun. Aku hanya diam. Aku ingin tidur. Agar aku tak keluarkan air mataku. Dulu ibu pernah berkata padaku “Jangan nangis. Malu. Kamu harus kuat. Nanti pas ibu pergi kamu jatuh gak ada yang tolong.”

Aku ingat kata-kata itu, saat berumur 5 tahun dan baru belajar mengendari sepeda. Aku terjatuh di aspal. Ibu yang bersepeda di belakang langsung membantuku. Di situlah ia mengatakan hal itu. Saat itu aku sadar kemanapun aku melangkah ibu selalu mengiringiku.

Komentar Facebook Anda

Thariq Ridho

Penulis adalah Mahasiswa Psikologi USU Stambuk 2017.

Pentingnya Mempersiapkan CV Bagi Mahasiswa | Podcast Wacana #Eps4