Oleh: Annisa Octavi Sheren
Judul | Our Mother’s Land |
Sutradara | Leo Plunkett |
Pemeran | Febriana Firdaus, Sukinah, Aleta Baun, Eva Bande, Farwiza Farhan |
Rilis | 2 November 2020 |
Genre | Dokumenter |
Durasi | 55.44 Menit |
Ibu Bumi telah memberi. Ibu bumi terluka. Ibu Bumi akan mencari keadilan.
Our Mother’s Land rilis di tengah isu lingkungan yang mencuat pasca sahnya Undang-Undang Minerba dan Omibus Law Cipta Kerja. Film ini hadir dalam format dokumenter yang menggambarkan perjuangan masyarakat adat dalam mempertahankan tanahnya dari eksploitasi korporat. Yang paling menarik, Our Mother’s Land fokus mengangkat kisah-kisah gerakan perlawanan yang digagas dan diorganisir langsung oleh para perempuan.
Dalam durasi 55 menit, jurnalis Febriana Firdaus membawa kita bertemu para perempuan penjaga bumi dengan masing-masing cerita perjuangannya. Ada Yu Sukinah yang memimpin perlawanan terhadap pembangunan pabrik semen di Kendeng. Bersama para perempuan lainnya, Yu Sukinah melakukan aksi mengecor kaki di depan Istana Merdeka pada 2016 lalu. Baginya, tak harus menjadi laki-laki untuk bisa memperjuangkan lingkungan.
Perlawanan lain dilakukan Mama Aleta Baun dari Nusa Tenggara timur yang berjuang melindungi desanya dari perusahaan tambang marmer. Mama Aleta menggerakkan ratusan warga desa untuk aksi menduduki tempat-tempat penambangan marmer. Protes pun dilakukan sambil menenun. Ia punya prinsip kuat dalam merawat bumi yakni manusia hanya boleh menjual apa yang dihasilkannya sendiri karena bumi sudah cukup memberi apa yang manusia butuhkan.
Ada pula Eva Bande aktivis asal Sulawesi Tengah yang sempat dipenjara selama 4 tahun karena mengorganisir para petani melawan elite lokal dan korporat kelapa sawit. Serta, ada Farwiza Farhan asal Aceh yang mendedikasikan dirinya untuk kelestarian hutan, alam, dan lingkungan Aceh, khususnya kawasan Leuser.
Cerita para perempuan di atas menunjukkan bagaimana gerakan perempuan yang merupakan manifestasi ekofeminisme. Betapa alam tak dapat terpisahkan dari peran perempuan. Françoise d’Eaubonne mengenalkan istilah ekofeminisme. Ekofeminisme menegaskan etika kepedulian lingkungan untuk mewujudkan keadilan sosial secara ekologis dan penentangan terhadap budaya patriarki. Perempuan mempunyai keterikatan dengan alam. Sebab peran pengelolaan sumber daya untuk kebutuhan rumah tangga atau keluarga banyak dibebankan pada perempuan. Ketika terjadi kerusakan lingkungan, maka yang paling pertama terdampak adalah perempuan. Ekofeminisme menekankan bahwa kelestarian lingkungan harus diperjuangkan agar tiada penindasan terhadap perempuan.
Seorang tokoh ekofeminisme Karen J. Warren mengemukakan poin penting tentang keterkaitan keduanya yakni relasi kuasa, perspektif feminisme, dan keadilan. Ia memandang bahwa penindasan pun dominasi terhadap perempuan dan alam terjadi melalui relasi kuasa. Manusia mereduksi alam dan menjadikannya komoditas. Kuasa atas lingkungan selama ini masih didominasi oleh laki-laki melalui kedudukan atau kepemilikan modal. Kondisi inilah yang membuat eksploitasi lingkungan tidak mempertimbangkan dampaknya bagi perempuan dengan peran yang diembannya. Padahal, dalam perspektif feminisme, seharusnya tiada kekuasaan yang akhirnya menghadirkan penindasan terhadap gender tertentu. Dalam kasus para perempuan di Mother’s Land, kita melihat bagaimana para perempuan menuntut dan melawan upaya perusakan lingkungan itu dengan berbagai cara, dan lagi, tidak ada keadilan yang didapatkan, bahkan di mata hukum. Korporat sebagai pihak yang merasa punya kuasa lantas berusaha mengeksploitasi tanah masyarakat adat untuk kepentingannya. Mereduksi alam secara tidak langsung juga mereduksi peran perempuan yang mengelola alam tersebut.
Dalam film ini, Mama Lodia, salah satu perempuan yang juga berjuang bersama Mama Aleta Baun, terpaksa meninggalkan aktivitas pertaniannya untuk fokus berjuang melawan perusahaan tambang marmer yang hendak merenggut tanah yang menjadi sumber pencarian dan penghidupannya. Baginya, alam adalah milik bersama, dan untuk kepentingan bersama.
Kerusakan alam dianggap termasuk isu perempuan karena perempuan dan anak-anak menjadi pihak yang terkena dampak terbesar. Hal ini disebabkan peran sosial tradisional perempuan sebagai pengelola, pengasuh dan pemelihara sumberdaya.
Etika lingkungan itu diterapkan dengan nilai-nilai kerja sama, kepedulian, cinta dan toleransi dalam upaya untuk melestarikan alam. Pengelolaan yang demikian menghadirkan kesetaraan gender manusia dalam kaitannya dengan alam semesta. Our Mothers’ Land mengabadikan peran yang diambil para tokoh perempuan dalam melindungi Bumi yang mereka anggap seperti Ibu: rela memberi dan mengasihi.
Pemecahan persoalan ekologi harus memperhatikan ketidakadilan yang dialami perempuan di dalam masyarakatnya. Batas-batas patriarkis tak jarang kian menggerus peran perempuan, termasuk dalam berjuang dan bersuara melawan ketidakadilan. Luar biasanya, Yu Sukinah, Mama Aleta, Eva Bande dan Farwiza bisa mendobrak batas-batas itu dan maju melawan penindasan. Melawan adalah pilihan dan keharusan. Demi keberlangsungan alam, apapun rela mereka korbankan.
Febriana Firdaus pada monolog di awal film pun menggambarkan bagaimana masyarakat konservatif turut membatasi gerak perempuan. Namun, tetap ada perempuan-perempuan yang mampu mendobrak batasan-batasan patriarkis tersebut sehingga bisa membangun gerakannya sendiri. Melalui perjalanannya menemui para tokoh perempuan ini, Febriana ingin mencari tahu perempuan yang menjadi pemimpin pergerakan dan apa yang terjadi pada mereka setelahnya.
Secara keseluruhan, Febriana Firdaus mengumpulkan cerita-cerita penuh makna dari para pejuang perempuan ini dengan dialog dalam yang sangat menyentuh. Pengambilan gambar dari berbagai sudut pandang luas hingga detail cukup menjelaskan realita yang ada secara visual. Dukungan backsound apik pun turut menggetarkan hati kala menyaksikan perjuangan para perempuan ini. Pengalaman perjuangan dengan berbagai pengorbananan yang solid dan tulus. Demi Ibu Bumi. Demi anak cucu di kemudian hari.
Kita patut berterima kasih pada para pejuang perempuan yang bercerita di film ini yang mengetuk hati penonton bahwa bumi telah banyak memberi, bumi terus memelihara dan mencukupi kebutuhan manusia di dalamnya dengan cuma-cuma. Bumi, dengan alamnya pun menjadi sumber ilmu dan sumber penghidupan serta peradaban. Kelestarian harusnya menjadi keniscayaan.
Hidup perempuan yang melawan!