BOPM Wacana

Working Man: Gambaran Realitas dan Harapan Kelas Pekerja

Dark Mode | Moda Gelap
Sumber Istimewa

 

Oleh: Surya Dua Artha Simanjuntak

Judul Working Man
Sutradara Robert Jury
Penulis Skenario Robert Jury
Pemeran Peter Gerety, Billy Brown, Talia Shire
Rilis 5 Mei 2020
Durasi 109 menit
Genre Drama

Berlatar belakang kehidupan kelas pekerja, Working Man sarat akan pesan penting yang ditampilkan secara implisit namun provokatif.

Rambutnya sudah memutih, tenaganya tak banyak lagi, jalannya juga sudah tertatih. Seharusnya sudah waktunya Allery (Peter Gerety) pensiun, menikmati hari tua. Terhitung sudah berpuluh-puluh tahun ia menghabiskan hari bekerja sebagai buruh di pabrik plastik bernama New Liberty yang terletak dekat rumahnya.

Hari itu tak jauh beda. Hanya saja, itu hari terakhir New Liberty beroperasi. Ya, pabrik akan tutup. Semua buruh diberhentikan. Keseharian Allery yang monoton segera berakhir.

Namun, ternyata esoknya Allery kembali ke pabrik. Tubuhnya tak bisa diajak bersantai. Ia harus bekerja. Sayang, listrik pabrik sudah diputus. Akhirnya, ia hanya bisa membersihkan pabrik.

Hari-hari berikutnya juga seperti itu. Ia terus datang: menyelinap masuk ke pabrik dan membersihkan alat-alat produksi. Tak ada yang bisa menghentikan Allery—walau sudah diingatkan istri dan tetangganya. Akhirnya, polisi yang harus turun tangan.

Namun, kebengalan Allery tak berhenti sampai situ. Seorang tetangga yang juga rekan kerjanya, Walter (Billy Brown), ternyata punya kunci masuk ke pabrik. Bahkan, Walter dapat menipu PLN agar kembali mengaliri listrik ke pabrik. New Liberty pun dapat beroperasi seperti sediakala.

Desas-desus aktivitas rahasia Allery dan Walter tersebar dengan cepat. Mendengar kabar itu, buruh pabrik lainnya juga tergerak kembali ke New Liberty. Akhirnya, pabrik diduduki dan dijalankan secara kolektif oleh para buruh.

Selama empat hari mereka berhasil menduduki pabrik. Mereka melakukan kerja produksi seperti sediakala, bahkan semangat solidaritas antar buruh sangat terasa. Para buruh bekerja dengan suka cita. Apalagi setelah dijanjikan hasil produksi mereka akan diborong para pembeli.

Namun, aktivitas mereka terhenti ketika pemilik pabrik bersedia melakukan negosiasi, dengan Allery sebagai perwakilannya. Dalam negosiasi itu, pemilik pabrik berniat memberikan pesangon asalkan buruh berhenti menduduki pabrik. Tentu saja Allery berniat menolak tawaran itu. Namun, disinilah plot twist cerita muncul.

Lewat negosiasi itu, Allery mengetahui fakta baru yang membuat keadaan berubah 180 derajat, fakta yang bahkan membuat perjuangan buruh berakhir.

Sumber Istimewa

Itulah gambaran yang ingin disampai Working Man. Film karya Robert Jury ini ingin mengajak penontonnya melihat realitas dan harapan para kelas pekerja: apa masalah yang kerap dialami buruh dan bagaimana idealnya buruh menghadapi masalah itu.

Sebagai buruh, kehilangan pekerjaan sama dengan kiamat kecil. Working Man menggambarkan realitas ini dengan baik.

Setelah pabrik tutup, Allery, Walter, dan para buruh lainnya kesulitan mencari pekerjaan. Mereka harus bersolidaritas, berjuang mendapatkan kembali pekerjaannya.

Masalah seperti ini memang makin lazim pada era liberalisasi perdagangan dunia. Pabrik-pabrik yang tak mampu bersaing di pasar global akan bangkrut dan tutup. Akibatnya, terjadi PHK massal. Para buruh akan kehilangan pekerjaannya.

Realitas ini digambarkan secara dramatis pada suatu dialog antara Walter dengan seorang buruh: “Saat aku kecil, ada enam sampai tujuh pabrik besar di kota ini. New Liberty adalah yang terakhir. Saat pabrik itu dibuka, ada sekitar 500 buruh, kemudian PHK terjadi, lalu buruh menurun menjadi 100, lalu 50 buruh… Astaga! Perusahaan dan para politisi, mereka bilang akan mengurus kita. Persetan dengan omong kosong itu!”

Rasanya, inilah kemunafikan ekonomi perdagangan bebas yang coba digambarkan dalam Working Man. Tanpa perlindungan sosial kepada buruh yang terlantar akibat kehilangan pekerja, liberalisasi perdagangan global hanya membuat kualitas hidup mereka makin buruk dari sebelumnya.

Namun selain itu—kontras dengan masalah yang ditampilkan, Working Man juga coba menggambarkan cita-cita perjuangan kelas pekerja ala kaum Marxis: bagaimana pabrik dapat dijalankan secara kolektif oleh para buruh tanpa campur tangan para kapitalis atau para pekerja kerah putih.

Itulah gambaran masyarakat industri pasca-kapitalisme yang dibayangkan Karl Marx dan coba direka dalam Working Man. Ketika kesadaran kelas para buruh sudah tercipta, akan terjadi perjuangan kelas yang mana kelas pekerja akan merebut alat-alat produksi dari para kapitalis—seperti yang dilakukan Allery dan kawan-kawan. Mereka sadar, kenapa harus bekerja di bawah eksploitasi para kapitalis ketika mereka bisa memproduksi sendiri, yang diperlukan hanya merebut alat produksi!

Ya, walau ditampilkan secara implisit lewat drama yang sangat kental, rasanya pesan utama yang ingin disampaikan Robert Jury dalam film ini adalah semangat revolusioner Marxisme.

Inilah keistimewaan film-film indie yang kerap kali tak ditemukan dari industri film arus utama. Working Man sebagai film indie berani menyampaikan pesan progresif yang menentang pandangan umum.

Di atas pesan realisme sosialis yang sentimental itu, sebenarnya Working Man juga dapat dilihat sebagai film yang ingin menyampaikan pentingnya kesehatan mental melalui latar belakang dua karakter utamanya: Allery si tua yang masih terus berduka atas kematian anak semata wayangnya dan Walter si pemabuk yang delusionis.

Akhirnya, penonton diberi kebebasan ingin melihat film seperti apa. Yang pasti, Working Man adalah film drama yang sarat akan pesan penting, dinarasikan secara sederhana namun provokatif, dan terasa realistis lewat penampilan epik para aktor utamanya.

Komentar Facebook Anda

Surya Dua Artha Simanjuntak

Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP USU Stambuk 2017.

Pentingnya Mempersiapkan CV Bagi Mahasiswa | Podcast Wacana #Eps4