Oleh: Arman Maulana
Meskipun tak memiliki fisik sempurna, mereka bertahan. Tak hanya sekadar bertahan, mereka bergelimang medali. Tetapi, sudahkah mereka mendapat perhatian?
Sekitar tahun 2004 lalu, Nurtani Purba mendapat ajakan untuk bergabung dengan kelompok atlet paralimpiade dari seseorang. “Namanya Pak Ismiadi, beliau yang dulu menawarkan saya untuk menjadi atlet angkat beban,” ujarnya. Pak Ismiadi adalah salah seorang pengurus National Paralympic Commite (NPC). NPC sendiri merupakan organisasi yang menaungi atlet-atlet difabel.
Nur meyakini,bahwa dirinya dapat melakukan sesuatu yang membanggakan, setidaknya untuk dirinya sendiri. Berbekal keyakinan itu dirinya memutuskan untuk menjadi seorang atlet paralimpiade pada cabang olahraga (cabor) angkat berat. Nur kemudian mengikuti pemusatan latihan daerah (pelatda) guna mempersiapkan kejuaraan Pekan Olahraga Paralimpiade Nasional (Peparnas) di Palembang tahun 2004, kejuaraan yang hanya diikuti atlet difabel. Hasilnya, Nur mendapatkan prestasi yang cukup membanggakan.
Sejak saat itu, berbagai negara telah disambangi Nur untuk mengikuti berbagai kejuaraan, sebut saja Philipina, Laos, Myanmar, Malaysia, hingga Dubai. Walhasil, antara rentan 2005 hingga 2013 ia mampu mengumpulkan empat medali perak dan satu emas di kejuaraan yang sama yaitu Asean Paralypic Games. Di kejuaraan terakhir di Dubai ia bahkan berhasil membawa Indonesia lolos kualifikasi kejuaraan atlet paralimpiade dunia yang akan diadakan di Brazil 2016 mendatang dengan menempati peringkat keempat dunia.
Dari segi prestasi, Nur merupakan salah satu atlet andalan Sumatera Utara (Sumut), prestasi mentereng mulai dari tingkat nasional sampai internasional membuatnya menjadi anak emas. Nur bahkan bisa dibilang lebih unggul dari atlet normal Sumut lainnya di kejuaraan kelas manapun. Hal tersebut diakui Nirwana Syahputra, pelatih atlet paralimpiade cabor angkat berat.
Akan tetapi, di kesehariannya Nur tetaplah seorang istri dan juga ibu. Profesinya sebagai atlet membuatnya tak memiliki penghasilan tetap. “Seharusnya ada, tapi hingga sekarang tak pernah diiterima,” jelas wanita yang sedang mengandung itu.
Jadilah, para atlet ini sering bergantung pada bonus yang berhasil ia peroleh dari kejuaraan yang diikuti.
Tak hanya soal gaji. Nur juga permasalahkan soal fasilitas dan sarana latihan. Pasalnya, fasilitas yang digunakannya selama ini tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkan. Misalnya saja alat yang digunakan untuk angkat berat, seharusnya alat yang digunakan adalah alat khusus untuk atlet penyandang difabel. Namun yang ada hanya alat untuk atlet normal. Selain itu, kondisi ruang latihan juga sempit penuh dengan alat-alat fitness membuatnya tidak nyaman.
Permasalahan lain juga datang dari asupan makanan untuk para atlet, khususnya cabor angkat berat. Nur mengharapkan adanya bantuan dari pemerintah untuk menyediakan multivitamin khusus untuk atlet yang memang menjadi asupan tiap hari bagi para atlet. Anggaran untuk vitamin yang biasa disebut “puding” oleh para atlet ini cukup besar, harganya dapat mencapai jutaan rupiah. “Ada yang ratusan ribu, tapi itu paling hanya cukup untuk satu minggu saja,” ujar Nur.
Cerita hampir sama datang dari Bahder Johan Harahap, atlet paralimpiade dari cabang olah raga tenis meja ini juga merasakan hal yang sama. Awalnya Johan tertarik dengan iming-iming dari Peraturan Menteri Negara Pemuda Dan Olahraga Republik Indonesia Nomor 0275 Tahun 2010 tentang Persyaratan Dan Mekanisme Pengangkatan Olahragawan Dan Pelatih Olahraga Berprestasi Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil. Dirinya juga berniat untuk menjadi PNS karena menganggap profesinya sebagai atlet tidak akan bertahan lama. “Pengin juga punya penghasilan tetap, jaminanlah istilahnya,” tandasnya.
Kekhawatiran akan masa pensiun dan jaminan masa tua selama ini memang menjadi semacam momok tersendiri bagi atlet. Hal itulah yang dirasakan oleh Johan. Permasalahan-permasalahan seperti yang di alami Nur juga kerap dirasakan Johan, bedanya hanya di alatnya saja. Untuk tenis meja sendiri, peralatan dasar seperti meja saja masih dari hasil sumbangan.
Senada dengan Nur, Johan juga permasalahkan soal perbedaan bonus yang diterima antara atlet paralimpiade dengan atlet normal. Peraih medali perunggu di Peparnas tahun lalu ini mengatakan kalau perbedaan bonusnya sampai dua kali lipat.
“Kalau yang normal itu seratus juta, kami paling cuma dapat lima puluh,” ujarnya.
Macam lagi cerita dari Roslinda Manurung, atlet paralimpiade cabor tenis meja ini bercerita kalau dirinya pernah dialihkan ke cabor catur pada Asean Paralimpiade Games di Myanmar 2013 lalu. Alasannya sederhana, saat Pelatnas ia pernah iseng bermain catur dengan atlet catur lain, hasilnya malah Roslinda menang dari atlet tersebut. Pertandingan tersebut pun terlihat oleh pelatih catur, singkat cerita, jadilah turun surat keterangan yang menyatakan Roslinda dialihkan ke cabor catur.
Sementara itu, sebagai pelatih atlet paralimpiade cabang angkat berat Nirwana juga menyuarakan hal yang sama. Ia bilang kalau kebutuhan asupan gizi atlet sangatlah penting, terutama atlet angkat berat. Karena selama latihan, atlet banyak mengeluarkan energi. Sementara pemerintah tidak mengeluarkan anggaran untuk itu. Jadilah para atlet menggunakan dana pribadi untuk memenuhinya.
Nirwana sering membantu atlet untuk mengatur cara pemenuhan kebutuhan asupan gizinya. Misalnya untuk puding, dibutuhkan sekitar 20 butir putih telur setiap harinya, pastinya akan mengeluarkan biaya besar apabila membelinya eceran. Nirwana mengakalinya dengan cara menawarkan atlet untuk membelinya dari tukang jamu. “Penjual jamu kan hanya butuh kuning telurnya, sedangkan kita (atlet—red) butuh putih telurnya,” jelasnya.
Nirwana pun mengaku kecewa sebab fasilitas yang ada masih di bawah standar. Pun sebenarnya Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) dan Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) Sumut sudah sering datang untuk meninjau, ihwal penambahan fasilitas di tempat latihan. Tetapi, nyatanya tidak terealisasikan sampai sekarang.
Parahnya lagi, Nirwana mengatakan kalau KONI dan Dispora Sumut tidak mau tahu perkembangan atletnya. “Tahunya kalau ada event aja, siapkan anak-anak (atlet—red),” ujarnya. Untuk itu, ia mengaku hilang koordinasi antara dirinya, atlet, dan pengurus.
Berbeda dengan Muhammad Syahli, asisten pelatih atlet peralimpik cabor tenis meja mengatakan tidak memiliki masalah dengan asupan gizi atletnya. Hal itu karena tenis meja memang bukan olahraga berat. Tetapi, lagi-lagi fasilitas menjadi masalah untuk menunjang prestasi atlet.
Dua tahun yang lalu cabor tenis meja pernah mendapat tambahan bet, pukulan pingpong. Namun yang diterima Syahli tak sesuai dengan yang pernah diminta sebelumnya. “Betnya palsu dan sudah kedaluwarsa, jadi kalau mukul bola, bolanya enggak mantul,” imbuhnya. Bahkan, untuk meja saja dihibahkan oleh Abdillah, Wali Kota Medan periode 2000-2008. Hal itu berkat hubungan baik antara pelatih cabor tenis meja, M Ridwan dengan Abdillah.
Dan yang paling mengecewakan Ridwan adalah perbedaan bonus yang diterima atlet paralimpiade dengan atlet normal. “Kasihanlah, fisik mereka, kan kurang dari yang normal, masa bonus pun dibedakan,” pungkasnya.
Jika dilihat dari segi prestasi, atlet paralimpiade Sumut sebenarnya memiliki prospek yang lebih bagus dibanding atlet normal Sumut. Hal tersebut disampaikan langsung Ketua NPC Sumut, Zulkifli. “Atlet difabel Sumut dapatkan peringkat 3 se-Indonesia,” tegasnya.
Buktinya saja, saat Peparnas dua tahun lalu di Riau, altet paralimpiade menyumbangkan 26 medali emas, 18 perak dan 9 perunggu dan menempatkan atlet paralimpiade Sumut di posisi empat nasional. Begitu juga dengan kejuaraan tingkat internasional seperti Asian Paralympic Games yang dilaksanakan di Myanmar tahun lalu, atlet paralimpiade mampu menyumbangkan 14 emas, 13 perak, dan 17 perunggu. Medali itu terdiri dari cabang olahraga atletik, angkat berat, catur, dan tenis meja serta renang.
“Setiap pertandingan, atlet paralimpiade Sumut selalu menyumbangkan medali,” ungkap Zulkifli.
Sama halnya dengan para atlet, Zulkifli menyayangkan pemerintah tak memperhatikan atlet paralimpiade dengan baik. Mulai dari peralatan latihan yang berkarat sampai bonus atlet yang sering tersendat. Dirinya mengatakan kalau atletnya sering berlatih dengan peralatan seadanya dan kurang layak untuk atlet paralimpiade Sumut yang sudah punya prestasi.
Sementara itu, bantahan datang dari Mazrinal, Kepala Bagian Olahraga Rekreasi Dispora Sumut. Ia mengatakan kalau perhatian pemerintah sudah tinggi terhadap atlet paralimpiade Sumut, terutama pada atlet peraih medali. Perhatian yang dimaksudkan Mazrinal berupa pemberian bonus, pengajuan diri sebagai PNS, bahkan rumah bagi para atlet.
Mengenai anggaran pembinaan, Mazrinal mengatakan memang ada dana yang dikucurkan untuk atlet paralimpiade. Dana tersebut disalurkan melalui KONI, namun dananya terbatas. “Jumlahnya saya kurang tahu karena KONI yang berurusan soal anggaran,” ungkap Mazrinal.
Sehubungan dengan ini, Ketua Harian KONI Sumut John Ismadi Lubis membenarkan kalau memang tidak ada anggaran untuk gaji bulanan para atlet paralimpiade. Melainkan adanya uang program pembinaan prestasi (ppi) yang diterima atlet saat melakukan pelatihan menjelang kejuaraan. Biasanya pelatihan dilakukan selama dua tahun sebelum kejuaraan,
Untuk bonus, John mengatakan memang terdapat perbedaan antara atlet paralimpiade dengan atlet normal. Namun, dirinya membantah jika itu dianggap tindakan diskriminasi terhadap atlet paralimpiade. John menjelaskan kalau perbedaan bonus terjadi karna perbedaan tingkatan kejuaraannya.
Dijelaskan John, Peparnas yang diikuti atlet paralimpiade merupakan pekan olahraga cabang biasa yang setara dengan pekan olahraga pelajar, pekan olahraga wartawan, pekan olahraga pegawai negeri serta pekan olahraga remaja, sedangkan PON adalah puncaknya.
Untuk sampai di PON ada beberapa tahap yang harus dilalui atlet, mulai dari seleksi di tingkat kabupaten/kota, lalu naik ke tingkat provinsi, kemudian mengikuti prakualifikasi dan barulah ditetapkan menjadi atlet PON. Untuk itulah, bonus yang diterima atlet PON dengan Peparnas berbeda.
“Perjuangannya (atlet PON—red) berat dan seleksinya ketat,” tutur John. Ditambah John, Peparnas hanya bisa diikuti difabel, sedangkan PON bisa diikuti masyarakat umum termasuk difabel.
Sebelumnya, untuk sarana dan prasarana di tahun 2009 lalu, KONI pernah lakukan perbaikan di kantor NPC. Namun, untuk sekarang sudah tidak dianggarkan lagi. Hal itu karena bila KONI menganggarkan sarana dan prasarana biayanya bisa sangat tinggi sebab pengajuan dari masing-masing cabang olahraga biasanya tinggi. Permasalahan yang terjadi apabila anggaran yang diminta tak sesuai dengan dana yang cair dari pemerintah. “Kalau gitu siapa yang mau nomboki? Pasti KONI, kan?” ujar John.
Terakhir, John berharap harusnya ada peraturan daerah yang jelas tentang kewajiban pemerintah memberi bantuan agar lebih jelas seperti Jakarta. “Yang ada sekarang, kan tergantung mampunya pemerintah karena enggak ada aturan itu,” pungkasnya
Koordinator Liputan: Arman Maulana
Reporter: Apriani Novitasari, Mutia Aisa Rahmi, Yanti Nuraya Situmorang, dan Arman Maulana Manurung
Laporan ini pernah dimuat dalam Tabloid SUARA USU yang terbit Oktober 2014.