BOPM Wacana

Nobon

Dark Mode | Moda Gelap

Oleh: Teguh Bagus Surya

Aku berjalan menyusuri pasar Petisah dengan berjingkrak, menghindari genangan becek di antara kios-kios pedagang sayuran. Mentari Agustus beranjak naik di atas ubun-ubun. Peluh sebesar biji jagung jatuh dari jidatku. Kerongkongan tercekat, kehausan karena berpuasa. Meski begitu, aku harus tetap merampungkan liputan ini. Besok sudah naik cetak. Aku tak mau hanya dianggap main-main oleh harian tempatku magang selama dua bulan. Nama organisasi jadi taruhannya.

Sesuai rapat proyeksi, aku ditugaskan meliput kelangkaan tempe dan tahu di Pasar. Kabarnya makanan rakyat ini langka karena krisis kedelai di Amerika, negara asal sebagian besar impor kedelai Indonesia. Sudah beberapa pedagang aku wawancarai. Aku akan mewawancarai beberapa lagi.

Seorang ibu paruh baya sedang duduk di samping daganganya. Beberapa batang tempe tersusun di atas kotak kayu beralas kardus. Di sisi lain berjejer aneka sayuran. Lima ikat petai tergantung pada kanopi kios berwarna jingga kemerahan. Saat aku akan menghampirinya tiba-tiba…

“Woi, jambret…jambret!”

Seorang pria paruh baya berteriak sambil mengejar seorang bocah. Di belakangnya turut serta beberapa orang ikut mengejar. Bocah itu membawa sebuah tas kulit berwarna hitam.

Bukk!. Bocah itu tersandung. Tas di tangannya terhempas. Mungkin saking paniknya ia tidak melihat ada batu sebesar kepala bayi di depannya. Saat hendak bangun dan berlari lagi, kedua tangannya sudah dipegang oleh pria tadi. Orang-orang sudah mengerumuninya.

“Kurrranng ajar kau ya. Kecil-kecil sudah njambret!” teriaknya pada si bocah.
“Pukulin aja Pak biar dia tahu rasa,” seseorang menimpali.

“Iya, yang kayak gini jangan dibiarin merajalela,” yang lain ikut menyahut.

Bocah itu tak bersuara. Air mukanya memperlihatkan kepanikan luar biasa. Sadar dan khawatir apa yang akan terjadi, aku beranikan diri menghampiri mereka.

“Tunggu Pak, sabar … sabar …” sergahku di antara kerumuan.

“Apa kau mau bela anak ini ya? Jangan-jangan kau salah satu komplotannya.”

“Jangan salah paham, Pak. Saya cuma nggak mau ada main hakim sendiri di sini,” kilahku.

“Yang dijambet tadi istri saya. Anak ini mesti dikasih pelajaran biar kapok!” Nada suaranya makin tinggi.

“Ya, tapi bukan begitu caranya. Kalau salah serahkan ke pihak berwenang. Jangan main hakim sendiri. Ingat, ini bulan puasa Pak!”

Ia tak menggubrisku. Dengan kasar ditariknya anak itu. Ia genggam tangan kiri bocah malang itu, lalu …

Kletakk …!!!

Astaga! Aku hampir tak percaya dengan apa yang kulihat. Ia mematahkan jari kelingking bocah itu. Si bocah tak bersuara. Hanya matanya yang sekarang terlihat berkaca-kaca. Menahan perih.

“Pak, ini sudah keterlaluan!”

“Sudahlah, ini bukan urusanmu. Pergi kau sana!” Katanya setengah berteriak. Tampaknya ia benar-benar kesetanan.

“Bapak benar-benar sudah main hakim sendiri. Malulah sama seragam Bapak itu.”

“Ah, banyak cakap kau!
Dugg. Ketupat Bengkulu mendarat di wajahku. Kurasakan darah segar mengalir dari bibirku. Sakit juga. Namun Tak sesakit hatiku karena perlakuannya yang sewenang-wenang. Kucoba bersabar. Jika kubalas pukulannya masalah akan lebih besar. Lagi pula aku sedang puasa.

“Bapak jangan main-main dengan saya,” kataku sambil menyeka darah di bibir.

“Memangnya kau siapa, Ha ?”

“Saya ini wartawan,” jawabku sambil menunjukkan kartu pers milik Bang Juna, repoter tetap yang biasa menemaniku liputan.

“Akan saya tulis di koran apa yang sudah bapak lakukan. Bapak akan dituntut dengan tuduhan penganiyayaan anak kecil. Orang-orang di pasar ini jadi saksi!”

Seketika ia terdiam. Wajahnya mendadak pucat. Bocah itu dilepaskannya. Segera Ia mengambil tas tadi dan langsung berbalik. Pergi setengah berlari. Dasar pengecut! Baru digertak sedikit sudah ciut.

***

Bocah itu bernama Nobon.
Ia hanya diam di atas angkot yang kami tumpangi. Sepanjang perjalanan ia cuma memandangi kendaraan yang berseliweran di jalan. Kulihat wajah kumalnya begitu bebas. Tak ada gurat kesedihan bahkan rintihan meski kelingkingnya patah.

Kami turun di depan sebuah gedung hotel. Ia mengajakku menyeberang jalan dan berjalan memasuki gang di samping gedung itu.  Tak berapa lama kami sudah tiba di suatu tempat. Mungkin berjarak sekitar 50 meter dari gedung hotel tadi. Kulihat jejeran bangunan yang kebanyakan berdinding tripleks dan kardus di sepanjang rel kereta. Aku baru tahu kalau di belakang hotel mewah itu ada situasi seperti ini. Kontras.

“Ini rumah saya, Bang,” ujarnya saat kami berdiri di depan sebuah gubuk beratap seng bekas berkarat dan dindingnya kebanyakan ditempeli tripleks.

“Assalamualaikum.” Ia mengucapkan salam di depan pintu.

“Waalaikumussalam.” Seorang nenek keluar dari gubuk. Saat melihat Nobon, nenek itu langsung menangis dan memeluk Nobon.

Ternyata Nobon sudah tiga hari tidak pulang. Pantas saja si nenek histeris saat Nobon kembali. Opung Siagian, begitu ia biasa disapa. Nenek berumur 81 tahun ini bercerita bahwa Nobon telah diasuhnya sejak masih bayi. Tiga belas tahun yang lalu, ia menemukannya tergeletak begitu saja di atas rel. Entah siapa yang tega ingin membunuh bayi selemah itu. Hati Opung Siagian pun tersentuh untuk menyelamatkan dan mengasuh Nobon hingga sekarang.

Nobon tak melanjutkan sekolah. Ia hanya merasakan bangku sekolah hinga kelas empat SD. Opung yang hanya memulung tak sanggup menyekolahkannya. Sehari-hari Nobon juga memulung. Kadang ngamen di Perempatan Amplas. Ini kali pertama ia menjambret.

“Aku cuma diajak kawan Bang,” katanya saat kutanya mengapa ia nekat menjambret.

Aku pamit pulang. Opung berterima kasih kepadaku karena telah mengantar Nobon. Aku janji akan ke sini lagi. Sebelum pulang, aku meminta Nobon untuk berjanji agar tidak berbuat jahat lagi.

***

Nobon hilang.

Itulah yang kudengar saat berkunjung ke gubuk Opung Siagian. Dengan linangan air mata, ia mengatakan kalau sudah satu minggu Nobon tidak pulang.

“Nak Fahri, tolong saya. Tolong Nobon dicari …”

“Iya Opung, saya akan bantu cari ya,” aku berusaha meredakan tangisnya. Tak kuasa hatiku melihat nenek renta ini menangis.

Selama tiga hari aku berkeliling Medan mencari Nobon. Aku ubek-ubek Pasar Petisah dan pasar-pasar lain di Medan ini. Aku juga mencari hingga ke Amplas, bahkan Belawan. Anak-anak jalanan juga aku tanyai, tetapi tak satu pun yan tahu.

Aku kerahkan teman-teman kampusku. Kami menyebarkan selebaran, berharap ada orang yang pernah melihat bocah dengan ciri-ciri yang tertulis. Beruntung masa magangku telah usai jadi aku bisa lebih bebas. Seminggu berikhtiar tak membuahkan hasil. Nobon tak juga ditemukan.

“Nak Fahri, macam mana ini. Nobon belum juga pulang, hu … hu …,” isak tangis Opung Siagian kian deras.

“Tenang ya Pung. Saya akan terus berusaha mencarinya.”

Seorang teman mengusulkan agar aku menulis artikel tentang Nobon di Koran. Ide yang cukup bagus, pikirku. Aku meminta bantuan bang Juna. Jika dimuat, honor tulisan kujanjikan untuknya. Ia setuju.

Tulisanku pun dimuat. Sebuah feature tentang kehidupan Opung dan cucunya, Nobon. Respons publik sungguh di luar perkiraanku. Banyak pihak yang bertanya di mana alamat si Opung, terutama LSM. Hotel di dekat tempat tinggal Opung juga tak ketinggalan. Seorang tokoh yang santer bakal jadi calon Gubernur Sumut juga turut membantu. Mereka semua berduyun-duyun memberikan sumbangan. Terlebih ini Ramadhan, bulan yang berkah untuk beramal.

Opung Siagian mendadak kaya. Sembako, pakaian, mie instan, dan segala barang sumbangan lain menyesak di gubuk pengapnya. Uang yang diterimanya juga cukup banyak, setidaknya cukup untuk bangun rumah yang lebih layak. Akan tetapi, semua itu tak lantas menghilangkan kesedihannya. Sampai saat ini tak ada yang tahu keberadan Nobon.

“Ya sudah, Opung, ikhlaskan saja Nobon. Kita sudah berusaha mencarinya tapi nggak ketemu juga,” aku mencoba menghiburnya.
Seraut wajah yang sangat kukenal tiba-tiba menyembul dari pintu. Ia masuk, kemudian tersenyum menunjukan gigi-geliginya yang kuning.  Aku terdiam sejenak. Opung pingsan.

“Apa kabar, Bang Fahri?” tanyanya dengan gaya petentengan

“Nobon, dari mana saja kau??? Nggak kau tengok ini Opung pingsan gara-gara cemas mikirin kau!”
Ia tak menjawab, malah sibuk makan mie instan mentah yang baru dibukanya.

“Hehe, dapat banyak ya bang,” ujarnya, polos.

Komentar Facebook Anda

Redaksi

Badan Otonom Pers Mahasiswa (BOPM) Wacana merupakan pers mahasiswa yang berdiri di luar kampus dan dikelola secara mandiri oleh mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU).

Pentingnya Mempersiapkan CV Bagi Mahasiswa | Podcast Wacana #Eps4