BOPM Wacana

Normalisasi Hal Ekstrim

Dark Mode | Moda Gelap
Ilustrasi: Sondang William Gabriel Manalu

Jika Anda seorang pemerhati negara, apakah Anda menyadari bahwa sebuah isu besar seringkali ditimpa dengan isu yang lebih besar?

Tulisan ini mengambil contoh beberapa rentetan kasus besar di Indonesia mulai tahun 2019 sampai tahun 2021 yang terjadi secara beruntun. Dimulai dari kebakaran hutan, kerancuan RKUHP, Undang-Undang KPK yang melucuti KPK sendiri, RUU Cipta Kerja yang saat ini sudah disahkan menjadi Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Ciptakerja, sampai kepada soal tes wawasan kebangasaan yang nyeleneh pada pegawai KPK.

Rentetan kasus tersebut pun secara bergiliran mewarnai berita di saluran TV nasional. Melihat algoritma yang besar pada kasus ini, sebenarnya secara tidak langsung hal ini yang menjadi sumber keuntungan besar bagi media. Kalo kata salah satu band favorite saya, Feast, dalam lagunya Dapur Keluarga: mencari nafkah dari kejahatan.

Terlepas dari hal tersebut, sepertinya perlu disadari terdapat pola normalisasi pada kasus-kasus ekstrim tersebut. Katakan saja Overton Windows, sebuah teori yang diciptakan oleh Joseph P. Overton, Wakil Presiden Senior Pusat Kebajikan Publik Mackinac. Overton Window sendiri adalah sebuah pendekatan untuk mengidentifikasi ide-ide yang mendefinisikan spektrum penerimaan kebijakan pemerintah.

Singkatnya, Overton Windows adalah sebuah pola dimana pemerintah mengidentifikasi opini-opini kontra dari masyarakat atas kebijakan pemerintah dan selanjutnya melakukan suatu aksi agar kebijakan tersebut dapat diterima oleh masyarakat. Dalam hal ini dapat dilihat aksi dari pemerintah yang secara terang-terangan menyuguhkan masyarakat kasus-kasus baru yang lebih ekstrim sehingga masyarakat  berganti fokus bahkan menganggap kasus sebelumnya masih dalam batas wajar mengingat kasus baru lebih ekstrim daripada kasus-kasus sebelumnya.

Dan sepertinya dampak dari hal tersebut mengakibatkan kebingungan dari para masyarakat dalam merangkumkan fokus perjuangannya. Belum lagi aspek eksternal seperti kasus perperangan antara Israel dan palestina yang semakin mengaburkan arah perjuangan masyarakat. Masyarakat konon membela palestina mati-matian dan bahkan berseturu sesama masyarakat yang berbeda pandangan mengenai perang tersebut dibandingkan memperhatikan kondisi negara sendiri.  Masyarakat sendiri sepertinya sudah lupa bahwa Indonesia sedang tidak baik-baik saja.

Selain itu masyarakat juga semakin apatis terhadap politik. Direktur Indikator Politik Indonesia Burhanudin Muhtadi, mengatakan kepercayaan kepada politik semakin ambrol saat masyarakat mengikuti berita politik. “Intensitas masyarakat dalam mengikuti berita politik itu dinilai turut memengaruhi buruknya perspektif masyarakat pada politik,” ungkapnya.

Menurut data survei Indikator Politik Indonesia, dari 2.290 orang yang menjadi responden, sebanyak 67 persen mengaku tidak tertarik dengan segala hal yang berkaitan dengan politik.

Tentu sangat disayangkan ketika Indonesia sedang tidak baik-baik saja, masyarakat sebagai pemegang kedaulatan justru menjadi apatis dan tidak perduli lagi dengan kasus kasus tersebut. Dengan apatisnya masyarakat, kedaulatan yang dimiliki masyarakat telah diambil alih oleh pemegang kekuasaan.

Perebutan kedaulatan ini tentu tidak diinginkan baik bagi penulis maupun pembaca. Oleh karenanya, di sini penulis memohon pada kita semua agar kembali peka terhadap kasus-kasus tersebut. Janganlah kita menormalisasikan sebuah kesalahan karena ketika kita menganggap normal suatu kesalahan maka sama saja kita menurunkan indikator dari kebenaran tersebut.

Penulis tekankan, hilangnya isu dari sebuah algoritma berita bukan berarti isu tersebut telah tuntas. Isu tersebut masih perlu dikawal hingga benar-benar selesai. Dalam hal ini media berperan penting. Seperti yang dirangkum Andreas Harsono, pada masa kini internet mengubah dunia jurnalisme. Sekarang setiap orang bisa jadi penerbit lewat blog, setiap orang bisa siaran dengan YouTube atau Vimeo, setiap orang bisa jadi komentator dengan Facebook atau  Twitter. Hal ini menyebabkan banyak informasi ngawur yang beredar di internet dan oleh karenanya diperlukan peranan ruang  redaksi sebagai penjaga gerbang (gate keeper).

Jurnalis juga perlu kembali menerapkan kembali konsepsi dasar seperti mengawasi kekuasaan serta membongkar kejahatan dalam pelaksanaan pemerintahan. Para jurnalislah  yang mampu membongkar apa yang tersembunyi atau dirahasiakan dan tentu saja hal ini sangat penting untuk merawat demokrasi. Dan, harapan saya kepada pemerintah agar tidak membodoh-bodohi masyarakatnya melainkan turut mengedukasi.

Akhir kata, sebenarnya tulisan ini juga “mencari nafkah dari kesalahan”.

Komentar Facebook Anda

Sondang William Gabriel Manalu

Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Hukum USU Stambuk 2019. Saat ini Sondang menjabat sebagai Pemimpin Redaksi BOPM Wacana.

Pentingnya Mempersiapkan CV Bagi Mahasiswa | Podcast Wacana #Eps4