BOPM Wacana

Menilik Dampak Penyimpangan Agama melalui Film Siksa Kubur

Dark Mode | Moda Gelap
Sumber Istimewa
Sumber Istimewa
Judul Siksa Kubur
Sutradara/Penulis Joko Anwar
Pemeran Faradina Mufti, Reza Rahardian, Christine Hakim, Slamet Rahardjo,

Fachry Albar, Djenar Maesa Ayu, Putri Ayudya, Happy Salma,

Widuri Puteri, Muzakki Ramdhan, Runny Rudiyanti, Afrian Arisandy,

Ismail Basbeth, Arswendy Bening Swara, Zulfa Maharani, Jajang C. Noer,

Mian Tiara, Niniek L.Karim, Haydar Salishz, Tia Hasibuan, Ical Tanjung,

Natalius Chendana, Tomy Dewo, Tony Merle, Uwie Balfas

Durasi 117 Menit
Rilis 11 April 2024
Genre Horor
Tersedia di XXI, Cinepolis

Disajikan dengan visual sinematik dan konsep psychological horror dari sang penulis, kompleksitas alur film dikemas dengan banyak adegan ‘ganjil’ yang berhasil mengungkap pesan moral tentang isu yang kerap terjadi belakangan ini.

Agama merupakan hal yang melekat bagi mayoritas individu. Pada umumnya, individu menjadikan agama sebagai pedoman hidup karena banyaknya pengajaran untuk berperilaku baik, termasuk hal-hal baik yang manusia dapatkan dari Tuhan apabila mengamalkan ajaran baik dari agama yang dianutnya.

Sebaliknya, kita paham bahwa tidak ada manusia tanpa dosa di muka bumi ini. Pengajaran agama untuk berperilaku baik sering luput dari manusia. Namun, bagaimana jadinya apabila perbuatan menyimpang dapat dianggap baik bagi manusia hanya karena dilakukan atas nama agama?

Pertanyaan itu terjawab melalui film ini. Dramaturgi dengan gaya teatrikal, dan dibalut dengan alur film serta dialog yang menguji nalar, siksa kubur menggambarkan pemikiran gamblang dari Joko Anwar yang mengupas film horor dengan sentuhan religi ini menjadi daya tarik tersendiri.

Joko memilih untuk menyajikan konsep-konsep kehidupan setelah mati menurut agama Islam dengan menampilkan berbagai konsep pengajaran secara metamorfosis untuk mempertahankan dramatisasi pada film. Secara tersirat, poin penting didapatkan melalui dialog dan adegan yang dapat diterima penonton secara logis tanpa harus ‘ugal-ugalan’ menyampaikan realitas karakteristik isu kejahatan yang akan mendapat siksa kubur ataupun menurunkan dan menghilangkan imaji khas milik sutradara serta kompleksitas alur cerita.

Bergaya psychological horror dari penulis, film yang tayang pada 11 April 2024 ini, dimulai dengan adegan yang berisi kebahagiaan dari sebuah keluarga pemilik toko roti. Menariknya, pada awal film, penonton disuguhkan dengan beberapa dialog dan adegan kikuk yang cukup memacu detak jantung menjadi tak karuan.

Mengisahkan kehidupan dua bersaudara, Sita dan Adil yang harus dihadapkan pada kejadian tragis pada orang tua mereka yang menjadi korban bom bunuh diri yang dilakukan oleh sekelompok misterius yang mengklaim bahwa tindakan tersebut sebagai jihad setelah mendengar suara penderitaan orang berdosa yang disiksa di dalam kubur.

Dengan meledakkan diri, apakah dengan begitu manusia tidak mendapat siksa kubur hanya karena tubuhnya dihancurkan oleh bom tersebut? Hal ini mengingatkan kita pada fakta yang kerap terjadi saat ini tentang kekeliruan konsep penanaman nilai agama, penabian palsu, hingga unsur isu terorisme yang mengatasnamakan agama.

Menjelang kematian orang tuanya, penulis menggambarkan perilaku tamak dan egois dari manusia melalui adegan Sita yang menahan pelaku bom bunuh diri yang keluar dari toko setelah mencuri uang milik tokonya. Hal ini sebenarnya dapat dipertimbangkan mengingat toko roti mereka yang sepi pengunjung dan susahnya meraup pemasukan. Namun menurut saya, adegan ini berpesan bahwa seharusnya ikhlas adalah tindakan tepat yang semestinya berpeluang untuk menunda kematian orang tua mereka.

Berangkat dari fenomena bom bunuh diri, Sita dan Adil diberangkatkan ke sebuah pesantren. Sita yang merasa hidupnya jatuh terpuruk kian mempertanyakan eksistensi agama dan siksa kubur.

Hal ini semakin menjadi-jadi dengan adanya kejadian miris yang menimpa saudaranya, Adil yang harus menjadi korban pelecehan seksual dari seorang donatur pesantren bernama Wahyu. Satu lagi isu sensitif yang membawa agama dijabarkan dalam adegan ini. Gangguan perilaku seksual berupa pedofilia serta sering terjadinya pelecehan seksual di lingkup pendidikan berbasis keagamaan yang masih menghantui saat ini telah disampaikan di sini.

Sifat egois dari Sita lagi-lagi jelas disampaikan secara tersirat melalui sikapnya. Alih-alih membantu memulihkan kondisi mental dan traumatis Adil, Sita semakin gencar untuk mengejar pembuktian keberadaan siksa kubur. Kisah berlanjut hingga mereka dewasa. Sita bekerja di panti jompo dan Adil yang bekerja sebagai petugas pemakaman jenazah berusaha menemukan jawaban dari pertanyaan Sita tentang keberadaan siksa kubur.

Di panti jompo tempat Sita bekerja, akhirnya ia menemukan Wahyu kembali. Mereka akhirnya menjadikan Wahyu untuk menjawab pembuktian dari keberadaan siksa kubur. Wahyu yang mereka anggap sebagai orang berdosa karena telah membuat Adil dan santri lainnya menjadi korban pelecehan seksual yang berujung trauma.

Usai mengetahui bahwa Sita dan Adil merupakan santri yang menjadi korbannya dulu, membuat Wahyu tewas karena bunuh diri. Hal ini menjadi angin segar bagi Sita karena sedikit lagi pertanyaannya terjawab.

Dengan cara yang ekstrim Sita membawa kamera dan ikut masuk ke dalam liang kubur bersama Wahyu untuk memantau aktivitas di dalamnya. Daya imajinasi semakin kontras dari adegan ini. Alur maju mundur dan twist yang berhasil membuat penonton seperti detektif dalam menginterpretasi teka-teki dari alurnya.

Sebagai penonton, apresiasi saya untuk sang penulis atas karya jenius yang melibatkan fenomena psikologis pada pemain. Pada detik Adil dibawa Wahyu untuk dijadikan korban pemuas seksualnya, Sita sempat mengejar Adil dan dihadang penjaga rumah Wahyu.

Menariknya, daripada memilih menyerang, Sita menawarkan selembar lima puluh ribu miliknya kepada pengawal yang siap kapan pun menembaknya dengan senapan. Hal ini mengungkap rasa trauma Sita yang kehilangan orang tuanya karena uang. Melalui ini, Sita berpikir bahwa uang dapat menyelamatkan Adil dari Wahyu.

Tak hanya itu, Adil yang mendadak mengangkat kaki dari rumahnya karena diusir sang istri nyatanya bukan tanpa sebab. Nyatanya, istrinya mengetahui bahwa Adil memiliki gangguan seksual berupa fetisisme pada mayat.

Boleh jadi, pengalaman buruk yang dialami Adil sebelumnya berpengaruh pada gangguan seksualnya saat dewasa. Banyak hal-hal mendetail yang menarik yang disampaikan Joko Anwar pada film ini apabila ditonton dengan teliti. Agak keliru rasanya apabila menjadikan Siksa Kubur sebagai opsi film yang ditonton untuk hiburan semata.

Secara audio-visual, film ini mampu mendukung alur cerita tanpa terkesan berlebihan. Siksa kubur membuktikan kuatnya daya imajinasi Joko Anwar yang tak diragukan lagi kapasitasnya dalam perfilman horor. Terlepas dari kreativitasnya yang tinggi, semoga film ini dapat ditonton dengan pandangan terbuka tanpa menaruh tendensius buruk pada pihak tertentu.

Komentar Facebook Anda

Rachel Caroline L. Toruan

Penulis adalah Mahasiswa Psikologi USU Stambuk 2021. Saat ini Rachel menjabat sebagai Pemimpin Umum BOPM Wacana.

Pentingnya Mempersiapkan CV Bagi Mahasiswa | Podcast Wacana #Eps4