BOPM Wacana

Lawatan Sejarah ke Loyang Ujung Karang

Dark Mode | Moda Gelap

Oleh: Alfat Putra Ibrahim

Tulang belulang dan beberapa artefak.  |  Alfat Putra Ibrahim
Tulang belulang dan beberapa artefak. | Alfat Putra Ibrahim

Gua itu diisi potongan-potongan tengkorak, tulang-belulang dan artefak peninggalan manusia purba. Mereka saksi bisu awal hadirnya masyarakat yang kini berdomisili di Tanoh Gayo.

Masih dalam suasana libur lebaran, saya sempatkan diri mengunjungi situs prasejarah nenek moyang masyarakat Gayo di Loyang Ujung Karang, Dusun Blok, Kampong Jongok Meluem, Kecamatan Kebayakan, Kabupaten Aceh Tengah. Situs prasejarah ini berada sekitar 2,5 km dari pusat Kota Takengon.

Gayo merupakan salah satu etnis yang mendiami pedalaman pulau Sumatera bagian utara. Wilayah Gayo terbagi atas tiga subkabupaten (Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Gayo Lues). Tempat ini penghasil komoditas kopi terbesar dan terbaik di dunia.

Dari perlintasan jalan Desa Blok Ayangan, tampak sebuah ceruk yang diselubungi areal persawahan dan ditutupi tembok cat kuning—sebagai pembatas lingkungan situs prasejarah dan penanda bagi bagi pengunjung. Namun, pengunjung harus berjalan lagi sejauh dua ratus meter menyambangi situs prasejarah dari perlintasan jalan.

Jalan yang kami lalui areal persawahan. Saat sampai di pintu masuk makam nenek moyang masyarakat Gayo, tak ada seorang pun yang menyambut kedatangan kami. Tak ada penjagaan oleh instansi terkait maupun masyarakat sekitar, sehingga pengunjung bebas masuk  tanpa membayar atau pun melapor sama sekali.

Pintu masuk situs Prasejarah. | Alfat Putra Ibrahim
Pintu masuk situs Prasejarah. | Alfat Putra Ibrahim

Saya dan pengunjung lain meneruskan langkah kaki kami dan meniti satu persatu anak tangga yang mengarah ke mulut loyang yang berarti gua atau lubang.

Lubang ini menyimpan sejuta kisah kehadiran masyarakat Gayo. Ini dilihat melalui fosil-fosil manusia purba hasil temuan Balai Arkeologi Medan melalui Program Dinas Pariwisata Kebudayaan Pemuda dan Olahraga Kabupaten Aceh Tengah pada 2011 lalu.

Penelitian arkeologi ini dilakukan di Kabupaten Aceh Tengah. Ada tiga tempat yang diteliti yaitu Loyang Mendale, Loyang Putri Pukes dan Loyang Ujung karang. Para ahli arkeolog coba ungkap identitas penduduk asli penghuni dataran tinggi Gayo, tepatnya di sekitaran Danau Lut Tawar Aceh Tengah.

Setibanya di gua, terlihat tengkorak manusia yang masih utuh, terbujur dalam makam berbentuk persegi panjang. Diperkirakan usianya sekitar 180 tahun[1].  Di bagian kiri gua juga terlihat beberapa tulang-belulang serta artefak-artefak peninggalan  nenek moyang. Pemandangan ini menjawab rasa penasaran saya terhadap bentuk tulang belulang yang diceritakan orang-orang.

Dari tenggkorak dan tulang belulang inilah arkelog berhasil mengungkap aspek budaya prasejarah—aspek yang berkaitan dengan cara hidup, struktur sosial, religi, teknologi, estetika dan aspek budaya lainnya. Aspek ini menunjukkan hubungan erat antara budaya masa prasejarah dengan budaya Gayo masa kini, seperti cara hidup yang menetap dan berkelompok, sistem pertanian dan benda peninggalan. Semuanya menunjukan keterkaitan satu sama lainnya.

Kajian arkeologis, antropologis, maupun etnoarkeologis dari berbagai aspek budaya yang ditemukan dalam penelitian ini, menunjukan adanya indikasi kuat bahwa aktivitas budaya prasejarah di Tanoh Gayo menunjukan ada masa yang lebih tua dibanding aktivitas di tanah batak. Hal tersebut memunculkan hipotesis Orang Batak berasal dari Tanoh Gayo. Kondisi tersebut sangat bertentangan dengan keyakinan orang Batak selama ini, yang cenderung menganggap orang Gayo berasal dari Tanah Batak[2].

Temuan arkeolog mengenai keterkaitan budaya masa lampau dengan masa kini, serta  hipotesis  mengenai masyarakat Gayo tersebut dibenarkan oleh Khalisuddin, seorang jurnalis Gayo sekaligus warga Takengon, peminat sejarah dan budaya Gayo.

Khalis yang saat itu bertugas sebagai jurnalis mengikuti seluruh kegiatan para arkeolog. Ia bilang temuan-temuan itu sudah diteliti dari tahun 2009 hingga tahun 2013 dan telah dipatenkan sebagai situs bersejarah pada tahun 2011[3].

Hasil penelitian arkeologi tersebut tertuang dalam sebuah buku yang berjudul Gayo Merangkai Identitas yang ditulis langsung oleh arkeolog Ketut Wiradnyana dan Taufikurrahman Setiawa dari Balai Arkeologi Medan.

Temuan kerangka manusia purba di Loyang Ujung Karang. | Alfat Putra Ibrahim
Temuan kerangka manusia purba di Loyang Ujung Karang. | Alfat Putra Ibrahim

Sendy Aditya Johan, salah satu pengunjung sangat senang bisa menyaksikan sosok nenek moyang masyarakat Gayo. Sendy mengaku ini adalah kali pertama melihat obyek arkeologi secara langsung dan meski berlatar belakang etnis Jawa, tak mengurangi rasa cintanya terhadap Tanoh Gayo sebagai tempat ia menghabiskan masa kecilnya.

Namun menurut mahasiswa Universitas Diponegor ini, kondisi situs prasejarah tersebut tidak terjaga, pun lingkungannya tampak tak terawat dan terbengkalai. Keadaan ini telihat dengan tumbuhnya rumput-rumput muda serta lumut hidup di sekitar objek arkeologi tersebut.

Sendy menyangkan hal tersebut, mengingat situs ini merupakan salah satu peninggalan bersejarah masyarakat Gayo. Saya setuju dengan Sendy, sudah sepatutnya situs prasejarah ini dijaga serta di rawat sebaik mungkin agar bisa terus disaksikan oleh generasi muda Gayo di masa mendatang.

Lama bercengkerama dan jelang petang, kami pun meninggalkan Loyang Ujung Karang yang menyimpan kisah tentang nenek moyang masyarakat Gayo di masa lalu. Saya pun coba menyusun agenda lawatan sejarah berikutnya.

[1] Gayo Merangkai Identitas, Hal 68-69 ; 2011

[2] Gayo Merangkai Identitas, Hal 79-148 ; 2011

Komentar Facebook Anda

Redaksi

Badan Otonom Pers Mahasiswa (BOPM) Wacana merupakan pers mahasiswa yang berdiri di luar kampus dan dikelola secara mandiri oleh mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU).

Pentingnya Mempersiapkan CV Bagi Mahasiswa | Podcast Wacana #Eps4