BOPM Wacana

Gerha Buanaku

Dark Mode | Moda Gelap
Ilustrasi: Surya Dua Artha Simanjuntak

 

Fajar akan hilang bukan tuk dikenang. Bertahanlah, lembayungmu sekejap akan pulang seiring rindu tak lagi dikekang. Lalu perantara angan berteriak, “Buana, saya kembali.”

Sesak. Pikiranku berkecamuk. Sudah genap enam bulan aku berada di tanah rantau. Hidup jauh dari keluarga yang sangat kurindukan demi menuntut pendidikan di perguruan tinggi.

Tekad dan mimpiku sejak kecil adalah meraih gelar pendidikan setingginya supaya bisa bekerja dengan gaji tinggi. Memberi gaji pertamaku untuk kedua orang tua yang teramat kusayangi. Membiayai sekolah adik tunggalku yang berumur lima tahun lebih muda dariku.

Berharap, dia menjadi sukses kelak ketika dewasa. Tak henti kuingatkan dia agar membentuk mimpinya mulai sedini mungkin. Jangan menjadi aku. Manusia yang tidak memikirkan mimpi sebaik mungkin.

Pikirku, asalkan membanggakan dan membahagiakan orang tua, itu saja sudah cukup.
Nyatanya, tidak pernah cukup. Ya, sifat manusia itu sulit dihilangkan.

Menjalani kuliah tidak semudah itu. Tumpukan tugas dengan tenggat tempo berdekatan, materi dari dosen berjejalan harus dimengerti, kegiatan organisasi setidaknya diikuti agar tidak dicap mahasiswi kupu-kupu, alias kuliah-pulang-kuliah-pulang. Yah, belum lagi kewajiban UKT tiap semester, biaya makan, biaya kos.

Ada niat hendak berhenti dan mundur dari bangku perkuliahan yang baru kujalani ini. Semuanya, kupikirkan terlalu memberatkan orang tuaku. Aku, hanyalah beban bagi mereka.

“Kopi ini pahit,” gumamku bermonolog. Aku singgah di kafe setelah jam kuliahku selesai.

Sore ini dihiasi langit mendung. Rinai menghanyutkan emosi hati. Duduk sendiri di sudut kafe. Bersebelahan dengan dinding kaca. Memandang orang-orang berteduh dan kehujanan di luar sana. “Rasanya sesuai dengan hidupku.”

Aku tersenyum miris. Aku rindu ibuku. Aku rindu adikku. Aku rindu Ayahku. Sudah tiga hari sejak terakhir kali aku berkabar lewat telepon dengan mereka.

Hari ini, cuaca seolah mendukungku kian merindu. Namun, rencana itu tanggal di benak kala mengingat terakhir kali menelepon ibu, aku justru bertengkar dengannya.

“Bu, bagaimana jika aku berhenti kuliah? Aku bisa kerja, membantu ibu dan bapak di sana,” ucapku kala itu. Malam menyendu. Menyerah adalah solusi terbaik bagiku.

“Setelah semua yang kami korbankan untukmu, dengan mudahnya kamu bilang begitu?” balas Ibuku, suaranya tersulut emosi.

“Kalau ingin berhenti karena UKT belum bisa kami bayar, maka tunggulah. Ibu akan cari pinjaman. Kamu di sana harus sukses.”

“Tapi, Bu, utang bapak-ibu semakin banyak, bagaimana cara kita membayar semuanya?” tanyaku, bersikeras. Kuliah di kampus negeri ternama di tanah orang ternyata cukup memberatkan bagiku yang berasal dari keluarga sederhana.

“Jangan memikirkan itu. Rezeki pasti ada. Tuhan Maha Adil. Kita manusia tidak boleh terlalu berprasangka terhadap masa depan,” tutur Ibuku dengan suara dinginnya yang berpetuah.

“Lagian, kamu anak pertama di keluarga ini. Kalau kamu tamat SMA, kerja jadi suruhan orang. Mau jadi contoh yang buruk buat adik kamu, iya?”

Aku terdiam. Kelu lidahku. Menjawab pun tidak ada gunanya. Menjadi durhaka dan hanya memancing persiteruan antara ibu dan anak.

Ya. Setelah itu, Ibu mematikan sambungan langsung. Masih kuingat deru napas memburunya. Seolah gejolak emosinya ia tahan agar tak meledak dan tak tumpah ruah padaku. Bahkan aku tak sempat menutup dengan kata afeksi dan sejenisnya.

Menjadi anak sulung harus sekuat ini. Aku hidup ditempa keadaan yang tak biasa. Keadaan yang memaksaku tetap berdiri tegak di kala banyak masalah berusaha mendorongku tumbang. Menjadikan aku pribadi tangguh, mandiri, keras kepala, tetapi hanya menyakiti diri secara diam-diam.

Orang tak pernah tahu. Teman? Aku memilikinya sedikit. Mungkin hanya sebatas alasan agar aku tetap terkategori makhluk sosial.

Seketika aku ingat seseorang. Teman dekat satu-satunya yang kupunya. Ia kuliah di kota yang sama dengan asalku. Tak memilih merantau jauh-jauh sebab berkeyakinan kesuksesan tidak berdasarkan nama kampus alumnus yang kita sandang nantinya.

Dengan ragu, aku meneleponnya. Mudah-mudahan diangkat. Sebab aku butuh teman bicara saat kalut begini.

“Halo?”

Aku terpegun sesaat. Suaranya kudengar setelah mengangkat panggilan. “Halo, Ris. Kamu sibuk?”

“Aira? Wah, sudah lama, ya. Tidak. Kebetulan aku lagi santai di rumah. Ada apa? Kamu baik-baik saja?” Risma, temanku yang begitu perhatian dan peka. Terbukti tutur lembutnya menyapa telingaku, bertanya keadaanku yang sedang tidak baik-baik saja.

“Aku… tidak baik-baik saja,” kataku pelan, jariku bermain di cangkir kopi yang tinggal setengahnya.

Risma tak menjawab langsung. Helaan napasnya kemudian mengalun. “Tidak masalah untuk begitu, Ra. Jangan memaksa dirimu kuat.” Risma menjeda. “Apa kuliahmu bermasalah? Hey, kamu anak yang pintar!”

Aku tertawa. Dia mengingat prestasi dan nilai yang kutoreh selama menempuh sekolah menengah atas bersamanya. Jalan pintas yang membawaku bisa sampai di kampus terkenal kota ini.

“Termasuk orang-orang sekitarku sangat pintar, lebih dariku. Aku kewalahan bersaing dengan mereka,”

“Tapi kamu harus tetap merasa cukup dengan dirimu, oke? Jangan sedih dong!”

“Risma…, aku ingin bertanya padamu.” Aku melanjutkan ketika Risma membalasku dengan penerimaan di seberang sana.

“Jika ditanya mimpi, apa mimpimu saat ini, Ris?”

“Hemmm, pertanyaan yang berat. Tapi, Ra, semakin ke sini, aku merasa buram dengan mimpiku. Entahlah, aku hanya ingin menjadi putri kebanggaan orang tua. Aku juga sangat ingin menolong orang-orang diluar sana yang terlihat kesusahan hidup bahkan sekadar makan sehari-hari. Jika aku melihat mereka, rasanya sedih sekali hatiku.”

“Orang-orang kulihat sangat mudah menentukan mimpinya, Ris. Ketika ditanya, mereka yang sudah punya cita-cita mudah menjawab. Seperti, ingin menjadi dosen, dokter, polisi, tentara. Aku bingung kenapa mereka bisa membentuk ruang mimpinya seterang itu.” Ujarku diselingi kekehan ironi.

Pandanganku buram. Kepalaku seolah tertimpa godam. Runtutan kemelut hidup mulai menarik sisi warasku.

“Yah, itu.. tapi—tunggu dulu. Bagaimana denganmu, Ra”

“Aku?” Tawaku menguar. “Mimpiku juga hampir serupa denganmu. Sepertinya mimpi kita terlalu klise dan sederhana ya, Ris?”

Risma juga tertawa menyimak. “Kau tau, Ra? Antara sederhana dan terlalu takut kecewa dan gagal karena memiliki mimpi yang besar itu beda tipis,” sahut Risma lugas.

“Intinya, jalani saja yang sekarang, Ra. Apapun, jangan menyerah. Aku yakin kamu bisa melewati semuanya. Kita. Pasti bisa. Oke”

Tiap perkataan Risma mendengung di kepalaku. Tersadar. Diriku mulai bangkit dari lautan hasrat ingin menyerah. Risma mampu memotivasi dan memupuskan kecamuk di hatiku.

“Terima kasih, Ris.” Aku mengucapkannya dengan tulus. Bibirku bergaris lengkung. Senyum murni kelegaan hati. “Kau orang yang menarikku dari kegilaan hidup ini,

” Sama-sama, Ra. Tak perlu sungkan. Kita sudah akrab dengan percakapan sejenis ini, bukan?” Tawa Risma menular padaku.

Lalu, percakapan kami mengalir. Membahas topik ringan, sesekali kualitas bahasannya menjadi mendalam. Mulai seputar tugas dan materi kuliah, orang-orang baru, dan topik yang bisa kami jadikan sumber wiyata bagi wawasan kami.

Berselang tak sampai puluhan menit berikutnya, kami mengakhirkan telepon. Aku masih betah duduk di kafe ini. Hujan mereda perlahan. Menyisakan gerimis yang menyejukkan hati. Sejemang, perasaan rinduku kian bertabuh riuh di dalam benak.

Ponselku berdenting. Sebuah notifikasi dari SMS banking masuk ke kontak pesanku. Mataku membelalak, membaca nominal rupiah tak sedikit telah masuk direkeningku melalui pemberitahuan itu.

Luapan emosi semakin kurasakan kala menyadari satu fakta. Mengundang haru. Sekaligus menjadi alasan air mataku berlinang tanpa bisa ditahan.

Dengan jari geletar, aku menekan sederet nomor panggilan. Menghubungi sosok yang sangat penting, tak lain alasanku bertahan kuat sejauh ini.

Sambungan terangkat, suara lembut di ujung sana menyapaku. Isakku mencelos pilu. Mendengar tutur katanya “Halo, Nak? Ibu baru saja mengirim uang UKT dan biaya hidupmu di sana bulan ini. Alhamdulillah, Bapak mendapat rezeki tak terduga. Bapak diberi upah lebih dari atasannya. Tuhan sebaik itu.”

Kala itu, buanaku berkabar baik. Seolah persiteruan kami tak menjadi dendam hingga akhir. Buanaku berbicara halus. Seolah aku adalah manusia yang paling disayangi olehnya. Buanaku. Ibuku.

“Ibu—” Terisak, bibirku gemetar. Kubasahi bibirku yang kering dengan lidahku sendiri supaya pengakuan selanjutnya tak terasa hambar dan semu.

“Aku menyayangimu. Maafkan aku. Aku sayang ibu, bapak, dan adik.”

“Nak—kamu menangis?”

Gelengan gesa kulakukan, meski itu tak dapat dilihat oleh Ibu. Senyumku turut hadir. Kian lebar. Menghiasi wajah kacau akan jejak air mata.

“Ibu—tunggu aku menjadi sukses, ya, Bu? Terima kasih telah menjadi orang tua yang sangat baik untukku, Ibu.”

Benar. Tuhan Maha Adil. Jangan terlalu berprasangkan buruk terhadap masa depan yang sudah direncanakan oleh-Nya dengan begitu baik. Bukan kuasa manusia untuk mengira kemungkinan terburuk di dalam hidupnya atas sesuatu keputusan yang diambil.

Tuhan, tidak pernah lepas memerhatikan hamba-Nya.

Dan, untuk orang tuaku serta adikku. Tunggu aku. Sebentar lagi. Perjuanganku sudah mencapai titik puncaknya. Proses sangat panjang telah kulalui dengan begitu berat tantangannya. Sangat bodoh bila aku putuskan mundur dan berhenti.

Aku berjanji pada diriku sendiri. Suatu saat aku akan pulang dengan kesuksesan yang telah kuraih. Mungkin, sebelum fase puncak itu tiba, aku tetap akan pulang. Bertemu keluargaku. Menghambur ke pelukan hangat mereka. Makan bersama mereka dan kegiatan lain yang penuh kenyamanan dan kedamaian hati.

Keluargaku adalah gerha buanaku. Tempat tinggal menetap abadi. Menuju pulang dari kemanapun tujuan pergi. Sebuah naungan kecil nan megah umpama buana tak pernah membenci.

Komentar Facebook Anda

Primarani MP

Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Kesehatan Masyarakat FKM USU Stambuk 2020. Saat ini Primarani menjabat sebagai Koordinator Kepustakaan dan Riset BOPM Wacana.

Pentingnya Mempersiapkan CV Bagi Mahasiswa | Podcast Wacana #Eps4