BOPM Wacana

Memesan Kamar di Surga

Dark Mode | Moda Gelap

Oleh: Ridho Nopriansyah

“Cok, itu kamu kan nak?”

“Sedang apa kamu Cok. Ini masih pagi buta bukan?”

Aku bungkam. Tak menjawab apapun pertanyaan perempuan paruh baya yang kupanggil Umak itu. Bahkan tak memalingkan pandanganku ke arah tempat di mana ia berada. Aku sibuk mempreteli tali temali yang tergantung di dapur. Ruangan tempat masak memasak itu dibatasi dinding anyaman bambu dengan kamar Umak. Alasan mengapa sekecil apapun suara yang kau hasilkan akan mudah didengar, bahkan oleh perempuan paruh baya seperti dia.

“Cok, jawab Umak jika itu kamu,” perempuan paruh baya itu tetap tak lelah memastikan keberadaanku di dapur. Ia memang gigih, lagipula cenderung menyebalkan. Terlalu ingin tahu apapaun yang kulakukan.

Kupandangi sudut ruang dapur itu. Hitam oleh bekas kepulan asap selama bertahun-tahun. Baunya khas, bau asap, pernah kau cium ikan sale? Begitulah kira-kira baunya. Dengan mudah kau temui sarang laba-laba di atas langit-langitnya. Entahlah, mereka gemar bersarang sejak dapur ini tak lagi mengepulkan asap.

Tali temali ini sungguh menyebalkan. Tak mudah memilinnya. Hanya ini yang kutemukan di ruangan mirip kandang babi ini. Tak sudi aku mengatakannya rumah. Bukanlah rumah dengan tanah sebagai lantai. Langsung tanah. Pagi hari kau akan temui gunungan-gunungan kecil. Aku menyebutnya asal sesuka hatiku, “Gunungan berak cacing,”.

“Cok, kamu lapar ya, Nak? Itu kamu kan Cok?”

Menimbang adalah kebiasaanku. Selalu memperkirakan banyak hal sebelum melakukan satu hal. Sesederhana apa pun itu. Mungkin segala keterbatasanku ini yang melatih diri ini untuk tak ceroboh, tak teledor, dan tak boros bahkan untuk sekadar bernapas. Berpikir maju ke depan. Bagaimana tidak, aku harus melakukannya agar bisa makan. Seperti tidak sekolah lagi supaya bisa cari uang di hutan. Atau memukul-mukul pohon nira untuk mendapatkan air bahan tuak. Kujual, dapat uang. Hiduplah aku. Cerdas bukan?

“Jawablah Umak, Cok,” suaranya jelek sekali.

Aku butuh kursi, atau semacamnya lah, yang penting bisa kunaiki. Aku ahli dalam memanjat. Pohon nira belasan meter bisa kupanjat dengan tangan kosong. Atau bahkan ketika harus membawa parang, galah, dan bambu tempat air nira dituangkan. Tapi saat ini aku butuh kursi. Aku juga tidak tahu apa alasannya. Bolehkan aku memanjat menggunakan kursi? Aku tahu rumah ini tak memiliki banyak kursi. Hanya satu, satu tak bisa disebut banyak bukan. Ia tunggal, esa. Dan ada di kamar Umak.

Umak terlihat kerdil. Saban hari tubuhnya seolah mengecil. Berbaring di atas kasur penuh tungau. Setiap hari, ini bulan ke-48 sejak kedua kakinya tak sengaja kupatahkan. Itu bukan sepenuhnya salahku. Naas saja Umak tiba-tiba harus melintas di markasku. Wajar saja kalau kakinya terkena ranjau. Bukan salahku ya Umak. Aku berniat menjerat babi hutan atau rusa. Bukan Umak, makanya jangan teledor. Hati-hati.

Matanya bergerak-gerak seperti hantu. Tak kutemukan sisi cantiknya. Berbaring layaknya mayat. Aku dulu punya teman yang kerja di kamar mayat. Ia senang apabila banyak stok mayat yang harus ia urus. Semakin busuk dan tak berbentuk, semakin senang hatinya. Nanti, akan kuberikan kau kejutan teman. “Kujamin kau pasti suka dengan kejutanku,” itu janjiku dan Rp 50 ribu kau berikan padaku sebagai balasannya saat itu. “Ini janji pria,” kubisikkan ke telinga temanku.

“Cok, itu kamu kan? Iya, aku bisa mengenali baumu nak. Syukurklah,” suara umak memancarkan rasa lega. Oh ternyata si Ucok anakku, bukan si Ucok lain yang bisa saja mencelakakanku. Berlebihan.

Kusapukan pandanganku dari bawah hingga kepalanya yang beruban jarang-jarang. Cepat kugerakkan kedua kaki ini. Melangkah keluar meninggalkan Umak dan tungau-tungau kasurnya. Aku harus lakukan ini. Bulat-bulat.

Maka, idealis macam apa yang akan kau pertahankan jika perutmu meraung-raung minta makan? Adalah ngeri jika tak bisa kau penuhi setiap jengkal mau cacing dalam ususmu, bahkan dengan mencuri sekalipun. Idealis macam apa yang kau pertahankan? Sanggup hidup tanpa kehormatan saat ini?

Aku adalah pemikir ulung. Sudah kukatakan setiap langkah yang kuambil tak akan salah. Penuh perhitungan dan selalu berorientasi pada kebahagian kelak. Maka apa pun yang kulakukan saat ini adalah usahaku untuk mengejawantahkan kemampuan timbang-menimbangku.

Sudah saatnya, meninggalkan macam rupa idealis gampangan yang kupegang selama ini. Tiba saatnya, menyambut kehidupan baru, saat Tuhan tersenyum kepadamu. Apakah Tuhan senang saat kami hamba-Nya senang? Atau dibalik, apa Tuhan sedih, kalau hamba-Nya kelaparan?

“Cok, itu kamu kan?” Umak masih bertanya.

“Ia Umak, Ini Ucok,” aku mendekati tubuhnya yang selau terbaring. Memandangnya lamat-lamat. Tak ada yang kupikirkan saat itu. Hanya menatap perempaun paruh baya yang kupanggil Umak.

“Kamu sedang apa, Cok? Mau makan, kamu lapar Nak?” Umak terus menyesakiku dengan pertanyan tak berguna semacam itu. Tak ada yang bia dimakan di dapur itu. Untuk berjalan saja kau tak mampu Umak, bahkan matamu saja buta.

“Aku bawakan air, Umak harus mandi dulu. Dilap saja,” dingin aku menanggapinya. Langsung saja, air itu kuoleskan sekujur tubuh Umak. Bagian kepalanya sengaja kuperbanyak. Ini akan menjadi pertunjukan spektakuler.

“Bau apa ini Cok?” Umak bertanya, aku diam tak menggubris sedikit pun pertanyaannya. Setelah Umak basah kuyup. Aku berjalan kembali ke dapur. Menaiki kursi dan memegang pilinan tali. Dinding dapur dan kamar umak kurusak. Tubuh basah kuyup Umak terpampang di depan mataku.

Kini saatnya pertunjukan, aku sudah memikirkan ini. Kamu pasti bahagia Umak. Mau ya aku bakar hidup-hidup. Kan sudah basah kuyup sama bensin. “Clerkkkk,” aku memantik korek api. Dan kulemparkan ke tubuh Umak. Seketika kamar berubah terang. Umak menjerit. “Aaahhhh, sakittt.”

Kamu akan bahagia Umak, tak akan kelaparan lagi. Kamu akan dipangku Tuhan. Pasti bisa jalan dan sembuh. Bukannya dekat dengan tempat tuhan itu akan memudahkan-Nya mendengar suaramu? Bagus, tubuh mungilmu memudahkan api melahapmu Umak.

Kini giliranku. Tali sudah dipilin, kursi sudah dinaiki, dan Umak sedang dibakar. Kuikatkan pilinan tali itu di leherku. Bertopang pada tali yang digantung di langit-langit. Menendang kursi sehingga aku tergantung. Dan mati.

Kisahku melawan lapar dengan segala pikiran rasionalku. Maka, bunuh diri adalah yang terbaik. Penista agama? Aku pikir tidaklah serumit itu. Kapanpun aku mati, bakal tetap kembali kepadaNya bukan. Hanya masalah waktu dan pilihan cara. Dan inilah cara yang aku pilih. Hai Tuhan, aku Ucok baru saja meninggal dan itu Umakku, dia mati kubakar. Ada kamar kosong untuk kami? Satu kamar pun jadi, Umakku bisa tinggal di terasnya saja. Kamar di surga ya Tuhan.

Komentar Facebook Anda

Redaksi

Badan Otonom Pers Mahasiswa (BOPM) Wacana merupakan pers mahasiswa yang berdiri di luar kampus dan dikelola secara mandiri oleh mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU).

Pentingnya Mempersiapkan CV Bagi Mahasiswa | Podcast Wacana #Eps4